Buat yang Pegang Dolar, Ini Ramalan Baru Rupiah dari Lembaga Amerika

2 months ago 26

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah diramal masih melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS hingga kebijakan suku bunga di AS menjadi salah satu penyebab melemahnya rupiah.

Merujuk Refinitiv, rupiah ditutup di posisi Rp15.925 per US$1. Sepanjang tahun ini, nilai tukar rupiah sudah melemah 3,3%.

Lembaga BMI Research, bagian dari Fitch Solutions Company asal Amerika Serikat (AS), dalam Indonesia: Downside Risks Dominate Rupiah menjelaskan rupiah Indonesia menghadapi tekanan depresiasi setelah kemenangan Trump dalam Pemilu AS.

"Kami memperkirakan bahwa rupiah akan tetap berada di sekitar level 15.500/US$ hingga akhir tahun ini," tulis BMI dalam laporannya.

Dalam pandangan BMI, Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan menurunkan suku bunga dengan laju yang lebih moderat dibandingkan dengan bank sentral AS The Federal Resreve (The Fed).

Sebagai catatan, BI memangkas suku bunga 25 bps menjadi 6,00% pada September 2024.

"Risiko terbesar terhadap prospek ini berasal dari kebijakan The Fed yang tidak terlalu dovish dan kemungkinan peningkatan belanja fiskal (AS), ujar BMI.
Rupiah mengalami tekanan depresiasi setelah kemenangan Trump dalam Pemilu AS pada 5 November dan kini diperdagangkan sangat dekat dengan level Rp 16.000.
Sejak kemenangan Trump, rupiah ambruk bahkan hampir mendekati Rp 16.000 ke posisi Rp 15.920/US$1 pada Kamis pekan lalu (21/11/2024). Posisi penutupan rupiah di posisi Rp 15.925 per US$1 pada Selasa kemarin bahkan menjadi yang terendah sejak 12 Agustus 2024 atau lebih dari tiga bulan.

Kebijakan Trump diperkirakan akan sangat mengutamakan ekonomi domestik, termasuk dengan melakukan proteksi. Kondisi ini membuat investor kembali menaruh uangnya di AS.
Inflasi AS juga diperkirakan bisa naik kembali sehingga membatasi pelonggaran suku bunga The Fed.

"Rupiah kemungkinan akan lebih lemah jika Bank Indonesia (BI) tidak campur tangan untuk menghentikan penurunannya," tulis BMI.

BI selalu menegaskan jika mereka terus berkomitmen menjaga nilai tukar rupiah melalui triple intervention dengan melakukan intervensi di pasar spot, pasar non-deliverable forwards domestik, dan pasar obligasi.

BMI menjelaskan pelemahan rupiah baru-baru ini telah membuat BI lebih berhati-hati dalam siklus pelonggaran kebijakan.

Proyeksi Jangka Panjang (6-24 bulan)
BMI memperkirakan rupiah akan menguat sebesar 4,0% dan mencapai Rp14.880/US$1 pada akhir 2025. Penguatan akan didorong oleh pelemahan dolar seiring dengan dimulainya siklus pelonggaran moneter penuh oleh The Fed.

Menurut BI, dibandingkan dengan negara lain, tidak ada urgensi bagi BI untuk segera mencabut kebijakan ketatnya. Terutama, karena ekonomi Indonesia telah tumbuh dengan kuat selama dua tahun terakhir di atas 5,0%.

Implikasi dari hal ini adalah stabilitas rupiah kemungkinan tetap menjadi prioritas utama bagi BI. Kondisi tersebut membuat BI akan menurunkan suku bunga jauh lebih sedikit dibandingkan dengan The Fed.

"Proyeksi suku bunga BI pada akhir 2025 adalah 5,25% untuk Indonesia dan 3,50% untuk AS. Ini akan mempertahankan selisih suku bunga sebesar 175bps yang menguntungkan rupiah," ujarnya.

Selisih Suku Bunga Akan Memperlebar Keuntungan Indonesia
Rupiah diperkirakan akan tertekan karena minimnya penopang eksternal. Ketergantungan Indonesia yang besar pada permintaan dari China akan merugikan sektor eksternal dalam beberapa tahun ke depan.

Ekspor barang ke China menyumbang sekitar 25% dari total ekspor atau hampir setara dengan gabungan share dari AS dan seluruh negara ASEAN.

Namun, dengan proyeksi ekonomi China yang melambat dalam dekade mendatang, hal ini kemungkinan akan memiliki dampak yang signifikan pada sektor eksternal Indonesia. Pada 2025, kami memperkirakan defisit neraca berjalan akan melebar dari 1,0% menjadi 1,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Risiko Terhadap Proyeksi Rupiah
Ada beberapa risiko terhadap proyeksi rupiah. Pertama, meskipun anggaran 2025 telah membantu meredakan kekhawatiran investor tentang rencana fiskal yang melebar, kami tetap skeptis.

Defisit untuk APBN 2025 bisa saja melebar 2,53% dari PDB.

"Namun, kami berpikir pemerintahan baru kemungkinan akan melampaui target tersebut. Presiden Prabowo Subianto mungkin memilih untuk mengubah rencana belanja 2025 jika dia menyadari bahwa dia tidak dapat memenuhi tujuan kebijakannya," tulis BMI.

Perubahan anggaran sering terjadi selama transisi pemerintahan, dan BMI melihat bahwa kali ini tidak akan berbeda. Jika Prabowo memutuskan untuk meningkatkan belanja publik secara signifikan tanpa rencana konkret untuk meningkatkan pendapatan maka rupiah akan tertekan akibatnya.

Sebagai catatan, Presiden Joko Widodo mengajukan APBN-Perubahan (APBN-P) pada Februari 2015 atau hanya sebulan setelah anggaran berlaku.

Kedua, BMI melihat saat ini memperkirakan The Fed akan menurunkan suku bunga sebesar 125bps lagi pada akhir 2025. Namun, jika tekanan inflasi meningkat karena kebijakan Trump, The Fed akan lebih cenderung memperlambat laju siklus pelonggarannya. Hal ini akan menguatkan dolar, yang berisiko membebani proyeksi rupiah.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

(mae/mae)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research