Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi Indonesia tercatat sebesar 1,57% secara tahunan (year on year/yoy) pada 2024. Inflasi tahunan ini merupakan inflasi terendah sepanjang masa.
Secara bulanan, angka inflasi Desember 2024 tercatat melonjak mencapai 0,44% (month on month/mtm). Inflasi ini disebabkan oleh peningkatan permintaan barang dan jasa menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru).
Data aktual yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) ini tak jauh berbeda dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 13 institusi yang memperkirakan IHK akan naik atau mengalami inflasi secara bulanan sebesar 0,47%. Sementara secara tahunan inflasi diproyeksi akan menembus 1,61%.
Inflasi 2024 Terendah Sepanjang Sejarah
Sebelumnya inflasi terendah tercatat pada 2020 ketika pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia. Pada saat itu, inflasi tahunan sebesar 1,68%.
Pada 2020, inflasi terpantau sangat rendah dikarenakan penurunan daya beli akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat ekonomi mati suri. Produksi terhambat karena penerapan protokol kesehatan, dan permintaan pun anjlok karena aktivitas masyarakat di luar rumah masih sangat terbatas.
Oleh karena itu, inflasi rendah lebih dimaknai sebagai kelesuan ekonomi. Pelaku usaha sulit menaikkan harga demi mempertahankan permintaan. Ini bukan ciri ekonomi yang sehat.
Sementara pada 2024, penurunan daya beli kembali menjadi alasan rendahnya angka inflasi bahkan menjadi yang terendah sejak BPS merilis angka inflasi padahal tidak terdapat pandemi yang membuat kelumpuhan ekonomi domestik.
Berikut ini beberapa alasan rendahnya angka inflasi Indonesia di 2024.
1. Harga Komoditas yang Cenderung Stabil
Harga komoditas sepanjang 2024 baik cenderung bergerak stabil. Data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) menunjukkan harga komoditas Beras, Daging Ayam, Daging Sapi, Telur Ayam, Bawang Merah, Bawang Putih, Cabai Merah, Cabai Rawit, Minyak Goreng, Gula Pasir cenderung stabil bahkan menurun pada semester II-2024.
Melandainya harga bahan pangan pokok setelah terbang pada 2022 dan 2023 menjadi faktor utama rendahnya angka inflasi yang tercatat.
"Rendahnya inflasi pada 2024 disebabkan oleh sejumlah faktor, tetapi melandainya harga pangan pokok setelah sempat naik pada 2022 dan 2023 bisa dikatakan menjadi faktor utama," ujar Pudji dalam Konferensi Pers Indeks Harga Konsumsi (IHK) Desember 2024, Kamis (2/1/2025).
2. Daya Beli Melemah
Tingkat daya beli yang melemah juga menjadi faktor rendahnya angka inflasi Indonesia di 2024.
Hal ini diindikasikan dengan angka Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dirilis BI bahwa rata-rata IKK Januari-November 2024 yakni sebesar 124,2. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama 2023 yang sebesar 124,4.
Ekonom Senior KB Valbury Sekuritas, Fikri Permana mengutarakan bahwa dampak Natal dan Tahun Baru/Nataru & libur sekolah ke konsumsi masyarakat & pertumbuhan ekonomi tahun ini akan lebih terbatas dibandingkan tahun lalu.
2. Deflasi Lima Bulan Beruntun
Indonesia mencatat deflasi selama lima bulan beruntun (mtm) pada Mei-September 2024, sebuah kondisi yang belum pernah dialami Indonesia sejak 1999. Panjangnya deflasi bahkan melebihi pada periode awal pandemi 2020 (tiga bulan beruntun).
Deflasi ini menjadi salah satu faktor utama dari rendahnya inflasi tahunan di akhir 2024.
3. PHK Merajalela
Selain karena terjaganya harga bahan pangan, melemahnya daya beli disinyalir menjadi salah satu alasan rendahnya inflasi pada 2024.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus mengalami lonjakan bulan demi bulan. Banyaknya PHK ini membuat pendapatan sebagian orang berkurang bahkan hilang sama sekali. Dengan demikian, kemampuan untuk membeli barang semakin berkurang sehingga konsumsi berkurang. Dengan permintaan yang turun maka harga barang pun ikut turun.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat sebanyak 80.000 pekerja di Indonesia terkena PHK selama periode Januari hingga awal Desember 2024.
Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer mengungkapkan ada potensi berlanjutnya gelombang PHK yang mengancam dunia usaha. Dia bilang, ada sekitar 60 perusahaan yang berencana melakukan PHK dalam waktu dekat. Baginya ini sangat mengerikan.
"Kemarin saya diskusi dengan beberapa kawan-kawan, ada sekitar 60 perusahaan yang akan melakukan PHK. Ini kan mengerikan sekali gitu loh," kata Immanuel atau yang akrab disapa Noel saat ditemui usai konferensi pers di kantor Kemnaker, Senin (23/12/2024).
Berdasarkan laporan yang diterimanya, baik dari kalangan pengusaha maupun serikat pekerja, meningkatnya ancaman PHK beberapa waktu belakangan ini disebutkan karena adanya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Dia pun bercerita banyak kalangan pengusaha mengadu Permendag 8 tersebut sebagai biang kerok tumbangnya dunia industri di Tanah Air terutama mempermudah perizinan impor bahan jadi.
4. PMI Manufaktur Melemah
Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global menunjukkan PMI manufaktur Indonesia terkontraksi ke 49,6 pada November 2024. Angka ini lebih baik sedikit dibandingkan Oktober 2024 (49.2).
Namun, data tersebut juga menunjukkan PMI Manufaktur Indonesia sudah mengalami kontraksi selama lima bulan beruntun yakni pada Juli (49,3), Agustus (48,9), September (49,2), Oktober (49,2), dan November 2024 (49,6).
Kontraksi lima bulan beruntun ini mempertegas fakta jika kondisi manufaktur RI kini sangat buruk.
Aktivitas manufaktur yang terkontraksi ini mengindikasikan bahwa new order atau pesanan baru juga tampak berada dalam teritori kontraksi. Turunnya pesanan ini menunjukkan adanya pelemahan konsumsi sehingga ikut menekan harga.
5. Turunnya Kelas Menengah
Jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Riset dan Inovasi Nasional, jumlah kelas menengah turun dari 57,33 juta orang pada 2019 atau setara 21,45% dari total penduduk menjadi 48,27 juta jiwa pada 2023 atau setara 17,13%.
Penurunan sebesar 18,8% atau sekitar 9,06 juta jiwa ini memberikan dampak besar bagi perekonomian nasional, khususnya dalam penyerapan produk atau konsumsi.
"Kombinasi itulah dari menurunnya kelas menengah dan masih tingginya aspiring middle class dan near poor yang mengindikasikan ada kemungkinannya pelemahan konsumsi. Kalau daya beli kita melemah otomatis konsumsi juga melemah," ucap Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi Bambang Brodjonegoro dalam program Cuap-Cuap Cuan CNBC Indonesia.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)