Jakarta, CNBC Indonesia - Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) diselenggarakan pada Selasa dan Rabu pekan ini (17-18 Desember 2024). Pelaku pasar kini menunggu apakah BI akan memangkas suku bunga atau BI ratenya atau kembali menahan suku bunganya.
BI rate terakhir kali diturunkan sebesar 25 basis poin (bps) pada September 2024 dan selanjutnya ditahan pada Oktober dan November 2024 di level 6%.
Konsensus CNBC Indonesia yang dihimpun dari 15 lembaga/institusi mayoritas memproyeksikan bahwa BI akan memangkas suku bunganya sebesar 25 bps ke level 5,75%. Sedangkan sebagian lembaga lainnya atau sebanyak enam institusi memproyeksi bahwa BI akan kembali menahan suku bunganya di level 6%.
Sebelumnya pada November 2024 lalu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, keputusan tersebut ditempuh sebagai upaya BI untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dari dampak semakin tingginya ketidakpastian geopolitik dan perekonomian global, seusai kembali terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.
Oleh karena itu, BI kembali menahan suku bunganya di level 6%.
Selain itu, kebijakan moneter ini ia pastikan juga konsisten untuk memastikan tetap terkendalinya inflasi dalam sasaran 2,5% plus minus 1% pada 2024 dan 2025, serta mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan.
"Fokus kebijakan moneter diarahkan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak semakin tingginya ketidakpastian geopolitik dan perekonomian global dengan perkembangan politik di Amerika Serikat," kata Perry saat konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI di Kantor Pusat BI, Jakarta, Rabu (20/11/2024).
Perry menjelaskan, keputusan BI Rate yang kembali ditahan ini mempertimbangkan risiko perekonomian global yang semakin tinggi disertai dengan meningkatnya ketegangan geopolitik dan fragmentasi perdagangan, seusai Trump kembali menduduki kekuasaan tertinggi di AS.
Perkembangan politik di AS ia perkirakan akan diikuti dengan arah kebijakan fiskal lebih ekspansif dan strategi ekonomi berorientasi domestik (inward looking policy), termasuk penerapan tarif perdagangan yang tinggi dan kebijakan imigrasi yang ketat.
Namun kondisi yang terjadi saat ini cukup menunjukkan perbedaan pandangan yang jelas atau dengan kata lain, pasar terbelah menjadi dua, sebagian berekspektasi terjadi pemangkasan suku bunga sebesar 25 bps menjadi 5,75%. Sedangkan sisanya berekspektasi tidak terjadi pemangkasan suku bunga.
Ekonom Panin Sekuritas, Felix Darmawan menyampaikan bahwa BI akan menurunkan suku bunganya karena inflasi domestik yang rendah di 1,5% (year on year/yoy). Selain itu, dari peluang pemangkasan Fed Rate 25 bps juga besar di bulan ini. Sehingga memberikan ruang bagi BI untuk kembali memangkas 25 bps utk RDG nanti.
Sebagai informasi, survei CME FedWatch Tool menunjukkan bahwa 97,1% pelaku pasar berekspektasi bahwa bank sentral AS (The Fed) akan memangkas suku bunganya sebesar 25 bps menjadi 4,25-4,50%. Sedangkan tak sampai 3% pelaku pasar yang berekspektasi bahwa The Fed akan menahan suku bunganya di 4,50-4,75%.
Foto: Meeting Probabilities
Sumber: CME FedWatch Tool
Head of Treasury & Financial Institution Bank Mega, Ralph Birger Peotiray juga menyampaikan hal serupa bahwa BI tampak akan tetap fokus pada stabilitas dengan terus mencermati ruang untuk mendorong pertumbuhan (pro-stability and growth).
"Rasanya cukup bijak apabila BI rate juga turun 25 bps di bulan ini dengan pandangan BI selalu forward looking dan pre emptive menghadapi Fed yang secara pasti akan menurunkan juga di hari berikutnya 25 bps menjadi 4,50%," papar Ralph.
Selaras dengan Ralph, Ekonom Senior KB Valbury Sekuritas, Fikri Permana juga optimis bahwa BI akan menurunkan suku bunganya karena untuk sementara waktu, BI perlu mendorong growth.
Berbeda halnya dengan Ralph dan Fikri, Head of Equity Research Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro justru memperkirakan bahwa BI akan menahan suku bunganya di level 6%. Hal ini ia yakini karena nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melemah bahkan telah menyentuh level Rp16.000/US$.
Ia berpendapat bahwa dengan kenaikan indeks dolar AS (DXY) dan diikuti dengan imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun yang kian meningkat, juga semakin mempersulit bagi BI untuk membabat suku bunganya di bulan ini.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)