- Pasar keuangan Indonesia ditutup beragam kemarin menjelang data inflasi AS, IHSG dan rupiah ambruk
- Wall Street ditutup beragam setelah data inflasi AS keluar
- Data inflasi AS dan melonjaknya dolar diperkirakan akan menjadi sentimen pasar hari ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup beragam tetapi mayoritas mengecewakan kemarin, Rabu (13/11/2024) di mana Indeks Harga Saham Gabungan melemah, rupiah ambruk dan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) melonjak.
Pasar keuangan Indonesia diperkirakan masih melemah pada hari ini seiring dengan buruknya data inflasi Amerika Serikat (AS) serta lonjakan indeks dolar. Selengkapnya mengenai sentimen pasar hari ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah pada akhir perdagangan Rabu (13/11/2024),setelah sempat menghijau di perdagangan sesi I kemudian bergerak volatil di sesi II.
IHSG pada perdagangan kemarin ditutup melemah 0,18% ke posisi 7.308,67. IHSG makin dekati lagi level psikologis 7.200 pada akhir perdagangan kemarin.
Nilai transaksi indeks kemarin mencapai sekitar Rp 11 triliun dengan melibatkan 38 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,3 juta kali. Sebanyak 293 saham menguat, 298 saham melemah, dan 200 saham stagnan.
Secara sektoral, sektor konsumer primer dan properti menjadi penekan terbesar IHSG pada akhir perdagangan kemarin yakni masing-masing mencapai 1,79% dan 1,56%.
Sementara dari sisi saham, emiten minimarket PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT) dan dua emiten konglomerasi PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) menjadi penekan IHSG masing-masing mencapai 8,1, 7,4, dan 4,8 indeks poin.
IHSG berbalik melemah setelah sempat menghijau di perdagangan sesi I kemudian bergerak volatil di sesi II. Sentimen dari dalam negeri yang masih cenderung kurang menggembirakan dan jelang rilis data inflasi Amerika Serikat (AS).
Kabar kurang menggembirakan datang dari data terbaru penjualan ritel RI, di mana Bank Indonesia (BI) melaporkan penjualan eceran yang tampak kurang memuaskan. Realisasi per September 2024, Indeks Penjualan Riil (IPR) tercatat 210,6 atau tumbuh sebesar 4,8% (year-on-year/yoy), lebih rendah dibandingkan Agustus 2024 yang tumbuh 5,8% yoy. Sedangkan pada prakiraan Oktober 2024 tampak melandai menjadi 1% yoy.
Sementara secara bulanan, berada di zona kontraksi yakni 2,5% (month-on-month/mom) pada September dari sebelumnya tumbuh 1,7% mom (Agustus 2024). Lebih lanjut, pada prakiraan Oktober 2024, IPR tampak kembali di zona kontraksi yakni di angka 0,5% mom.
Jika dilihat lebih rinci, penekan IPR baik secara bulanan maupun tahunan terjadi dari kelompok Peralatan Informasi dan Komunikasi. Secara bulanan dan tahunan, kelompok Peralatan Informasi dan Komunikasi terkontraksi masing-masing sebesar -12,9% dan -29,4%.
Prakiraan IPR Oktober 2024 semakin memburuk dibandingkan September 2024 khususnya bersamaan dengan kelompok Peralatan Informasi dan Komunikasi yang selalu berada di zona kontraksi secara tahunan. Penjualan ritel yang lemah bisa menjadi sinyal bahwa konsumen semakin berhati-hati dalam pengeluaran, yang berpotensi memperlambat konsumsi domestik-komponen utama yang menopang Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Sementara itu, rupiah berhasil rebound di hadapan dolar Amerika Serikat hingga akhir perdagangan Rabu (13/11/2024), setelah dua hari berturut-turut alami pelemahan.
Melansir data Refinitiv, pada Rabu (13/11/2024) nilai tukar garuda naik tipis hingga 0,03% ke level Rp15.770/US$. Sepanjang hari, nilai tukar rupiah berfluktuasi pada rentang Rp15.795/US$ hingga Rp15.740/US$. Bersamaan dengan penguatan rupiah, indeks dolar AS (DXY) juga naik hingga 0,09% pada pukul 15.00 di posisi 106,12, sedikit menguat dibandingkan angka penutupan sehari yang lalu yakni di posisi 106,02.
Lebih lanjut penguatan rupiah terjadi di tengah penguatan DXY yang didorong oleh ekspektasi bahwa Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) tidak akan seagresif yang diperkirakan dalam memangkas suku bunga.
Berdasarkan survei CME FedWatch Tool pada 27 September 2024, ekspektasi untuk pemangkasan suku bunga cukup tinggi, dengan proyeksi penurunan hingga 50 basis poin (bps) menuju kisaran 4,25-4,50% yang diprediksi sebesar 53,3%.
Namun, dalam pertemuan November, The Fed hanya memangkas suku bunga sebesar 25 bps. Ekspektasi pemangkasan suku bunga lebih lanjut pada pertemuan Desember juga menurun.
Awalnya, per 1 November 2024, pasar memperkirakan adanya pemangkasan 25 bps dengan probabilitas sebesar 82,73%, namun saat ini, probabilitasnya turun menjadi hanya 58,7%.
Perubahan sentimen pasar ini didorong oleh data tenaga kerja AS yang solid, termasuk angka non-farm payroll yang di atas ekspektasi, serta laju pengangguran yang rendah.
Selain itu, hasil pemilu AS yang memenangkan Donald Trump atas Kamala Harris juga turut memicu penguatan DXY. Investor khawatir bahwa kebijakan Trump yang cenderung menaikkan tarif impor akan membuat inflasi di AS lebih sulit terkendali, mendorong harga-harga barang menjadi lebih mahal dan menambah tekanan pada The Fed untuk mempertahankan suku bunga tinggi.
Presiden Federal Reserve Minneapolis, Neel Kashkari, menegaskan bahwa inflasi AS kemungkinan masih akan mengalami lonjakan, bahkan melebihi ekspektasi pasar.
Konsensus memperkirakan Indeks Harga Konsumen (IHK) AS untuk Oktober akan dirilis pada malam ini (13/11/2024), dengan proyeksi pertumbuhan 2,6% yoy dari sebelumnya 2,4% yoy.
Jika inflasi meningkat lebih tinggi, maka peluang The Fed untuk menahan suku bunga di pertemuan Desember akan semakin besar, memberikan tekanan tambahan bagi rupiah.
Sementara itu, imbal hasil SBN tenor 10 tahun melesat ke 6,91% atau rekor tertinggi sejak akhir Juli 2024. Kondisi ini mencerminkan investor tengah menjual SBN sehingga harganya jatuh dan imbal hasil naik.
Pages