Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ambles menjelang akhir 2024 ini.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah terdepresiasi sebesar 0,13% ke angka Rp16.010/US$ pada 16 Desember 2024 pukul 10:50 WIB. Posisi ini merupakan yang terlemah sejak 7 Agustus 2024.
Sementara indeks dolar AS (DXY) tergelincir sebesar 0,12% ke angka 106,88.
Terpuruknya rupiah ini bukan tanpa alasan. Salah satu alasan utamanya yakni data dari AS yang tampak mengalami penguatan dan berujung pada DXY yang kian mengalami apresiasi.
1. IHP AS Naik di Atas Ekspektasi
Pekan kemarin, Indeks Harga Produsen (IHP) Negeri Paman Sam untk periode November 2024 justru lebih panas dari Indeks Harga Saham (IHK) dan lebih tinggi dari prediksi pasar sebelumnya. IHP AS pada bulan lalu tercatat tumbuh mencapai 3% pada November lalu secara tahunan (year-on-year/yoy), lebih tinggi dari Oktober lalu yang tumbuh 2,6%. Angka ini juga lebih tinggi dari ekspektasi pasar sebesar 2,6%.
Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm), IHP Negeri Paman Sam tumbuh mencapai 0,4%, lebih tinggi dari Oktober lalu sebesar 0,3% dan juga lebih tinggi dari perkiraan pasar sebesar 0,2%.
Ekonom Sucor Sekuritas, Ahmad Mikail menyampaikan bahwa IHP AS yang lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar membuat rupiah tertekan.
Sebagai informasi, IHP sangat dipantau oleh para ekonom dan investor karena mengukur tingkat inflasi dari perspektif produsen dengan melacak perubahan harga barang yang dijual oleh produsen. Indikator ini dianggap sebagai petunjuk awal inflasi harga konsumen, yang menyumbang sebagian besar dari total inflasi.
Kenaikan IHP menunjukkan bahwa produsen sedang menghadapi biaya yang lebih tinggi, yang mungkin akan diteruskan ke konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan inflasi konsumen, yang sering kali diikuti dengan kenaikan suku bunga. Kenaikan suku bunga umumnya akan memperkuat USD karena menarik investor asing yang mencari imbal hasil lebih tinggi dari investasi mereka.
Sebagai kesimpulan, data IHP terbaru dengan angka yang lebih tinggi dari perkiraan mengarah pada tren bullish untuk USD. Ini juga menegaskan potensi peningkatan inflasi, yang dapat lebih memperkuat dolar hijau dalam waktu dekat.
2. UST Tenor 10 Tahun Melonjak
Imbal hasil UST tenor 10 tahun juga memberikan tekanan tersendiri bagi pasar keuangan domestik.
Terpantau bahwa imbal hasil UST tenor 10 tahun mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari 4,153% pada 6 Desember 2024 menjadi 4,399% pada 13 Desember 2024 atau naik hampir 25 basis poin (bps). Maka dari itu, investor cenderung akan tertarik masuk ke surat utang di AS mengingat imbal hasilnya yang cukup tinggi.
Ahmad juga menegaskan bahwa naiknya yield UST menjadi penekan rupiah belakangan ini.
3. Arah Suku Bunga The Fed
Arah pemangkasan suku bunga bank sentral AS (The Fed) tampak tidak seagresif yang diperkirakan di awal.
Pada pertemuan FOMC September lalu, pejabat The Fed banyak yang memperkirakan pemangkasan suku bunga tahun depan cukup agresif. Tiga orang memperkirakan suku bunga The Fed menjadi 3,25-3,50%, tiga orang lainnya berekspektasi suku bunga The Fed menjadi 3,50-3,75%, dan tiga orang lainnya berekspektasi suku bunga The Fed menjadi 4,00-4,25%.
Foto: Dot Plot Matrix (September 2024)
Sumber: The Fed
Namun seiring berjalannya waktu, ekspektasi tersebut kian memudar menjadi hanya sekitar 50 basis poin (bps) di 2025.
Chief Economist & Head of Research Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Wisnubroto mengatakan bahwa pasar sudah tidak terlalu melihat pergerakan untuk Desember, melainkan untuk 2025 mendatang.
"Di 2025 kemungkinan FFR hanya turun 2 atau 3 kali, disebabkan oleh kondisi ekonomi AS yang masih akan tetap kuat, sehingga inflasi AS masih tetap tinggi," papar Rully.
Berdasarkan survei CME FedWatch Tool, pemangkasan pertama sebesar 25 bps kemungkinan akan terjadi pada Maret 2025 dan pemangkasan kedua sebesar 25 bps terjadi pada September 2025.
Foto: Meeting Probabilities
Sumber: CME FedWatch Tool
Sementara Ekonom Senior Bank Central Asia, Barra Kukuh Mamia menyatakan bahwa kondisi rupiah yang melemah terjadi di tengah banyaknya repositioning.
"Ini banyak repositioning ya, ahead of FOMC & other central banks meeting. Plus profit taking akhir tahun. Plus pengumuman PPN12%," ujar Barra.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)