Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca perdagangan diproyeksi masih berada di zona surplus periode Oktober 2024. Surplus kali ini diperkirakan akan lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya.
Sebagai catatan, Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data neraca perdagangan Indonesia periode Oktober 2024 pada Jumat (15/11/2024).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 11 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada Oktober 2024 akan mencapai US$2,85 miliar.
Surplus tersebut lebih rendah dibandingkan September 2024 yang mencapai US$3,26 miliar. Jika neraca perdagangan kembali mencetak surplus maka Indonesia sudah membukukan surplus selama 54 bulan beruntun sejak Mei 2020. Surplus membentang dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) - hingga Prabowo Subianto.
Konsensus juga menunjukkan bahwa ekspor masih akan tumbuh 3,84% (year on year/yoy) sementara impor juga naik 5,2% yoy pada Oktober 2024.
Ekonom Bank Danamon, Hosianna Situmorang menyampaikan bahwa harga Crude Palm Oil (CPO) dan batu bara yang naik membuat ada potensi ekspor yang bertumbuh.
Sementara itu, kinerja impor melambat seiring konsumsi yang cenderung stagnan.
Untuk diketahui, CPO mengalami apresiasi sekitar 18% sepanjang Oktober 2024 dari sebelumnya MYR 3.995/ton menjadi MYR 4.696/ton pada akhir Oktober 2024.
Peningkatan harga CPO ini terjadi bersamaan dengan Harga Referensi (HR) komoditas minyak kelapa sawit untuk penetapan Bea Keluar (BK) dan tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (tarif BLU BPDP-KS), atau dikenal sebagai Pungutan Ekspor (PE), periode 1-31 Oktober 2024 adalah sebesar US$ 893,64/MT. Nilai ini meningkat sebesar US$ 54,11 atau 6,45% dari periode September 2024 yang tercatat sebesar US$ 839,53/MT.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Isy Karim mengatakan bahwa peningkatan HR CPO ini dipengaruhi peningkatan permintaan, terutama dari India dan China, yang tidak diimbangi dengan peningkatan produksi. Di sisi lain, penurunan produksi menjadi akibat dari kemarau yang panjang.
Bank Mandiri juga menyampaikan hal serupa, bahwa kenaikan CPO sebagian besar terjadi akibat penurunan persediaan akhir di Malaysia sebesar 13% year on year/yoy, sementara permintaan masih lesu.
Tidak hanya soal CPO, harga batu bara yang relatif cukup tinggi juga menjadi angin segar bagi neraca perdagangan Indonesia.
Bank Mandiri menyampaikan bahwa pertumbuhan ekspor Indonesia baik secara bulanan maupun tahunan didorong oleh harga batu bara seiring dengan meningkatnya permintaan dari India dan China, sementara harga nikel dan baja tetap terkendali, yang menunjukkan permintaan masih lemah.
Untuk diketahui, harga batu bara periode Oktober 2024 cenderung stabil di level yang cukup tinggi yakni di kisaran US$140/ton, dengan rata-rata di angka US$146,9/ton.
Data BPS menunjukkan ekspor Indonesia sangat bergantung pada batu bara dan CPO selama bertahun-tahun. Dua komoditas tersebut menyumbang ekspor sekitar 30% dari total ekspor Indonesia.
Sementara jika dilihat secara total, Bank Mandiri mengatakan bahwa terjadinya penurunan surplus ini disebabkan oleh percepatan impor yang melebihi ekspor, dipicu oleh pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang akan datang dan meningkatnya belanja modal pemerintah untuk pembangunan infrastruktur.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)