Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah ambruk terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada hari ini, Kamis (21/11/2024). Hal ini terjadi di tengah kondisi global yang terus menjadi perhatian.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah tampak ambruk sebesar 0,58% terhadap dolar AS pada sesi-I perdagangan hari ini ke angka Rp15.953/US$. Angka ini selaras dengan penutupan perdagangan kemarin (20/11/2024) yang melemah sebesar 0,22%.
Sementara indeks dolar AS (DXY) mengalami kenaikan pada penutupan perdagangan kemarin sebesar 0,45% ke angka 106,68.
Beberapa faktor pelemahan rupiah secara umum terjadi karena faktor eksternal. Berikut ini penyebab pelemahan rupiah belakangan ini:
1. Kemenangan Trump dan Indeks Dolar
Pada awal November 2024, Donald Trump telah memenangi pemilu AS melawan Kamala Harris. Hal ini sontak membuat indeks dolar (DXY) kembali melesat. Hal ini terjadi karena kekhawatiran pelaku pasar akan kebijakan Trump yang dinilai Amerika sentris dengan menaikkan tarif perdagangan dari luar negeri termasuk China.
Pada akhirnya membuat inflasi di AS berpotensi kembali mengalami kenaikan dan bank sentral AS (The Fed) semakin sulit untuk memangkas suku bunga acuannya.
Lebih lanjut, jika The Fed sulit menurunkan suku bunganya, hal ini akan membuat rupiah semakin tertekan ke depannya.
2. Geopolitik Global
Ketidakpastian di pasar semakin tinggi setelah Ukraina menembak sejumlah target di Bryansk, Rusia menggunakan senjata jarak jauh milik Amerika Serikat (AS), Army Tactical Missile System (ATACMS), menyerang kota-kota Rusia.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov yang berada di KTT G20 Brasil dengan tegas meneriakkan hal tersebut adalah "peningkatan perang".
Presiden Rusia Vladimir Putin juga membalas dengan menandatangani doktrin nuklir baru yang tampaknya dimaksudkan sebagai "peringatan" bagi Washington. Doktrin tersebut menurunkan batas kapan Rusia dapat menggunakan senjata atom untuk menanggapi serangan yang mengancam integritas teritorialnya.
Dokumen yang diperbarui sekarang menyatakan bahwa setiap agresi terhadap Rusia oleh negara non-nuklir, jika didukung oleh kekuatan nuklir, akan dianggap sebagai serangan bersama. Doktrin tersebut juga menyatakan bahwa Rusia dapat menggunakan senjata nuklir jika terjadi ancaman kritis terhadap kedaulatan dan integritas teritorialnya (dan sekutunya, Belarus), dan bahwa peluncuran rudal balistik terhadap Rusia akan terlihat di antara kondisi yang dapat menjamin respons menggunakan senjata nuklir.
Sementara itu, dalam pemberitaan terbaru sejumlah media Inggris, Ukraina dilaporkan telah menembakkan rudal Storm Shadow, yang dipasok negara itu, ke Rusia. Ini merupakan untuk pertama kalinya, senjata mematikan yang bisa menembus bunker dan gudang amunisi tersebut digunakan dalam perang di Eropa itu.
Menanggapi ketegangan yang meningkat, Ekonom Panin Sekuritas, Felix Darmawan menyampaikan bahwa pelemahan rupiah hari ini terjadi karena adanya kekhawatiran terkait potensi eskalasi perang Rusia Ukraina.
"Rusia sedang mempersiapkan missile RS-26 dengan jarak hingga 6.000 km paska penggunaan missile US oleh Ukraina pada beberapa hari yg lalu," kata Felix.
Senada dengan Felix, Global Markets Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto menegaskan bahwa pressure kondisi konflik geopolitik terutama Rusia Ukraina ditambah lagi kekhawatiran prospek ekonomi di bawah Trump ini masih dominan yang membuat dari sisi pergerakan dana global dari Emerging Market (EM) ke developed market.
3. Transaksi Berjalan Kembali Defisit
Pada hari ini, BI telah merilis data transaksi berjalan untuk kuartal III-2024 yang terpantau kembali mengalami defisit di angka US$2,2 miliar (0,6% dari PDB). Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan defisit sebesar US$3,2 miliar (0,9% dari PDB) pada kuartal II-2024.
Felix mengatakan dengan defisitnya transaksi berjalan, menjadi pengaruh yang negatif juga bagi rupiah.
"Dari rilis data current account Indonesia yang masih defisit juga berpengaruh negatif pada rupiah," papar Felix.
Defisit transaksi berjalan memberikan dampak yang negatif bagi perekonomian suatu negara.
Seperti yang diketahui, transaksi berjalan sendiri merupakan gambaran arus uang yang keluar masuk melalui sektor-sektor riil. Sementara transaksi di sektor riil ini lebih bertahan lama, tidak mudah keluar dan masuk dengan cepat. Berbeda dengan sektor keuangan, seperti saham, di mana investor bisa dalam satu kedipan mata menarik modal dari Indonesia.
Neraca transaksi berjalan merupakan salah satu indikator penting dalam menunjukkan performa makroekonomi suatu negara dari sisi eksternal, yang juga merupakan cerminan dari perekonomian internal, seperti ekspor dan impor di sektor rill, serta penerimaan dan pengeluaran di sektor fiskal (pemerintah).
Saat neraca transaksi berjalan mengalami defisit (Current Account Deficit/CAD), ada lebih banyak uang yang keluar dari Indonesia ketimbang yang masuk. Apalagi jika jumlahnya sangat besar, artinya banyak sekali uang yang berhamburan ke luar negeri atau dengan kata lain, negara tersebut kekurangan dana tabungan untuk investasi domestik, sehingga harus meminjam/berutang ke negara lain.
Defisit transaksi berjalan juga bisa menandai besarnya defisit transaksi berjalan karena impor yang membengkak. Kondisi ini membuat pasokan dolar di sebuah negara menipis karena kebutuhan impor lebih tinggi dibandingkan pasokan dari ekspor.
Harapan Pemangkasan Suku Bunga BI
Head of Treasury& Financial Institution Bank Mega, Ralph Birger Peotiray menyampaikan saat ini DXY sudah di level yang cukup tinggi (overbought) bahkan mendekati 107. Lebih lanjut, kenaikan imbal hasil di AS dalam hal ini US Treasury masih kuat mendekati 4,5% sehingga ini juga yang menjadi alasan hari ini IDRanjlok0,5%.
Namun, ia menyampaikan DXY yang overbought sehingga seharusnya bisa terjadi koreksi sewaktu pasar sudah mulai reda.
Ia juga menegaskan bahwa pemotongan suku bunga BI pada bulan depan masih berpotensi terjadi.
CNBCINDONESIA RESEARCH
(rev/rev)