Jakarta, CNBC Indonesia- Indonesia kembali menunjukkan taringnya sebagai raksasa kelapa sawit dunia. Namun kali ini, bukan minyak sawit mentah (CPO) yang menjadi sorotan, melainkan limbahnya: cangkang sawit.
Limbah yang sering kali dipandang sebelah mata ini ternyata menyumbang angka ekspor signifikan dengan nilai mencapai ratusan juta dolar AS sepanjang 2023. Dengan pasar utama Jepang, Thailand, hingga Portugal.
Cangkang sawit, atau palm kernel shell (PKS), adalah residu dari proses pengolahan kelapa sawit yang berbentuk keras dan mengandung energi tinggi. Berkat kandungan kalori tinggi, cangkang sawit kini digunakan sebagai bahan bakar alternatif dalam pembangkit listrik tenaga biomassa. Bahkan, beberapa negara Eropa, seperti Portugal, mulai melirik bahan bakar ini untuk mendukung transisi energi hijau.
Foto: Tandan buah segar kelapa sawit terlihat di tempat pengumpul sebelum diangkut ke pabrik CPO di Pekanbaru, provinsi Riau, Indonesia, Rabu (27/4/2022). (REUTERS/Willy Kurniawan)
Tandan buah segar kelapa sawit terlihat di tempat pengumpul sebelum diangkut ke pabrik CPO di Pekanbaru, provinsi Riau, Indonesia, Rabu (27/4/2022). (REUTERS/Willy Kurniawan)
Dalam beberapa tahun terakhir, permintaan global terhadap cangkang sawit melonjak, terutama dari negara-negara yang menggalakkan penggunaan energi terbarukan. Jepang, misalnya, mengimpor 4,66 miliar kilogram cangkang sawit dengan nilai US$ 550 juta sepanjang 2023.
Jepang membutuhkan cangkang sawit untuk pembangkit listrik biomassa mereka. Energi bersih menjadi prioritas pemerintah Jepang, dan Indonesia memenuhi standar kualitas tersebut.
Thailand dan Korea Selatan juga menjadi pasar utama, masing-masing mencatat impor senilai US$ 25,5 juta dan US$ 20,7 juta. Kedua negara ini memanfaatkan cangkang sawit sebagai bahan bakar industri, sementara Singapura dan Portugal berada di peringkat berikutnya dengan nilai impor lebih kecil.
Bagi petani lokal, cangkang sawit menawarkan harapan baru. Limbah yang dulunya hanya dibiarkan membusuk kini bisa menjadi sumber pendapatan tambahan. Harga cangkang sawit di pasar internasional sendiri rata-rata mencapai US$ 0,12 per kilogram, memberikan potensi penghasilan signifikan bagi para petani dan pelaku industri.
Di sisi lain, muncul kekhawatiran terkait dampak lingkungan dan keberlanjutan. Cangkang sawit sebenarnya memiliki peran penting sebagai bahan organik yang dapat mengembalikan kesuburan tanah. Eksploitasi besar-besaran tanpa pengelolaan yang berkelanjutan bisa berisiko mengurangi kandungan hara tanah di area perkebunan sawit. Selain itu, ketergantungan terhadap pasar ekspor, terutama Jepang, menimbulkan pertanyaan tentang ketahanan pasar ini di masa depan. Jika Jepang mengubah kebijakan energi mereka, Indonesia mungkin harus menghadapi tantangan baru.
Indonesia sebagai eksportir terbesar cangkang sawit di dunia perlu mempersiapkan strategi untuk memaksimalkan potensi komoditas ini. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan memperkuat teknologi pengolahan untuk meningkatkan kualitas cangkang sawit, sehingga daya saing di pasar global semakin tinggi. Selain itu, kebijakan ekspor yang berorientasi pada keberlanjutan sangat penting agar keuntungan ekonomi ini tidak mengorbankan lingkungan.
Data BPS juga menunjukkan bahwa ekspor cangkang sawit merupakan bagian kecil dari total kontribusi industri sawit yang mencapai produksi 46,82 juta ton CPO pada 2022. Riau menjadi provinsi dengan kontribusi terbesar, menghasilkan 8,74 juta ton atau sekitar 18,67% dari total produksi nasional.
Di tengah upaya global menuju energi hijau, cangkang sawit adalah salah satu solusi yang dapat membawa manfaat ekonomi besar bagi Indonesia. Namun, seperti halnya semua sumber daya alam, pengelolaan yang bijaksana adalah kunci untuk memastikan bahwa potensi ini dapat dinikmati oleh generasi mendatang.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)