Dolar Tembus Rp16.200, Ini Penyebab dan Analisa Jatuhnya Rupiah!

1 month ago 34

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tampak ambruk di awal perdagangan hari ini (19/12/2024).

Dilansir dari Refinitiv, tak sampai 50 menit sejak perdagangan dibuka, rupiah telah ambles lebih dari 1% terhadap dolar AS dari angka Rp16.085/US$ pada 18 Desember 2024 menjadi Rp16.265/US$.

Sedangkan indeks dolar AS (DXY) pada penutupan perdagangan kemarin (18/12/2024) tampak melambung tinggi sebesar 1% dan berada di posisi 108,03 atau posisi tertinggi sejak November 2022.

Faktor pelemahan rupiah cukup banyak didominasi oleh situasi eksternal khususnya yang datang dari AS. Berikut ini beberapa faktor pelemahan rupiah belakangan ini.

1. Ekspektasi Pemangkasan Fed Fund Rate (FFR) 2025

Pada Kamis dini hari waktu Indonesia, The Fed menunjukkan bahwa mereka mungkin hanya akan menurunkan dua kali lagi pada 2025. Ekspektasi tersebut tercermin dari dot plot terbaru Desember ini. Dot plot merupakan matriks ekspektasi dan pandangan suku bunga masa depan dari masing-masing anggota Federal Open Market Committee (FOMC).

Dot plot terbaru ini lebih pesimis dibandingkan sebelumnya.

Merujuk dot plot terbaru, dua pemotongan yang diekspektasikan pada 2025 ini hanya setengah dari target komite ketika plot tersebut terakhir diperbarui pada September dengan ekspektasi pemangkasan sebesar 100 bps pada 2025.

"Dengan langkah hari ini, kami telah menurunkan suku bunga sebesar satu poin persentase dari puncaknya, dan stance kebijakan kami kini jauh lebih longgar. Oleh karena itu, kami bisa lebih berhati-hati saat mempertimbangkan penyesuaian lebih lanjut terhadap suku bunga kebijakan kami." ujar Chairman The Fed Jerome Powell di konferensi pers usai rapat.

Lebih lanjut, pejabat Fed menunjukkan dua pemotongan lagi pada 2026 dan satu lagi pada 2027. Dalam jangka panjang, komite memandang suku bunga "netral" berada pada 3%, 0,1 poin persentase lebih tinggi dibandingkan pembaruan September, karena tingkat ini secara perlahan meningkat sepanjang tahun ini (3% vs 2,9%).

The FedFoto: Dot Plot Matrix (December 2024)
Sumber: The Fed

Hal ini juga disetujui oleh Global MarketsEconomist Maybank Indonesia,MyrdalGunarto yang mengungkapkan bahwa pelemahan rupiah terjadi karena ekspektasi penurunan suku bunga.

"Jadi wajar kalo rupiah melemah karena ekspektasi penurunan suku bunga The Fed yang seharusnya turun 100 bps, malah jadi 50 bps," ujar Myrdal kepada CNBC Indonesia.

Senada dengan Myrdal, Head of Treasury & Financial Institution Bank Mega, Ralph Birger Poetiray menilai pelemahan rupiah wajar terjadi karena The Fed tidak hawkish untuk pemotongan suku bunga acuan tahun depan.

Sedangkan Ekonom Senior KB Valbury Sekuritas, Fikri Permana mengatakan bahwa ada kekhawatiran perihal Trump tariff ke depan.

"Kekhawatiran fragmented economy dikarenakan Trump tarif dan capital flight to safety yang cukup besar akan dilakukan oleh investor global," papar Fikri.

"Jadinya akan ada capital outflow di Indonesia," tambah Fikri.

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) merilis data transaksi 9-12 Desember 2024 yang tercatat bahwa investor asing melakukan aksi beli neto sebesar Rp7,33 triliun, terdiri dari jual neto sebesar Rp1,31 triliun di pasar saham, beli neto sebesar Rp8,84 triliun di pasar SBN, dan jual neto sebesar Rp0,20 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Namun jika ditarik lebih panjang, investor asing sejak pekan kedua Oktober hingga pekan pertama Desember 2024, terpantau net foreign sell sebesar Rp47 triliun.

2. Inflasi AS Tercatat Lebih Tinggi

Baik Indeks Harga Konsumen (IHK) dan Indeks Harga Produsen (IHP) AS untuk periode November secara year on year/yoy terpantau naik lebih tinggi yakni masing-masing sebesar 2,7% yoy & 3% yoy.

Ekonom Sucor Sekuritas, Ahmad Mikail menyampaikan bahwa IHP AS yang lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar membuat rupiah tertekan.

Sebagai informasi, IHP sangat dipantau oleh para ekonom dan investor karena mengukur tingkat inflasi dari perspektif produsen dengan melacak perubahan harga barang yang dijual oleh produsen. Indikator ini dianggap sebagai petunjuk awal inflasi harga konsumen, yang menyumbang sebagian besar dari total inflasi.

Kenaikan IHP menunjukkan bahwa produsen sedang menghadapi biaya yang lebih tinggi, yang mungkin akan diteruskan ke konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan inflasi konsumen, yang sering kali diikuti dengan kenaikan suku bunga. Kenaikan suku bunga umumnya akan memperkuat USD karena menarik investor asing yang mencari imbal hasil lebih tinggi dari investasi mereka.

Sebagai kesimpulan, data IHP terbaru dengan angka yang lebih tinggi dari perkiraan mengarah pada tren bullish untuk USD. Ini juga menegaskan potensi peningkatan inflasi, yang dapat lebih memperkuat dolar hijau dalam waktu dekat.

Hal ini juga ditanggapi oleh Ekonom Panin Sekuritas, Felix Darmawan mengemukakan bahwa progress penurunan inflasi yang lambat membuat rupiah kembali tertekan.

Sebagai informasi, sejak dahulu, The Fed menargetkan target inflasi AS yakni di angka 2%. Sedangkan kondisi saat ini justru tampak inflasi kembali menjauhi target tersebut.

3. Imbal Hasil Surat Utang AS Melesat

Imbal hasil US Treasury untuk tenor dua, lima, dan 10 tahun tercatat mengalami kenaikan yang cukup signifikan pada penutupan perdagangan kemarin.

Sebagai contoh pada imbal hasil US Treasury tenor dua tahun terpantau naik 2,69% ke angka 4,355%. Tenor lima tahun naik 3,18% ke angka 4,383%. Tenor 10 tahun naik 2,58% ke angka 4,498% pada 18 Desember 2024.

Ahmad juga menegaskan bahwa naiknya imbal hasil US Treasury menjadi penekan rupiah belakangan ini.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research