- Pasar keuangan Indonesia babak belur pada perdagangan kemarin, IHSG dan rupiah ambruk berjamaah
- Bursa AS ambruk sejalan dengan kekhawatiran investor terhadap kebijakan Trump
- Perang dagang dan inflasi serta PMI Manufaktur akan menjadi penggerak snetimen hari ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kompak mengakhiri perdagangan di zona merah pada Senin (03/02/2025). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambruk, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami depresiasi, dan Surat Berharga Negara (SBN) dijual investor.
Pasar keuangan domestik hari ini (04/02/2025) masih akan bergerak volatile dengan terdapat beberapa sentimen baik dari dalam dan luar negeri yang memberikan pengaruh besar baik terhadap IHSG, nilai tukar rupiah, dan imbal hasil SBN. Selengkapnya mengenai proyeksi dan sentimen pasar pekan ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.
IHSG pada perdagangan kemarin (03/02/2025) ditutup ambles 1,11% ke posisi 7.030,06. IHSG sempat ambruk hingga lebih dari 2% dan terkoreksi ke level psikologis 6.900. Namun pada akhir perdagangan, IHSG cenderung memangkas koreksinya meski tetap merosot lebih dari 1%.
Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin mencapai sekitar Rp11,69 triliun dengan melibatkan 15 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,25 juta kali. Sebanyak 168 saham menguat, 461 saham melemah, dan 174 saham stagnan.
Investor asing juga tampak keluar dari pasar saham Indonesia sebesar Rp274 miliar (all market) dengan rincian net sell sebesar Rp228,17 miliar di pasar reguler dan Rp46,61 miliar di pasar negosiasi dan tunai.
Secara sektoral, 10 dari 11 sektor berada di zona merah, dengan pelemahan terdalam dialami oleh sektor healthcare sebesar 2,68%, kemudian sektor basic materials turun 1,76%, dan sektor properties & real estates yang terdepresiasi sebesar 1,75%.
Hanya sektor technology yang melesat pada penutupan perdagangan kemarin yaitu teknologi dengan besaran 1,9%.
IHSG merana hingga ambruk lebih dari 1%, di tengah kabar kurang menggembirakan dari Amerka Serikat (AS), di mana Presiden AS Donald Trump akhirnya menerapkan kenaikan tarif impor yang telah lama direncanakannya atas barang-barang dari Kanada, Meksiko, dan China. Tarif tersebut diharapkan mulai berlaku pada Selasa besok.
Pada Sabtu lalu, Trump menandatangani perintah yang mengenakan tarif sebesar 25% atas impor dari Meksiko dan Kanada, serta bea masuk sebesar 10% atas produk China.
Menanggapi hal ini, pemerintah China mengecam pengenaan tarif bea masuk tambahan sebesar 10% atas barang ekspornya. Kendati dikenakan tarif yang lebih tinggi, China tetap membuka pintu untuk perundingan dengan AS.
Selain China, Kanada dan Meksiko juga menanggapi aksi Trump yang telah menandatangani pengenaan tarif impor dari ketiga negara tersebut.
Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau mengatakan negaranya akan membalas tarif baru Trump dengan mengenakan tarif sebesar 25% pada barang-barang AS mulai dari minuman hingga peralatan.
Adapun, Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum telah memerintahkan tarif pembalasan. Dalam posting yang panjang di X, Sheinbaum mengatakan pemerintahnya menginginkan dialog daripada konfrontasi dengan tetangganya ini, tetapi Meksiko terpaksa menanggapi dengan cara yang sama.
Sementara dari pasar mata uang, rupiah anjlok terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan kemarin melemah 0,83% di angka Rp16.430/US$ pada hari kemarin. Posisi ini merupakan yang terendah sejak 21 Juni 2024 atau sekitar tujuh bulan terakhir
Rupiah tertekan setelah Trump mengumumkan akan segera mengenakan tarif dagang yang lebih tinggi terhadap China, Meksiko, dan Kanada di pekan ini.
Trump telah lama mempromosikan tarif sebagai cara untuk menegosiasikan kesepakatan yang lebih baik dengan mitra dagang AS. Dia pun menegaskan kebijakan ini dilakukan demi melindungi industri dalam negeri dari persaingan asing, dan mendapatkan pendapatan. Di Ruang Oval pada wawancara pada Jumat, Trump mengatakan keputusannya untuk mengenakan tarif pada barang-barang dari Kanada, Meksiko, dan China adalah "murni ekonomi". Namun, para ekonom khawatir hal ini dapat 'menyalakan' kembali inflasi pada saat tampaknya tekanan harga mulai mereda.
Selanjutnya, beralih pada imbal hasil SBN yang tenor 10 tahun terpantau naik 1,13% ke angka 7,063%.
Posisi imbal hasil ini merupakan yang terendah sejak 23 Januari 2025.
Perlu diketahui, hubungan yield dan harga pada SBN ini berbanding terbalik, artinya ketika yield naik berarti harga obligasi turun, hal ini bahwa investor masih meninggalkan dan mengobral SBN.
Pages