Waspada Ular di Musim Hujan, Ini 4 Spesies King Kobra

4 days ago 7

Jakarta, CNBC Indonesia - Bagi Anda yang bertempat tinggal di desa atau memiliki pekarangan yang cukup luas dekat rumah, Anda perlu waspada karena biasanya ketika musim hujan tiba, ular akan lebih sering muncul.

Perubahan iklim, seperti kenaikan suhu dan cuaca tidak menentu, juga berpengaruh terhadap ular. Dikutip dari World Health Organization atau WHO, perubahan iklim dan gigitan ular memiliki keterkaitan.

Organisasi Kesehatan Dunia itu menyebut bahwa perubahan iklim hanya akan memperburuk masalah bagaimana ular berbagi tempat dengan manusia. Hal ini karena ular akan menggeser distribusinya seiring dengan meningkatnya suhu dan kejadian-kejadian ekstrem yang lebih sering terjadi.

Manusia akan mengubah praktik pertanian, sehingga akan ada tekanan lebih besar bagi ular untuk bermigrasi atau mengungsi. Akibatnya, kontak dan konflik antara manusia dengan ular diperkirakan akan menjadi lebih sering terjadi di beberapa wilayah.

"Gigitan ular membebani sistem kesehatan di sebagian besar negara tropis, dengan ribuan kematian dan kecacatan setiap tahun. Pengetahuan kita tentang tempat tinggal ular berbisa dan dampaknya terhadap populasi manusia saat ini masih belum memadai," dikutip dari WHO.

Ketika musim hujan tiba, apalagi sampai volume air meningkat sehingga menyebabkan habitat teresterialnya tergenang, maka ular akan keluar dari persembunyiaanya untuk mencari tempat yang nyaman.

Sebagai satwa berdarah dingin, ketika kepanasan, maka ular harus masuk ke air. Untuk itu, ular harus bisa mengontrol suhu tubuhnya, jangan sampai melebihi batas suhu toleransi lingkungan, karena bisa mati.

Namun, setiap wilayah memiliki kondisi berbeda, misalkan musim hujan yang membuat volume air naik sehingga banyak laporan interaksi ular dengan manusia.

Meski demikian, interaksi ular dan manusia tidak hanya terjadi pada masyarakat di pedesaan, tapi juga di perkotaan. Misalnya di Jakarta atau kawasan Jabodetabek, paling umum ditemukan adalah jenis kobra dan piton.

Dua jenis ular ini memiliki daya adaptasi yang bagus ketika terjadi perubahan habitat. Mereka bisa bertahan hidup di kawasan perkotaan atau sekitar habitat manusia.

Terlepas dari mulai bermunculan ular di pekarangan rumah saat musim hujan tiba, di mana salah satunya merupakan ular kobra, jenis ini memang terkenal sebagai predator puncak dengan bisa yang mematikan.

Di Indonesia, ular ini sering disebut sebagai Ular Lanang atau Kobra Raja. Sementara di beberapa daerah, sebutannya adalah "oray totog" (Sunda), "tedung selor" atau "tedung selar" (Melayu), serta "ula anang" atau "dumung enthong" (Jawa).

Sejak lama, king kobra menjadi simbol ketakutan karena kemampuannya berdiri tegak, melebarkan tudung, serta menyemburkan racun yang dapat melumpuhkan mangsanya dengan cepat.

Kehadiran ular ini kerap dianggap mengancam, terutama di wilayah pedesaan dan hutan. Namun, king kobra juga memainkan peran ekologis penting dalam menjaga keseimbangan populasi ular lain di habitatnya.

Penelitian terbaru bahkan mengungkap bahwa ular ini sebenarnya terdiri dari empat spesies berbeda, masing-masing dengan karakteristik dan tingkat bahaya yang bervariasi.

Berikut ini penjelasan mendalam mengenai keempat spesies king kobra, dan tingkat bahaya yang dimiliki masing-masing spesies.

Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Bahaya dari Bisa King Kobra

Tingkat bahaya bisa king kobra sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, meskipun secara umum setiap spesies memiliki racun yang mematikan.

Berikut faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat bahaya dari bisa kobra.

1. Ukuran Tubuh

Ular king kobra yang lebih besar, terutama yang mencapai panjang 5 meter atau lebih, memiliki kelenjar bisa yang lebih besar dan mampu menyuntikkan racun dalam jumlah yang lebih banyak dalam satu gigitan.

Dengan volume racun yang tinggi, efek bisa ini menjadi jauh lebih berbahaya dan mematikan dibandingkan ular berbisa yang lebih kecil.

Ukuran yang besar juga memberikan king kobra keunggulan dalam menghadapi ancaman, memungkinkan mereka mengeluarkan dosis racun yang mematikan sebagai mekanisme pertahanan diri.

2. Lingkungan dan Habitat

Habitat king kobra yang tersebar luas dari dataran rendah tropis hingga dataran tinggi memengaruhi interaksi mereka dengan mangsa dan potensi bahaya bisanya.

Ular-ular di lingkungan yang lebih terpencil mungkin memiliki racun yang kurang agresif karena kebutuhan defensif yang lebih rendah, sedangkan di daerah dengan persaingan yang lebih tinggi, mereka mungkin mengembangkan racun yang lebih kuat untuk mempertahankan diri dan berburu.

Selain itu, lingkungan juga memengaruhi komposisi kimia racun mereka, yang disesuaikan dengan kebutuhan untuk memburu mangsa tertentu atau menghadapi ancaman di habitat tersebut.

3. Volume Bisa yang Dikeluarkan

Salah satu faktor kunci yang membuat bisa king kobra sangat berbahaya adalah kemampuan mereka untuk menyuntikkan jumlah racun yang sangat besar, mencapai hingga 7 mililiter dalam satu gigitan pada king kobra dewasa.

Volume ini lebih dari cukup untuk menyebabkan kematian pada manusia dewasa, dan dalam kasus ekstrim, cukup untuk membunuh seekor gajah kecil.

Jumlah racun yang disuntikkan sering kali tergantung pada seberapa terancam ular tersebut merasa; semakin besar ancaman, semakin banyak racun yang dikeluarkan sebagai respons defensif.

4. Kekuatan dan Sifat Neurotoksin

Bisa king kobra mengandung neurotoksin yang kuat, yang menyerang sistem saraf pusat korban. Toksin ini bekerja dengan cara mengganggu sinyal saraf, menyebabkan kelumpuhan otot, termasuk otot pernapasan.

Ketika otot-otot pernapasan lumpuh, korban akan mengalami gagal napas yang bisa berujung pada kematian jika tidak ditangani segera.

Efek neurotoksik ini membuat racun king kobra sangat mematikan karena serangan cepat pada sistem saraf dan ketidakmampuan korban untuk bernapas dalam waktu singkat setelah gigitan.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(chd/chd)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research