Jakarta, CNBC Indonesia - Delegasi Republik Indonesia menghadiri Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP29) di Baku, Azerbaijan, sebagai langkah konkret memperkuat komitmen dalam pengurangan emisi gas rumah kaca dan upaya keberlanjutan lainnya.
Delegasi yang dipimpin oleh Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim Hashim Djojohadikusumo juga menggelar berbagai pertemuan bilateral dan diskusi strategis untuk memperkuat diplomasi dan kerja sama internasional dalam menangani krisis iklim.
Menteri Lingkungan Hidup (LH)/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Hanif Faisol Nurofiq menyampaikan bahwa Indonesia terus mengambil langkah tegas dalam mewujudkan target-target Kesepakatan Paris 2015 yang telah diratifikasi pada 2019. Pada COP29, Indonesia mengidentifikasi 19 inisiatif penting, terdiri dari 14 aspek negosiasi dan lima bentuk kerja sama platform, untuk meraih target emisi yang lebih ambisius.
"Keikutsertaan Indonesia di COP29 ini ditandai dengan tekad yang kuat untuk tidak tergantung pada bantuan atau hibah, tetapi berfokus pada kemitraan yang saling menguntungkan," ujar Hanif pada sesi media briefing di Baku, Azerbaijan, Kamis (14/11/2024).
Pada kesempatan tersebut, Hanif mengungkapkan proses negosiasi UNFCCC memang panjang. Namun telah ada langkah-langkah konkret kerja sama dengan beberapa mitra untuk meningkatkan aksi mitigasi dan adaptasi di Indonesia, termasuk perdagangan karbon.
"Kita manfaatkan instrumen-instrumen yang telah mulai operasional dari Paris Agreement dan juga kerja sama bilateral di bidang pengendalian perubahan iklim. Kita juga akan galang para pihak di Indonesia untuk bergerak cepat segera menyusun agenda kerja dalam aksi konkret paska COP 29 Baku yang membawa manfaat bagi Indonesia," katanya.
Lebih lanjut, Hanif menggarisbawahi pentingnya kerja sama bilateral yang nyata dalam mengurangi emisi global, salah satunya melalui perdagangan karbon yang transparan. Artikel 6 dari Paris Agreement, khususnya mengenai perdagangan kredit karbon. Salah satu yang telah dilaksanakan sebagai bentuk kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Jepang melalui mekanisme Mutual Recognition Arrangement (MRA) untuk pelaksanaan kerjasama perdagangan karbon.
"Perlu saya tegaskan juga bahwa peran pasar karbon adalah untuk mendukung penurunan emisi gas rumah kaca, untuk pencapaian NDC, bukan untuk tujuan ekonomi lainnya," ujarnya.
Mutual Recognition Arrangement Indonesia - Jepang yang diumumkan kepada komunitas internasional di COP29 Baku menjadi kerja sama bilateral yang pertama dengan MRA dengan panduan Artikel 6.2 Paris Agreement.
"Kita akan segera tindaklanjuti implementasi dengan pihak Jepang, dengan proporsi pemanfaatan kerjasama yang berimbang," kata Hanif.
Selain itu, Indonesia terus mendorong penggunaan energi terbarukan dan mengembangkan skema sertifikasi untuk emisi karbon melalui mekanisme yang ketat dan terstandardisasi, seperti Sertifikat Pengurangan Emisi Indonesia (SPEI). Pemerintah juga mengupayakan adanya roadmap yang jelas bagi sektor-sektor penyumbang emisi untuk mencapai batas emisi tertentu, serta mendorong sektor kehutanan dalam mengembangkan mekanisme offset karbon.
"Jadi sekali lagi saya tegaskan, kami di sini bukan untuk meminta bantuan, melainkan untuk menawarkan kemitraan, metodologi, dan kerja sama dalam konteks penurunan emisi gas rumah kaca," ungkap Hanif.
Indonesia bertekad untuk menyelesaikan roadmap perdagangan karbon dalam tiga bulan ke depan guna agar perdagangan karbon di tanah air dapat berjalan.
Dengan langkah strategis dan kebijakan yang matang, Indonesia berharap dapat berkontribusi nyata dalam upaya global untuk mengurangi dampak perubahan iklim serta memastikan keberlanjutan lingkungan hidup di masa depan.
(miq/miq)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Banjir Kosmetik Impor di Indonesia, Gara-Gara Regulasi?
Next Article Jokowi Blak-blakan Pariwisata Indonesia Masih Urutan Kelima di ASEAN