Pernah Jaya di Era Soeharto, RI Punya Senjata Baru Bangkitkan Industri

3 weeks ago 16

Jakarta,CNBC Indonesia- Indonesia, dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, pernah mengalami masa kejayaan industri manufaktur di era Orde Baru. Pada dekade 1990-an, sektor manufaktur berkontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 8%.

Namun, krisis ekonomi 1998 menjadi titik balik yang menyebabkan deindustrialisasi, di mana fokus ekonomi beralih kembali ke eksploitasi SDA mentah seperti batu bara dan kelapa sawit.

Dalam acara Mindialogue: Hilirisasi dan Industrialisasi Strategi Menuju Indonesia Emas 2045 pada 9 Januari 2025, Penasihat Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan Nasional dan mantan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyoroti pentingnya hilirisasi untuk mendorong manufaktur berbasis SDA.

"Manufaktur kita dulu andalkan tekstil, garmen, food, dan elektronik. Namun, industri padat karya seperti itu sulit bersaing dengan Bangladesh. Solusi kita adalah manufaktur berbasis SDA untuk menciptakan nilai tambah," jelas Bambang.

Ia menambahkan, keberhasilan hilirisasi hingga smelter belum cukup, karena belum mampu mengangkat daya saing secara signifikan. "Kita butuh hilirisasi yang lebih hilir, seperti baterai EV dari nikel, atau memanfaatkan tembaga seperti yang dilakukan Chile," ungkapnya.

Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi dan pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia terus merosot. Di awal reformasi, kontribusi sektor manufaktur ke Produk Domestik Bruto (PDB) masih mencapai 26,11% pada 2011 sementara pada 2023 hanya 18,67%.

Pertumbuhannya juga terus melandai dari sekitar 6% pada 2011 menjadi 4% pada akhir 2023. 

Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan era Soeharto di mana manufaktur menjadi tulang punggung ekonomi dengan tumbuh hingga mencapai 8-10% dengan kontribusi mendekati 30%.

Dua Sisi Koin untuk Pertumbuhan Ekonomi

Hilirisasi bukan hanya soal mengolah SDA mentah, tetapi juga menciptakan ekosistem inovasi. Karena itulah, Bambang menggarisbawahi pentingnya riset dan pengembangan (R&D) untuk menghasilkan produk bernilai tambah tinggi. Ia mendorong BUMN seperti MIND ID untuk memperluas investasi di bidang ini.

"Ini saat terbaik bagi BUMN mengembangkan inovasi, bukan hanya dari smelter, tetapi hingga menghasilkan produk akhir," ujarnya.

Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ke angka 6-8%, Indonesia juga harus memprioritaskan investasi, baik domestik maupun asing. "Pertumbuhan investasi kita saat ini hanya sekitar 5%. Itu tidak cukup. Harus mendekati double digit," tegas Bambang.

Ia mengacu pada Vietnam sebagai contoh, di mana negara tersebut berhasil menarik NVIDIA untuk mengembangkan pusat R&D di sana. "Kita harus menuju manufaktur berbasis produk baru, seperti yang dilakukan Vietnam," tambahnya.

Namun, upaya menarik Foreign Direct Investment (FDI) masih terkendala berbagai hambatan, mulai dari birokrasi yang rumit hingga kepastian hukum yang lemah. Bambang mengungkapkan bahwa banyak investor asing akhirnya memilih Malaysia atau Vietnam.

"Ketika menghadapi hambatan di Indonesia, mereka dengan mudah pindah ke negara tetangga," katanya.

Ia juga menyoroti rendahnya insentif untuk investasi di sektor manufaktur. "Super tax reduction bagi perusahaan yang melakukan R&D bisa menjadi instrumen penting," sarannya.

Realisasi investasi hilirisasiFoto: BKPM
Realisasi investasi hilirisasi

Selain itu, Indonesia harus meningkatkan daya tarik untuk investasi strategis seperti pusat data. Bambang mengkritisi kurangnya dukungan pemerintah dibandingkan negara tetangga seperti Johor, Malaysia.

"Kita punya aspirasi besar, tetapi apa yang mereka dapatkan di Johor jauh lebih menarik dibandingkan di Batang," ujarnya.

Menuju Indonesia Emas 2045

Hilirisasi SDA, inovasi, dan perbaikan iklim investasi menjadi strategi utama untuk membawa Indonesia keluar dari middle-income trap.

Bambang optimistis bahwa hilirisasi dapat menjadi pintu masuk re-industrialisasi yang lebih luas. "Hilirisasi bisa jadi pemantik. Kita harus berpikir lebih maju, bukan hanya berhenti di smelter, tetapi menciptakan produk akhir dengan nilai tambah tinggi," pungkasnya.

Dalam kesempatan yang sama,  mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kelapa Bappenas era Presiden Joko Widodo (Jokowi) Andrinof Chaniago mendukung langkah hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA). Selanjutnya harus juga dilakukan adalah industrialisasi.

Dia mengingatkan untuk mencapai target pemerintahan Presiden Prabowo Subianto 8% dibutuhkan pertumbuhan industri lebih tinggi.

"Nah kita gak mungkin menaikkan pertumbuhan ekonomi di atas 5% kalau industri seperti sekarang dari tahun ke tambuh 4,5%," jelasnya.

"Hilirisasi hanya 1 hal, tapi harus jalan terus, kita harus bersyukur karena jalan terus dan sudah kelihatan hasilnya," kata Andrinof.

Indonesia, menurut Andrinof seharusnya belajar dari Vietnam dan India. Meski dengan Vietnam ada perbedaan sistem politik. Sementara India memiliki sistem politik yang sama tapi mampu tumbuh jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia.

Keunggulan kedua negara itu salah satunya adalah industri yang solid dan sumber daya manusia yang berkualitas. Keduanya bisa menjadi kunci dalam membangkitkan kembali hilirisasi.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research