Harga Minyak Hingga Timah dalam Tekanan Hebat, Resesi Makin Dekat?

1 day ago 6

Jakarta, CNBC Indonesia-  Tekanan di pasar komoditas global terlihat semakin nyata. Sejak  Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan kebijakan tarifnya pada Rabu pekan lalu (2/4/2025), indeks S&P GSCI yang melacak pergerakan harga komoditas energi, logam, dan agrikultur dunia telah terkoreksi lebih dari 8%.

Koreksi ini muncul setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif resiprokal yang memicu kembali ketegangan dagang global. Dengan harga energi, logam industri, hingga hasil pertanian yang jatuh serentak dalam gelombang jual besar-besaran, apakah kita sedang bersiap menghadapi badai resesi?

Meski sempat ada pemulihan teknikal pasca sinyal pelonggaran sebagian tarif oleh Trump, pasar belum benar-benar pulih. Sebaliknya, eskalasi justru berlanjut dengan kenaikan tarif impor dari China menjadi 125%, meningkatkan risiko perlambatan permintaan global.

"Bagi kami, runtuhnya harga komoditas adalah circuit breaker, tanda bahwa roda ekonomi global tengah melambat secara sistemik," tegas Marko Papic, pakar makro dan geopolitik dari BCA Research kepada CNBC International.

Dari seluruh subsektor, energi mencatatkan pelemahan terdalam, dengan koreksi sekitar 12% dalam sembilan hari terakhir. Disusul logam industri yang turun hampir 9%, dan komoditas agrikultur yang terkoreksi 5,2%, menurut data S&P Global.

Di pasar minyak, harga Brent pada akhir pekan ini, Jumat (11/4/2025) ada di posisi US$ 64,76 dan WTI ada di US$ 61,5 per barel.  Keduanya masih di zona terendah dalam empat tahun terakhir meski sempat menguat setelah Trump mengumumkan U-turn tarif.

Tekanan tambahan datang dari keputusan OPEC+ untuk mempercepat jadwal penambahan produksi, yang semakin membebani prospek harga. Goldman Sachs pun menurunkan proyeksi harga minyak untuk akhir tahun menjadi US$62 untuk Brent dan US$58 untuk WTI.

Harga tembaga, sebagai indikator utama aktivitas industri, juga berada di bawah tekanan. Kontrak tembaga di New York saat ini diperdagangkan di level US$8.380 per ton, turun lebih dari 16% sejak awal April, menurut data FactSet.

Ewa Manthey, analis ING menyebutkan, tekanan harga diperburuk oleh prospek suram sektor properti di China, yang masih menjadi konsumen utama logam industri global. "Permintaan dari China belum menunjukkan pemulihan berarti, sementara ekonomi AS juga diproyeksi melambat akibat tekanan tarif," 

Goldman Sachs pun memangkas proyeksi harga tembaga, memperkirakan bahwa harga dapat kembali menyentuh level US$6.500-US$5.900 per ton-setara dengan harga saat puncak perang dagang dan awal pandemi.

Kekhawatiran perlambatan ekonomi kini makin terstruktur. JPMorgan memproyeksikan PDB AS akan terkontraksi 0,3% tahun ini, berbalik dari performa kuat tahun lalu. Dengan pergerakan harga minyak yang terus melemah sejak awal April, analis ING menyebut pasar kini mulai mempersiapkan skenario terburuk, perlambatan serentak antara AS dan China. Sementara itu, menurut Fitch Solutions, probabilitas AS masuk ke resesi telah menembus 50%.

"Pasar komoditas dihantam bukan hanya oleh tekanan fundamental, tapi oleh sentimen yang membusuk dengan cepat-seiring meningkatnya ketegangan geopolitik dan hilangnya kepercayaan terhadap permintaan global," ungkap Sabrin Chowdhury, kepala riset komoditas di Fitch Solutions.

Dengan probabilitas resesi AS kini diperkirakan menembus 50%,  tidak mengherankan jika investor mulai menarik diri dari aset riil. Bahkan, gelombang jual ini mungkin baru permulaan. Jika krisis kepercayaan makin dalam, maka tekanan berikutnya bisa lebih brutal juga merata ke seluruh dunia.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research