Jakarta,CNBC Indonesia- Hujan, yang sering dianggap sebagai berkah, kini menjadi ancaman bagi industri kelapa sawit.
Di Malaysia, sebagai produsen terbesar kedua dunia, curah hujan tinggi Desember ini telah memukul produksi, mengakibatkan penurunan output hingga 5%-8%, dengan potensi penurunan lebih parah hingga 20% jika banjir besar terus berlangsung.
Dilansir dari Reuters produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) Malaysia pada November 2024 saja telah turun 9,8% menjadi 1,62 juta ton, level terendah sejak 2020. Harga CPO pun menunjukkan tekanan di Bursa Malaysia, mencapai MYR 4.627 per ton pada awal Desember 2024, yang dipengaruhi oleh stok rendah dan persaingan dari minyak nabati lainnya seperti minyak kedelai dan rapeseed.
Lalu bagaimana dengan Indonesia, yang adalah produsen nomor satu minyak sawit dunia dengan kontribusi hampir 60% dari total produksi global?
Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menunjukkan, secara tahunan sampai dengan bulan September, produksi CPO dan palm kernel oil (PKO/ minyak kernel/ minyak inti kelapa sawit) tahun 2024 sebanyak 38.937 ribu ton atau 4,62% lebih rendah dari periode sama tahun 2023 yang sebesar 40.823 ribu ton.
Tak hanya itu, ekspor CPO Indonesia turun drastis 21,97% pada September 2024 dibandingkan bulan sebelumnya.
GAPKI mencatat, penurunan ekspor terbesar terjadi ke India yang berkurang 220 ribu ton setelah naik 170 ribu pada bulan sebelumnya, Pakistan turun 112 ribu ton setelah naik 62 ribu ton pada bulan sebelumnya, Timur Tengah turun 79 ribu ton setelah naik 6 ribu ton pada bulan sebelumnya.
Secara tahunan per September 2024, ekspor ke China tahun 2024 turun 37,66% lebih rendah dari tahun 2023, demikian juga India turun 31,13%, dan Bangladesh anjlok dalam sampai 73,12%.
Di tengah ekspor yang turun dalam, konsumsi di dalam negeri juga ikut melandai. Kondisi ini menyebabkan stok minyak sawit RI bertambah.
Mengacu pada data GAPKI, dengan konsumsi dalam negeri turun 3,48% dan ekspor yang ambrol 21,97%, stok minyak sawit RI per akhir September 2024 naik menjadi 3,021 juta ton, naik dari posisi sebulan sebelumnya yang tercatat 2,450 juta ton.
Sementara, ada kekhawatiran India dan China mulai mengalihkan impor mereka ke produsen lain. Hal ini menjadi alarm bagi keberlanjutan dominasi Indonesia di pasar internasional.
Foto: Rajendra Jadhav
Malaysia Palm Oil Stocks Drop
Selain tantangan eksternal, kondisi ini juga menggarisbawahi kelemahan struktural sektor kelapa sawit Indonesia.
Ketergantungan yang besar pada metode produksi tradisional membuat industri ini rentan terhadap perubahan iklim. Infrastruktur yang kurang memadai menambah kesulitan dalam mengantisipasi efek cuaca ekstrem, seperti kerusakan jalan dan jembatan yang menghambat distribusi tandan buah segar ke pabrik.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Eddy Martono mengatakan, gangguan utama efek cuaca ekstrem berupa curah hujan tinggi adalah terhambatnya evakuasi buah dari kebun ke pabrik pengolahan CPO.
"Kalau panen tetap dilakukan, paling jamnya menyesuaikan. Kalau hujan di pagi hari berarti panen siangnya setelah hujan reda. Karena kalau nggak dipanen justru akan merusak tanaman," kata Eddy kepada CNBC Indonesia, Kamis (19/12/2024).
"Mungkin yang terjadi di Malaysia adalah kondisi serupa. Curah hujan membuat banjir besar sehingga buah yang sudah dipanen tidak bisa dievakuasi. Nggak bisa diangkut, karena banjir mobil nggak bisa akses. Kalau di Indonesia, sampai saat ini tidak ada laporan banjir besar di pusat-pusat produksi sawit," jelasnya.
Dia menambahkan, terhambatnya pengangkutan buah kelapa sawit yang sudah dipanen ke pabrik akan berdampak pada kualitas buah dan minyak yang dihasilkan.
"Bisa-bisa minyaknya jadi tengik kalau jadi minyak goreng. Kalau buat biodiesel memang ini nggak masalah," kata Eddy.
Di tengah potensi-potensi masalah yang bisa menekan sektor sawit Indonesia, peluang untuk berbenah itu tetap ada. Harga yang tertekan di pasar internasional dapat menjadi momentum bagi pemerintah dan pelaku industri untuk mendorong hilirisasi CPO.
Dengan diversifikasi produk seperti biodiesel dan kosmetik berbasis sawit, ada kemungkinan Indonesia dapat menciptakan nilai tambah yang lebih besar dan mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah.
Meskipun langkah ini membutuhkan investasi besar dalam teknologi dan infrastruktur, yang hingga kini masih menjadi tantangan besar.
Di sisi lain, dampak musim hujan terhadap produksi dan harga CPO global juga memengaruhi sentimen pasar domestik. Konsumsi dalam negeri untuk biodiesel, misalnya, telah mencapai 8,35 juta ton hingga September 2024, naik 8,08% YoY, menunjukkan potensi besar dalam meningkatkan permintaan lokal sebagai penopang industri. Strategi ini, jika dikelola dengan baik, dapat menjadi pilar baru bagi stabilitas pasar sawit Indonesia.
Dengan cuaca ekstrem yang diprediksi menjadi lebih sering akibat perubahan iklim, adaptasi struktural adalah hal yang perlu kita perhatikan. Diversifikasi teknologi dan penerapan praktik pertanian yang lebih tahan terhadap cuaca adalah langkah penting untuk menjaga keberlanjutan industri ini.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)