Utang AS ke China Jadi Medan Perang Baru Jinping vs Trump

2 months ago 32

Jakarta, CNBC Indonesia - Donald Trump telah menang dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) melawan Kamala Harris. Kemenangan Trump berdampak diperkirakan akan mengubah pada jumlah kepemilikan surat utang AS oleh berbagai negara di dunia, khususnya China.

Untuk diketahui, Trump telah memenangkan pemilu AS dengan suara elektoral sebanyak 312. Sedangkan Harris mendapatkan suara sebanyak 226.

Jika dilihat lebih rinci, Trump mendapatkan 76.433.539 votes, sementara Harris mendapatkan 73.759.465 votes.

APFoto: US Presidential Results
Sumber: Associated Press (AP)

Trump terkenal dengan kebijakan yang cukup agresif untuk memperkuat ekonomi domestik. Ia pun tak segan-segan untuk memperlebar defisit fiskal dan menerbitkan surat utang (US Treasury) untuk membiayai program-program yang sudah dirancang.

Sebagai informasi, Committee for a Responsible Federal Budget (CRFB) memperkirakan biaya sepuluh tahun dari undang-undang dan tindakan eksekutif yang ditandatangani Trump selama masa pemerintahan Trump pertama (Januari 2017 - Januari 2021) adalah sekitar US$8,4 triliun, termasuk bunga.

Dari US$8,4 triliun yang ditambahkan Presiden Trump ke utang, US$3,6 triliun berasal dari undang-undang dan perintah eksekutif terkait bantuan Covid, US$2,5 triliun dari undang-undang pemotongan pajak, dan US$2,3 triliun dari peningkatan belanja, sementara perintah eksekutif lainnya memiliki biaya dan penghematan yang sebagian besar saling mengimbangi.

CRFBFoto: Trump Add to the Debt (US$ billion)
Sumber: CRFB

Salah satu cara untuk membiayai program-program adalah dengan menerbitkan US Treasury atau surat utang. US Treasury yang diterbitkan tidak hanya membantu bagi perekonomian AS, namun juga memberikan keuntungan bagi negara pemegangnya, salah satunya China.

Berdasarkan ticdata.treasury.gov, total US Treasury terus mengalami kenaikan selama Trump menjabat sebagai Presiden AS yakni dari US$5.949 miliar menjadi US$7.128 miliar atau naik hampir 20% dalam empat tahun.

Dari total tersebut, China merupakan salah satu negara yang memiliki porsi yang paling besar dibandingkan negara lainnya yakni sekitar 14-19%. Namun jika dilihat lebih jauh, porsi kepemilikan China terhadap US Treasury tersebut cenderung menurun selama kepemimpinan Trump.

Pada Januari 2017, kepemilikan China sebesar 17,67% dan meningkat menjadi 19,23% pada Agustus 2017. Kemudian terus-menerus mengalami penurunan hingga ke angka 14,91% pada Oktober 2020.

Sedangkan secara nominal, kepemilikan China pun tampak mengalami kenaikan namun tidak cukup besar yakni dari US$1.051,1 miliar pada Januari 2017 menjadi US$1.095,2 miliar pada Januari 2021 atau naik 4,19%.

China Lakukan Dedolarisasi

Dilansir dari South China Morning Post (SCMP), menunjukkan bahwa dolar AS telah menjadi senjata pilihan bagi para presiden Amerika dalam melancarkan perang ekonomi.

Sementara itu, China semakin meningkatkan upayanya untuk mempromosikan penggunaan renminbi dalam transaksi internasional, yang merupakan bagian dari upaya yang lebih besar untuk mengikis kekuatan dolar dalam keuangan global.

Untuk diketahui, dolar AS menyumbang hampir 60% dari cadangan devisa global, tetapi ketika datang ke penyelesaian perdagangan global, mata uang lain mulai membuat terobosan. Menurut Bank for International Settlements, pangsa dolar dalam faktur dan pembayaran perdagangan berkisar antara 40 hingga 50%, lebih kecil dari pangsa yang dimiliki dalam cadangan global.

Sebagai negara yang memiliki US Treasury dalam jumlah besar, AS akan khawatir jika China secara terus-menerus menjual kepemilikannya. Mengingat hal ini akan membuat harga US Treasury mengalami penurunan. Dengan kata lain, China memiliki bargaining power yang cukup kuat untuk bernegosiasi dengan AS.

Sejarawan, Niall Ferguson mengatakan bahwa China dapat menggunakan kepemilikannya atas Surat Utang Negara AS (UST) untuk menawar dengan pemerintahan Trump yang baru. China bisa berjanji untuk membeli lebih banyak lagi sekuritas Treasury AS secara bertahap, dari US$ 774,6 miliar pada Agustus 2024 ke level sebelumnya yang lebih dari US$ 1 triliun, jika Trump bersedia menurunkan tarif yang direncanakannya terhadap China. Ini akan menjadi kesepakatan win-win.

Sebagai informasi, Trump telah mengancam akan memberlakukan tarif 60% atau lebih untuk barang-barang dari China dan tarif universal sebesar 10%-20% untuk impor dari negara lain, meskipun rinciannya masih belum jelas.

Head Equity Research Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro mengatakan bahwa Trump sangat menentang dedolarisasi, sehingga Trump mungkin menggunakan tarif sebagai alat tawar-menawar dalam membeli US Treasury.

"Trump jelas menginginkan suku bunga yang lebih rendah, dan masuk akal baginya untuk memengaruhi hasil pasar sekunder dengan mempolitisasi ekspansi pembeli utang AS melalui Federal Reserve," kata Satria.

Trump tentu tahu bahwa impor hanya akan merugikan daya beli konsumen. Dalam jangka panjang, hal ini akan menimbulkan ketidakpuasan sosial. Impor murah dari China akan membantu menciptakan keharmonisan sosial di Amerika. Hubungan Sino-Amerika yang harmonis akan membawa kebahagiaan, stabilitas, dan kemakmuran bagi rakyat kedua negara dan dunia secara keseluruhan.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research