Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, mendeklarasikan darurat militer/martial law pada Selasa (3/12/2024). Hal ini sontak mendapatkan pertentangan dari berbagai pihak.
Langkah yang diambil Yoon menjadi puncak dari serangkaian konflik dengan oposisi domestik, media, bahkan partainya sendiri, Partai Kekuatan Rakyat (People Power Party/PPP).
Deklarasi darurat militer Yoon juga memerintahkan para dokter yang sedang mogok kerja untuk kembali bertugas di tengah konflik seputar reformasi kesehatan. Namun, langkah ini ditolak oleh parlemen, yang memaksa presiden untuk mencabutnya. Alhasil, Yoon menarik kembali deklarasi itu hanya beberapa jam kemudian.
Sebagai informasi, deklarasi darurat militer yang disampaikan Yoon terjadi akibat tuduhan oposisi sebagai "kekuatan anti-negara pro-Korea Utara" dan menyebut mereka telah menciptakan krisis yang mengancam tatanan konstitusional.
"Saya mendeklarasikan darurat militer untuk melindungi Republik Korea yang bebas dari ancaman kekuatan komunis Korea Utara dan untuk memberantas kekuatan anti-negara pro-Korea Utara yang memeras kebebasan rakyat kita," kata Yoon, dilansir The Guardian.
Apa Itu Darurat Militer?
Hukum Darurat Militer diberlakukan otoritas militer dalam keadaan darurat, pada saat pejabat sipil dianggap tidak dapat berfungsi. Ini sering melibatkan penghentian hak-hak sipil dan penerapan hukum militer.
Hukum militer sering kali juga membatasi protes publik, pemogokan, dan kemungkinan bentuk pertemuan publik lainnya.
Konstitusi Korea Selatan menyatakan bahwa presiden dapat memproklamasikan hukum militer ketika "diperlukan untuk mengatasi kebutuhan militer atau untuk menjaga keselamatan dan ketertiban publik dengan mobilisasi pasukan militer dalam waktu perang, konflik bersenjata, atau keadaan darurat nasional serupa."
Komandan hukum militer, yang ditunjuk oleh presiden atas rekomendasi menteri pertahanan di antara jenderal aktif, memiliki kekuasaan untuk mengambil tindakan terkait penangkapan orang, pencarian dan penyitaan, pidato dan pers, serta pertemuan.
Komandan memiliki wewenang atas semua masalah administratif dan yudisial.
Sejarah Hukum Darurat Militer
Pertama kali hukum darurat militer diberlakukan di Korea pada 15 Agustus 1948 ketika republik didirikan. Kasus atau peristiwa yang memicu Darurat Militer beragam mulai Pemberontakan Yeosu-Suncheon dan Perang Korea 1950-1953.
Sebelum Korea Selatan beralih ke demokrasi langsung pada akhir 1990-an, hukum militer telah diterapkan beberapa kali. Terakhir kali hukum militer diumumkan di Korea Selatan adalah pada tahun 1979, setelah pembunuhan diktator Korea Selatan saat itu, Park Chung-hee, yang telah merebut kekuasaan dalam sebuah kudeta militer pada 1961.
Pada 1980, hukum militer diperpanjang sepenuhnya setelah sekelompok perwira militer yang dipimpin oleh Chun Doo-hwan memaksa Presiden saat itu, Choi Kyu-hah, untuk memproklamasikan hukum militer untuk menghancurkan seruan dari oposisi, buruh, dan mahasiswa untuk mengembalikan pemerintahan demokratis.
Hukum Darurat Militer dan Hak Asasi Manusia
Dilansir dari Amnesty International, hukum darurat militer yang disampaikan semalam, tidak boleh digunakan untuk membenarkan penindasan terhadap hak asasi manusia rakyat.
"Presiden Yoon harus memberikan penjelasan penuh mengenai alasan deklarasi hukum darurat militer dan memastikan bahwa setiap langkah yang membatasi hak asasi manusia bersifat luar biasa, sementara, dan terbatas pada apa yang benar-benar diperlukan oleh tuntutan situasi, semuanya harus tunduk pada tinjauan yudisial," ujar Peneliti Asia Timur dari Amnesty International, Boram Jang.
"Jika deklarasi hukum darurat militer berarti transfer kekuasaan administratif dan yudisial kepada militer, ini mengancam untuk membalikkan kemajuan yang telah diperoleh dengan susah payah selama beberapa dekade dan bisa berdampak menghancurkan pada hak asasi manusia. Tanpa pembenaran yang cukup, ini akan menjadi pelanggaran yang jelas terhadap hukum dan standar hak asasi manusia internasional," papar Boram.
"Bahkan jika keadaan darurat publik diumumkan, supremasi hukum tetap harus ditegakkan. Hukum darurat militer tidak bisa dan tidak boleh digunakan sebagai alat untuk menekan perbedaan pendapat atau membatasi kebebasan dasar. Tindakan Presiden Yoon harus mematuhi standar internasional mengingat ancaman serius terhadap supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia." tutup Boram.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev)