Jakarta, CNBC Indonesia - Kemenangan Donald Trump dalam pemilu Amerika Serikat (AS) 2024 memicu kekhawatiran. Dengan visi Make America Great Again (MAGA), Trump dikhawatirkan bakal memicu memanasnya lagi perang dagang AS dengan China. Kondisi ini bukan tidak mungkin akan berdampak bagi Indonesia yang merupakan mitra dagang kedua negara tersebut.
Trump yang memenangi pemilu pada 5 November lalu akan resmi menjabat sebagai Presiden AS pada 20 Januari 2025.
Berikut sejumlah kekhawatiran Indonesia pasca kemenangan Trump:
1. Perang Dagang AS-China, RI Jadi Buangan?
Sebagai informasi, pada 2018 silam, perang dagang antara AS dan China dimulai saat Donald Trump menjabat sebagai presiden Amerika Serikat. Trump berjanji untuk mengambil tindakan tegas terhadap China yang dianggap telah merugikan Amerika Serikat secara ekonomi dan politik.
Amerika Serikat dan China adalah dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Namun, perdagangan antara keduanya sangat tidak seimbang, mengingat China memiliki surplus perdagangan besar dengan Amerika Serikat.
Defisit perdagangan Amerika Serikat dengan China menjadi masalah utama bagi pemerintah Amerika Serikat. Pada tahun 2018, defisit perdagangan Amerika Serikat dengan China mencapai US$ 419,5 miliar.
Hal ini menjadi perhatian utama bagi pemerintahan Amerika Serikat yang berusaha untuk mengurangi defisit perdagangan dengan China. Alhasil, perang dagang Amerika Serikat dan China pecah sebagai usaha Amerika mempertahankan kekuatannya sebagai negara nomor satu dunia.
Pada saat itu Trump memberlakukan tarif impor pada produk-produk China yang dianggap merugikan Amerika Serikat.
China kemudian membalas dengan memberlakukan tarif impor pada produk-produk Amerika Serikat sebagai tanggapan atas tindakan tersebut.
Kedua negara terus saling memberlakukan tarif impor secara bertahap dan perang dagang semakin meningkat.
Amerika Serikat memperkenalkan tarif impor senilai miliaran dolar pada produk China, termasuk teknologi tinggi, yang kemudian dibalas China dengan memberlakukan tarif impor pada produk Amerika Serikat seperti kedelai, jagung, dan daging babi.
Perang dagang ini juga dipicu oleh masalah kekayaan intelektual dan pemaksaan transfer teknologi. Amerika Serikat menuduh China mencuri teknologi dan rahasia perdagangan Amerika Serikat. China kemudian membantah tudingan tersebut.
Bagi Indonesia sendiri, perang tarif di antara kedua negara juga akan berdampak pada rantai pasok global. Bila AS menaikkan tarif produk asal China maka bisa berdampak luas terhadap pemasok China seperti Indonesia. Dengan tarif yang naik maka barang produksi China lebih mahal sehingga berkurang peminatnya. Kondisi ini bisa berdampak pada penurunan permintaan bahan mentah yang menyokong produk dari China, termasuk dari Indonesia.
2. Gejolak Harga Komoditas Pengaruhi RI
Ketegangan hubungan dagang AS-China sedikit mereda pada Desember 2018 setelah kedua negara sepakat untuk menghindari tambahan pengenaan tarif selama 90 hari sejak tanggal 1 Desember 2018.
Untuk diketahui, perang dagang ikut andil besar dalam menekan ekonomi global hingga perdagangan internasional serta jatuhnya harga komoditas.
Volume perdagangan dunia pada 2018 melambat menjadi 3,7% dari pertumbuhan pada tahun sebelumnya sebesar 4,7%. Penurunan aktivitas ekonomi dunia berkontribusi pada penurunan sebagian besar harga komoditas global.
Perekonomian dunia melambat dengan hanya tumbuh 3,7% pada 2018 dari 3,8% pada 2017.
Dilansir dari Refinitiv, harga batu bara tampak mengalami penurunan dari sekitar angka US$84 per ton (awal Januari 2017) dan terus mengalami mengalami depresiasi bahkan pada Agustus 2020 berada di bawah level US$50 per ton meskipun pada akhir Januari 2021 mengalami kenaikan menjadi US$90 per ton.
Begitu pula dengan harga Crude Palm Oil (CPO) yang cenderung mengalami penurunan dari sekitar angka MYR3.100 per ton (awal Januari 2017) dan terus mengalami depresiasi hingga turun di bawah level MYR2.000 per ton pada Juli 2019 dan Mei 2020 meskipun pada akhir Januari mengalami kenaikan menjadi MYR3.490 per ton.
Melemahnya harga komoditas ini tentu akan memberikan dampak negatif bagi Indonesia yang neraca perdagangannya ditumpu oleh commodity based. Ketika harga komoditas mengalami pelemahan, maka akan semakin sulit bagi Indonesia untuk mencatat neraca perdagangan yang surplus. Lebih lanjut, hal ini berdampak suplai dolar AS di Tanah Air yang relatif minim.
3. Fasilitas GSP Indonesia Terancam
Munculnya perang dagang memicu gejolak baik dari sisi nilai maupun volume perdagangan Indonesia ke China dan ke AS. Mengingat China dan AS merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia (ekspor) pada periode tersebut.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sepanjang 2018, ekspor non-migas Indonesia paling banyak ke China sejumlah US$24,39 miliar atau 15% dan ke AS sejumlah US$17,67 miliar atau 10,87%.
GSP sendiri merupakan kebijakan perdagangan suatu negara yang memberi pemotongan bea masuk impor terhadap produk ekspor negara penerima. Ini merupakan kebijakan perdagangan sepihak (unilateral) yang umumnya dimiliki negara maju untuk membantu perekonomian negara berkembang, tetapi tidak bersifat mengikat bagi negara pemberi maupun penerima.
Pada saat itu, Indonesia menerima GSP dari beberapa negara termasuk AS, negara-negara di Uni Eropa dan Australia.
Melalui program GSP, AS memberi potongan bea masuk terhadap sekitar 5.000 produk dari total 13.000 jenis produk dengan tiga kategori, yakni kategori A, A* dan A+. Berdasarkan laporan GSP AS tahun 2016, Indonesia hanya memperoleh pemotongan bea masuk sebesar US$1,8 miliar atau setara dengan Rp 25,8 triliun dari total ekspor Indonesia ke AS sebanyak US$20 miliar di tahun 2016.
Lebih lanjut pada 2018, ekspor Indonesia yang menggunakan fasilitas GSP tercatat sebanyak US$ 2,13 miliar dari total ekspor Indonesia ke AS sebesar US$ 18,4 miliar. Pada periode Januari-Desember 2018, Indonesia bisa menghemat sebanyak US$ 101,8 juta melalui pemanfaatan GSP.
Jumlah penghematan ini meningkat sebesar US$ 23 juta atau 29% dibandingkan 2017 yang tercatat sebesar US$ 78,8 juta.
Produk ekspor utama Indonesia yang diekspor ke AS menggunakan skema GSP di antaranya ban mobil (US$ 138 juta), kalung emas (US$ 126,6 juta), asam lemak (US$ 102,3 juta), tas tangan dari kulit (US$ 4,8 juta), dan aksesori perhiasan (US$ 69 juta).
Sementara pada 2019, ekspor Indonesia yang menggunakan GSP mencapai US$ 2,61 miliar. Angka ini setara dengan 13,1% dari total ekspor Indonesia ke AS, yakni US$ 20,1 miliar.
Ekspor GSP Indonesia di tahun 2019 berasal dari 729 pos tarif barang dari total 3.572 pos tarif produk yang mendapatkan preferensi tarif GSP, yang meliputi manufaktur, pertanian, perikanan, dan sektor industri primer lainnya.
Sedangkan pada November 2020, AS memperpanjang status GSP Indonesia setelah kunjungan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo pada 29 Oktober.
Dengan semakin diperpanjangnya program GSP ini, maka produsen AS akan mendapatkan produk yang dibutuhkan untuk produksi mereka. Pada saat yang sama, pemberian program ini sekaligus mendorong ekspor negara-negara berkembang ke pasar AS.
Namun tidak menutup kemungkinan bahwa Indonesia tidak mendapatkan kembali fasilitas GSP ini khususnya pasca Trump menang dalam pemilu AS.
Saat ini Indonesia sudah tidak lagi dapat dikatakan sebagai negara middle-low income country. Alhasil ada kemungkinan fasilitas GSP Indonesia akan dicabut.
Bank Dunia telah meningkatkan status Indonesia menjadi negara pendapatan menengah atas dari sebelumnya negara pendapatan menengah bawah, berdasarkan klasifikasi negara oleh Bank Dunia.
Klasifikasi ini, yang diperbarui setiap tahun pada 1 Juli, dibagi menjadi empat kategori berdasarkan pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita.
Kategori tersebut adalah pendapatan rendah (US$ 1.035), pendapatan menengah bawah (US$ 1.036 - 4.045), pendapatan menengah atas (US$ 4.046 - 12.535), dan pendapatan tinggi (>US$ 12.535).
Bank Dunia menggunakan klasifikasi ini sebagai faktor untuk menentukan apakah suatu negara dapat menggunakan fasilitas bank, seperti penetapan harga pinjaman.
Sebagai catatan, GNI per kapita Indonesia naik menjadi US$ 4.050 pada 2019, dari posisi sebelumnya yaitu US$ 3.840 pada 2018.
Sementara Bank Dunia kembali merevisi standar klasifikasi pendapatan menengah atas yang sebelumnya memiliki batas bawah US$ 4.046 (2019) menjadi US$ 4.466 (periode 1 Juli 2023 hingga full year 2024).
Indonesia berhasil kembali ke dalam kategori upper middle income country (UMIC) di tahun 2023 dengan GNI per kapita mencapai US$ 4.580 (batas bawah UMIC sebesar US$ 4.466).
Peningkatan status Indonesia ini membuktikan ketahanan ekonomi dan pertumbuhan yang berkelanjutan telah terjaga dengan baik dalam beberapa tahun terakhir.
Status baru ini juga diharapkan dapat lebih memperkuat kepercayaan dan persepsi dari para investor, mitra dagang, mitra bilateral, dan mitra pembangunan terhadap perekonomian Indonesia.
Selain itu, status yang lebih tinggi ini juga diperkirakan akan meningkatkan investasi, memperbaiki kinerja neraca pembayaran, mendorong daya saing ekonomi, dan memperkuat dukungan keuangan.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu melakukan negosiasi yang baik untuk mempertahankan fasilitas GSP tetap dimiliki oleh Indonesia.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)