Penuh Kabar Genting, Pasar RI Akan Bangkit atau Semakin Sakit?

2 months ago 32

  • Beragam sentimen penting akan rilis sepanjang pekan ini untuk menggerakkan pasar keuangan RI
  • Bank sentral Indonesia dan China akan mengumumkan suku bunga
  • Investor perlu perhatikan rilis Neraca Pembayaran Indonesia pekan ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mengalami tekanan pada pekan lalu. Baik pasar saham maupun nilai tukar rupiah ambruk ke level terendah dalam beberapa bulan.

Ketidakpastian global yang meningkat ditambah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dinilai tidak terlalu melaju membuat investor lebih memilih hengkang dari pasar keuangan RI. Lantas apakah pekan ini bisa bangkit?

Untuk menjawabnya, perlu dicermati sentimen yang akan jadi penggerak pasar saham dan rupiah sepanjang pekan ini. Ulasan lengkap mengenai sentimen tersebut akan dibahas di halaman tiga.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), indeks utama pasar saham Indonesia, tersungkur ke level 7.100-an pada sesi perdagangan pekan lalu.

Berdasarkan data Refinitiv, pada Jumat (15/11/2024) IHSG ditutup melemah 0,74% ke posisi 7.161,25. Kinerja sepekan IHSG tumbang 1,53% dari minggu sebelumnya.

Di sisi lain, rupiah terpantau merana di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan ini. Begitu juga mata uang Asia yang seluruhnya terkapar melawan sang dolar AS.

Melansir dari Refinitiv pada pekan ini, rupiah ambles 1,18% secara point-to-point (ptp) di hadapan dolar AS. Sementara pada perdagangan Jumat (15/11/2024) kemarin, rupiah ditutup stagnan di level Rp 15.850/US$.

Pada pekan ini pula rupiah kembali menyentuh level psikologis Rp 15.800/US$, menjadi yang terburuk sejak awal Agustus lalu.

Tak hanya rupiah saja, mata uang Asia juga nyaris tidak ada yang mampu melawan ganasnya dolar AS pada pekan ini. Kecuali won Korea Selatan yang masih mampu melawan dolar AS yakni naik 0,18%.

Meski rupiah terpuruk, tetapi mata uang tetangga Indonesia yakni ringgit Malaysia justru menjadi yang terburuk di Asia sepanjang pekan ini, yakni ambruk hingga 2%.

IHSG dan mata uang Garuda merana setelah bank sentral Amerika Serikat (AS) mengindikasikan tidak akan terburu-buru memangkas suku bunga acuannya. Hal ini membuat pelaku pasar global khawatir bahwa jalur pemangkasan suku bunga akan berakhir.

Chairman The Fed Jerome Powell, memberi isyarat The Fed akan memperlambat pemangkasan suku bunga. Kondisi ini didasari bahwa pertumbuhan ekonomi AS yang kuat. The Fed bahkan mengatakan pertumbuhan ekonomi AS menjadi salah satu yang terbaik di dunia.

"Ekonomi tidak memberikan sinyal bahwa kita harus terburu-buru untuk menurunkan suku bunga," kata Powell dalam sambutannya kepada para pemimpin bisnis di Dallas, dikutip dari CNBC International.

Ekonomi AS tumbuh 2,8% pada kuartal III-2024, sedikit lebih rendah dari yang diperkirakan tetapi masih lebih tinggi dari tren historis AS sekitar 1,8%-2%. Proyeksi awal menunjukkan ekonomi AS akan tumbuh 2,4% pada kuartal IV-2024.

Powell juga menambahkan jika pasar tenaga kerja tetap kuat meskipun ada persoalan lapangan pekerjaan yang mengecewakan pada Oktober yang sebagian besar dia atribusikan pada kerusakan akibat badai di dan pemogokan pekerja. Jumlah pekerjaan non-farm payrolls (NFP) hanya bertambah 12.000 pada Oktober 2024, terendah sejak Desember 2020.

Mengenai inflasi, Ia menyebutkan bahwa telah ada kemajuan dan pejabat The Fed memperkirakan inflasi akan terus bergerak kembali ke arah target 2%. Namun, data inflasi minggu ini menunjukkan adanya sedikit kenaikan pada harga konsumen dan produsen yang semakin menjauh dari target Fed.

Sebagai catatan, inflasi AS merangkak naik ke ke 2,6% (year-on-year/yoy) pada Oktober dari 2,4% (yoy) September 2024. Tingkat pengangguran mencapai 4,1% pada September 2023. Angka pengangguran bahkan sempat menyentuh 4,3% pada Juli 2024 yang merupakan rekor tertinggi sejak Oktober 2021.

Sementara itu dari dalam negeri, Rencana kenaikan PPN sebesar 12% pada 2025 tengah menjadi sorotan masyarakat.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan penerapan tarif pajak PPN sebesar 12% pada 2025 sudah melalui pembahasan yang panjang dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Semua indikator sudah dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.

"Bukannya membabi buta, tapi APBN memang tetap harus dijaga kesehatannya," kata Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat di Gedung DPR, Rabu (13/11/2024).

Penerapan tarif baru sudah tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kenaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap, dari 10% menjadi 11% pada 2022 dan kemudian menjadi 12% pada 2025.

Kenaikan PPN diperkirakan akan semakin membebani daya beli masyarakat yang tengah melemah serta ekonomi Indonesia. Dengan kenaikan PPN maka masyarakat harus memberi barang lebih mahal. Padahal, konsumsi masyarakat Indonesia menyumbang 53-56% dari total konsumsi.

Pages

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research