Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan RI tampak mulai rebound pada pekan pertama 2025. Pelaku pasar pun berharap akan ada sengatan January Effect, setelah gagal mengalami fenonema Window Dressing tahun lalu.
Sentimen selengkapnya terkait proyeksi pergerakan pasar keuangan hari ini, Senin (6/1/2025), silahkan bisa dibaca pada halaman tiga artikel ini.
Membahas soal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali pekan pertama tahun ini dengan pergerakan yang cukup ceria. Pada perdagangan Jumat (3/1/2024) IHSG berakhir naik tipis 0,02% ke posisi 7.164,43.
IHSG masih berada di level psikologis 7.100, setelah sempat mendekati level psikologis 7.200 di awal sesi I perdagangan akhir pekan lalu.
Penguatan harian tersebut, menandai penguatan tiga hari beruntun pada pekan pertama tahun ini, setelah sebelumnya pada Desember 2024 IHSG loyo, sempat jatuh di bawah 7000. Dengan demikian, seminggu terakhir ini IHSG berhasil melesat 2,59%.
Nilai transaksi indeks tercatat mencapai sekitar Rp 7,7 triliun dengan melibatkan 19,1 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 994.418 kali. Sebanyak 254 saham menguat, 336 saham melemah, dan 206 saham stagnan.
Secara sektoral, sektor teknologi menjadi penahan koreksi IHSG yakni mencapai 2,05%. Namun, sektor konsumer non-primer menjadi penekan terbesar IHSG yakni mencapai 0,76%.
Sementara dari sisi saham, emiten teknologi PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) dan emiten energi baru terbarukan (EBT) konglomerasi Prajogo Pangestu PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) menjadi penopang IHSG masing-masing sebesar 16,1 dan 7,6 indeks poin.
Namun, emiten konglomerasi Prajogo Pangestu PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) dan emiten perbankan raksasa PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) menjadi penekan IHSG yakni masing-masing mencapai 12,1 dan 8,8 indeks poin.
IHSG ditutup naik tipis di tengah harapan pasar bahwa fenomena January Effect bakal terjadi di awal Januari 2025 setelah Santa Claus Rally yang tidak terlaksana pada Desember 2024.
Sejatinya, fenomena January Effect masih berkaitan dengan window dressing yang sudah terjadi sejak Desember tahun sebelumnya hingga pertengahan Januari tahun berikutnya.
Namun karena pada Desember 2024 IHSG bergerak cenderung mendatar, maka pasar berharap bahwa IHSG dapat lebih bergairah di awal Januari tahun ini.
Di lain sisi, pasar juga masih menimbang dampak dari pulihnya aktivitas manufaktur RI dan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% untuk barang dan jasa mewah.
Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global hari ini, Kamis (2/1/2025) menunjukkan PMI manufaktur Indonesia ada di 51,2 pada Desember 2024. Angka ini memastikan PMI Indonesia kembali ke jalur ekspansif setelah terkontraksi selama lima bulan. Angka PMI ini juga menjadi yang tertinggi sejak tujuh bulan terakhir.
Seperti diketahui, PMI Manufaktur Indonesia mengalami kontraksi selama lima bulan beruntun yakni pada Juli (49,3), Agustus (48,9), September (49,2), Oktober (49,2), dan November 2024 (49,6).
Selain itu, kenaikan tarif PPN sebesar 12% yang hanya menyasar barang dan jasa mewah juga turut menopang IHSG.
Kombinasi sentimen tersebut juga turut menyengat pergerakan rupiah yang ikut menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Melansir data Refinitiv, rupiah pada akhir pekan lalu ditutup pada level Rp16,185/US$, menguat tipis 0,03% dibandingkan penutupan sebelumnya.
Seiring dengan menguatnya rupiah, meskipun masih di level tinggi, Indeks Dolar AS (DXY) terpantau melemah 0,28% per pukul 15.00 WIB pada Jumat kemarin ke posisi 109,08.
Beralih ke pasar obligasi, sayangnya tak bergerak senada dengan IHSG dan Rupiah yang ceria.
Merujuk data Refinitiv, sampai akhir pekan lalu, yield obligasi acuan bertenor 10 tahun masih betah di atas 7%. Pergerakan sepekan terakhir juga tercatat masih naik 0,20%.
Kenaikan pada yield obligasi berbanding terbalik dengan harga yang artinya sedang mengalami penurunan. Ini menunjukkan bahwa minat investor masih loyo terhadap obligasi, lantaran banyak yang jual.
Halaman 2 >>
Pages