- Pasar keuangan Indonesia, saham maupun nilai tukar rupiah, dipenuhi sentimen luar negeri
- Dua Pejabat Teh Fed memberikan komentar terkait arah kebijakan moneter Amerika Serikat
- Indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite mencetak rekor baru
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan tertekan oleh data ekonomi Indonesia pada perdagangan kemarin, Senin (2/12/2024). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) maupun nilai tukar ruiah berakhir di zona negatif.
IHSG ditutup merana pada perdagangan Senin (2/12/2024) dan terkoreksi ke level psikologis 7.000. IHSG ditutup merosot 0,95% ke posisi 7.046,99.
Nilai transaksi indeks kemarin mencapai sekitar Rp 10,4 triliun dengan melibatkan 19,1 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,4 juta kali. Sebanyak 222 saham menguat, 370 saham melemah, dan 199 saham stagnan.
Secara sektoral, sektor konsumer non-primer menjadi penekan terbesar IHSG di perdagangan kemarin yakni mencapai 2,69%.
Sementara dari sisi saham, emiten perbankan raksasa kembali menjadi penekan terbesar IHSG yakni PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) mencapai 16,3 indeks poin, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) sebesar 13,4 indeks poin, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) sebesar 11,5 indeks poin, dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) sebesar 9,6 indeks poin.
Selain itu, ada pula emiten 'raja otomotif' yakni PT Astra International Tbk (ASII) yang juga membebani IHSG sebesar 7,1 indeks poin.
Sementara itu, rupiah ambruk di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan awal pekan ini, Senin (2/12/2024), seiring dengan munculnya sejumlah sentimen domestik yang membebani pasar keuangan.
Melansir data Refinitiv, pada penutupan perdagangan hari ini (2/12/2024) rupiah tertekan hingga melemah sebesar 0,35% ke Rp 15.895/US$. Sepanjang hari, nilai tukar rupiah berfluktuasi di rentang Rp15.915/US$ hingga Rp15.850/US$.
Bersamaan dengan pelemahan rupiah, Indeks Dolar AS (DXY) alami penguatan hingga 0,57% tepat pukul 15.00 ke posisi 106,34. Hal ini tentu menjadi tekanan bagi rupiah dan menjadi salah satu faktor ambruknya nilai tukar RI.
Penyebab IHSG ambles nyaris 1% dan dolar yang semakin mahal adalah data ekonomi terbaru yang cenderung mengecewakan, di mana data aktivitas manufaktur RI kembali mengalami kontraksi.
PMI manufaktur Indonesia terkontraksi ke 49,2 pada Oktober 2024. Angka ini tidak berubah dibandingkan September.
Kontraksi lima bulan beruntun ini mempertegas fakta jika kondisi manufaktur RI kini sangat buruk.
Terakhir kali Indonesia mencatat kontraksi manufaktur selama empat bulan beruntun adalah pada awal pandemi Covid-19 2020 di mana aktivitas ekonomi memang dipaksa berhenti untuk mengurangi penyebaran virus.
Aktivitas manufaktur yang terkontraksi secara terus menerus akan menjadi sinyal bahaya terutama bagi serapan tenaga kerja yang bisa berakibat lonjakan angka pengangguran.
Saat pengangguran meningkat, daya beli masyarakat Indonesia akan semakin menurun. Tentunya hal ini tidak baik bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang notabene berpangku pada belanja rumah tangga yang berkontribusi lebih dari 50% terhadap produk domestik bruto Indonesia.
Di lain sisi, Indonesia kembali mengalami inflasi pada November lalu. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat indeks harga konsumen (IHK) mengalami kenaikan inflasi pada bulan lalu sebesar 0,30% (month-to-month/mtm) dibandingkan Oktober 2024 yang sebesar 0,08% (mtm)
Sementara inflasi tahunannya tercatat 1,55% (year-on-year/yoy) dan inflasi tahun kalender sebesar 1,12% (year-to-date/YTD).
Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan komoditas kelompok makanan, minuman dan tembakau yang jadi penyumbang utama inflasi sepanjang November 2024.
"Delapan dari sepuluh komoditas penyumbang utama inflasi merupakan komoditas dari kelompok makanan, minuman dan tembakau dengan 4 komoditas andil tertinggi bawang merah, tomat, daging ayam ras dan minyak goreng," kata Amalia dalam rilis BPS, Senin (3/12/2024).
Pages