2 Harta Karun RI Diramal Bakal Banjiri Dunia, Berkah atau Ancaman?

2 months ago 30

Jakarta, CNBC Indonesia- Indonesia bersiap menjadi pemain kunci di pasar global untuk dua komoditas strategis, nikel dan alumina. Kedua "harta karun" ini menawarkan potensi besar bagi ekonomi nasional, tetapi banjir pasokan yang tak terkendali dapat membawa tantangan serius, termasuk risiko penurunan harga global.

Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi nikel Indonesia diproyeksikan menyumbang hingga 75% kapasitas global pada 2026. Namun, Direktur Jenderal Minerba, Tri Winarno, mengingatkan bahwa kelebihan pasokan tanpa pertumbuhan permintaan yang memadai dapat memicu anjloknya harga nikel dunia

"Kalau oversupply, pastilah harga turun," ujarnya dalam rapat dengan DPR RI pekan lalu. Oleh karena itu, pemerintah tengah menganalisis titik jenuh pasar nikel serta jenis produk yang paling sesuai untuk kebutuhan internasional, termasuk material untuk baterai kendaraan listrik.

Sejauh ini, nikel menjadi salah satu pilar penting dalam transisi energi global, terutama untuk produksi baterai kendaraan listrik (EV). Namun, ketergantungan pada nikel dengan nilai tambah rendah seperti nickel pig iron (NPI) dapat membatasi peluang Indonesia untuk memaksimalkan manfaat ekonominya.

Harga berjangka nikel kini berada di $15.800 per ton. Namun, harganya terancam turun karena penurunan permintaan dari China.

Harga nikel (US$/ton)Foto: LME
Harga nikel (US$/ton)

Sementara alumina, bahan utama pembuatan aluminium, juga menjadi tumpuan baru Indonesia. Kapasitas refinery alumina di Kalimantan Barat diproyeksikan meningkat dua kali lipat menjadi 2 juta ton, mengikuti tren ekspansi global. Pasokan baru ini dapat membantu meredakan keketatan suplai yang telah mendorong harga alumina naik hingga 70% sepanjang tahun ini, mencapai rekor 5.645 yuan per ton di Shanghai Futures Exchange.

Pasokan baru alumina yang akan masuk pasar pada 2025 diprediksi meredakan keketatan suplai global dan menghentikan reli harga alumina yang mencatat rekor tertinggi tahun ini. Alumina, bahan utama untuk memproduksi aluminium, mengalami kenaikan harga drastis akibat gangguan pasokan bauksit dari Guinea dan Brasil, serta penghentian produksi di Australia. Aluminium sendiri banyak digunakan di sektor transportasi, konstruksi, dan kemasan.

Namun, pasar diperkirakan akan menemukan keseimbangan baru pada 2025, dengan masuknya kapasitas baru di China, Indonesia, dan India. UBS dan lembaga riset Antaike memperkirakan harga alumina akan turun signifikan, dengan rata-rata berada di kisaran 3.600-4.000 yuan per ton pada 2025.

China, sebagai produsen dan konsumen terbesar alumina, akan menjadi pendorong utama pasokan baru. Berdasarkan data Shanghai Metals Market (SMM), lebih dari 13 juta ton kapasitas baru akan mulai beroperasi tahun depan. Selain itu, India dan Indonesia juga berkontribusi pada peningkatan kapasitas.

Saat ini, China memanfaatkan tingginya harga alumina untuk meningkatkan ekspor. Sepanjang Januari-September 2024, ekspor alumina China naik 33% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, mencapai 123,57 juta ton dengan harga rata-rata $541 per ton.

Namun, mirip dengan nikel, risiko kelebihan pasokan juga menghantui. Laporan Shanghai Metals Market (SMM) menyebut pasar alumina global akan beralih dari defisit 920.000 ton pada 2024 menjadi surplus 890.000 ton pada 2025, sehingga menekan harga secara signifikan. Sementara itu, di China, defisit diperkirakan berubah menjadi surplus 960.000 ton pada tahun depan.

"Pasar alumina China akan memasuki kelebihan pasokan mulai Februari 2025, yang akan mendorong penurunan harga secara bertahap," ujar Sharon Ding, Kepala Riset Material Dasar di UBS.

Harga alumina (US$/ton)Foto: LME
Harga alumina (US$/ton)

Sementara untuk reli harga alumina tahun ini dipicu oleh berbagai gangguan pasokan, termasuk penutupan pabrik Kwinana di Australia oleh Alcoa, yang memiliki kapasitas 2,19 juta ton per tahun. Lalu force majeure oleh Rio Tinto di Queensland, Australia, yang memengaruhi output refinery Yarwun berkapasitas 3 juta ton per tahun.

Juga banjir di Guinea dan penangguhan ekspor oleh Guinea Alumina Corporation (GAC) akibat masalah bea cukai.

Ketidakpastian ini menambah tekanan pada pasar, meski prospek pasokan baru di 2025 memberikan harapan bagi stabilisasi harga.

CNBC Research Indonesia

(emb/emb)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research