- Pasar keuangan Indonesia ditutup kompak melemah pada perdagangan kemarin, IHSG dan rupiah sama-sama ambruk
- Wall Street kompak mereah setelah The Fed mengisyaratkan akan lebih hati-hati dalam memangkas suku bunga
- Sentimen pasar hari ini akan didorong oleh pernyataan The Fed dan data neraca dagang Indonesia
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kemarin, Kamis (14/11/2024) ditutup melemah karena besarnya tekanan eksternal.Bursa saham dan rupiah sama -sama jeblok.
Pasar keuangan Indonesia hari ini diproyeksi masih melemah. Selengkapnya mengenai proyeksi perdagangan dan sentimen hari ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup ambruk lebih dari 1% pada akhir perdagangan Kamis (14/11/2024), di tengah memburuknya kembali sentimen pasar global setelah data terbaru inflasi Amerika Serikat (AS) kembali memanas.
IHSG ditutup ambruk 1,29% ke posisi 7.214,56. IHSG kembali terkoreksi ke level psikologis 7.200 pada akhir perdagangan kemarin. Nilai transaksi indeks pada kemarin mencapai sekitar Rp 10,9 triliun dengan melibatkan 23,1 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,2 juta kali.
Sebanyak 173 saham menguat, 431 saham melemah, dan 182 saham stagnan. Terpantau hampir seluruh sektor berada di zona merah pada akhir perdagangan hari kemarin, kecuali sektor teknologi yang masih mampu bergairah yakni mencapai 1,27%. Adapun sektor properti menjadi penekan terbesar IHSG yakni mencapai 1,78%.
Sementara dari sisi saham, emiten energi baru terbarukan (EBT) Prajogo Pangestu PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) menjadi penekan terbesar IHSG yakni mencapai 13,2 indeks poin.
Selain itu, ada emiten perbankan raksasa PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) dan emiten telekomunikasi PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) yang juga membebani IHSG masing-masing mencapai 11,6 dan 5,7 indeks poin.
IHSG kembali merana di tengah memanasnya kembali inflasi Amerika Serikat (AS) pada periode Oktober 2024, setelah dalam beberapa bulan terakhir melandai.
Indeks Harga Konsumen (IHK) AS kembali menanjak Oktober 2024, mencapai 2,6% secara tahunan (year-on-year/yoy) dari 2,4% di bulan sebelumnya. Kenaikan ini adalah yang pertama dalam tujuh bulan terakhir karena sejak Maret-September 2024, inflasi terus melandai. Sedangkan IHK inti Negeri Paman Sam mencapai 3,3% (yoy) pada Oktober atau sama dengan bulan sebelumnya.
Sementara kondisi nilai tukar RI ambruk di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Kamis (14/11/2024) di tengah inflasi AS yang kembali menanjak untuk periode Oktober 2024.
Melansir data Refinitiv, Kamis kemarin (14/11/2024) rupiah anjlok hingga 0,51% ke level Rp15.850/US$. Sepanjang hari, nilai tukar rupiah berfluktuasi di rentang Rp15.795/US$ hingga Rp15.890/US$.
Pelemahan ini adalah yang terparah sejak 12 Agustus 2024 lalu yang sempat berada pada level Rp15.950/US$ atau selama tiga bulan terakhir.Sedangkan,Indeks Dolar AS (DXY) mengalami penguatan hingga 0,11% pada pukul 15.00 di posisi 106,59, sedikit tinggi dibandingkan angka penutupan sehari yang lalu yakni di posisi 106,48
Penguatan DXY kali ini adalah yang tertinggi sejak satu tahun lalu tepatnya pada 1 November 2024 yang sempat menyentuh level 106,884.
Pelemahan nilai tukar rupiah kemarin tidak hanya disebabkan oleh penguatan indeks dolar AS yang telah berlangsung sejak 8 November 2024, namun juga didorong oleh sentimen global dari AS, khususnya mengenai inflasi yang menunjukkan peningkatan.
Inflasi AS kembali naik pada Oktober 2024, mencapai 2,6% (year-on-year) dari 2,4% di bulan sebelumnya, kenaikan ini adalah yang pertama dalam tujuh bulan terakhir setelah inflasi cenderung menurun dari Maret hingga September 2024.
Pada saat yang sama, inflasi inti tetap berada di angka 3,3% (year-on-year) sama seperti bulan sebelumnya. Secara bulanan, inflasi umum dan inflasi inti tercatat di angka 0,2% pada Oktober 2024, sama dengan nilai pada September.
Keadaan ini semakin diperburuk dengan kemenangan Donald Trump dalam pemilu AS, yang mana rencana kebijakan proteksionis dan tarif tinggi Trump diperkirakan akan memperbesar tekanan inflasi akibat kenaikan biaya impor.
Bagi Indonesia, peningkatan inflasi ini merupakan peringatan serius. Jika inflasi AS terus meningkat, maka kemungkinan Federal Reserve untuk melanjutkan penurunan suku bunga secara agresif menjadi kecil.
Saat ini, pasar semakin meragukan bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan Desember mendatang.
Berdasarkan CME FedWatch Tool, ekspektasi penurunan suku bunga telah turun dari 82,73% menjadi hanya 60,6%. Kenaikan inflasi yang berlanjut serta tekanan harga akibat kebijakan tarif Trump menunjukkan bahwa suku bunga AS mungkin akan bertahan tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama.
Hal ini berpotensi memicu capital outflow dan membatasi ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga BI.
Sementara itu, imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun melesat ke 6,94% atau rekor tertinggi sejak 15 Juli 2024 atau empat bulan terakhir. Kondisi ini mencerminkan investor tengah menjual SBN sehingga harganya jatuh dan imbal hasil naik.
Pages