Jakarta, CNBC Indonesia- Harga emas global mengalami penurunan yang tajam seiring dengan penguatan signifikan dolar Amerika Serikat (AS) dan kenaikan imbal hasil obligasi AS.
Kondisi ini menekan daya tarik emas sebagai aset aman. Setelah Donald Trump menang dalam pemilihan presiden AS, pasar kini memperkirakan kebijakan fiskal agresif yang akan berdampak pada inflasi dan memperkuat dolar.
Pada perdagangan Kamis (14/11/2024), harga emas spot melemah di posisi US$ 2.573,78 per troy ons atau ambruk 0,9%. Harga penutupan kemarin adalah yang terendah sejak 18 September 2024 atau hampir dua bulan.
Pelemahan ini memperpanjang tren negatif emas karena sang logam mulia sudah ambruk selama empat hari beruntun dengan pelemahan mencapai 4,92%.
Harga emas sedikit membaik pada hari ini. Pada Kamis pagi (14/11/2024) pukul 0615 WIB, harga emas menguat tipis 0,03% ke US$ 2.574,44 per troy ons.
Dalam sepekan, emas telah mengalami penurunan hampir 5%, sebagian besar akibat sentimen kenaikan dolar dan lonjakan imbal hasil obligasi AS.
Emas Tertekan Hebat Karena Keperkasaan Dolar, Imbal Hasil US Treasury dan Inflasi AS
Indeks dolar AS (DXY) ditutup di posisi 106,505. Posisi ini adalah yang tertinggi sejak 1 November 2023 atau lebih dari setahun terakhir.
Kondisi ini diperparah dengan melesatnya imbal hasil US Treasury. Imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun melesat ke 4,43% pada perdagangan kemarin atau rekor tertinggi sejak 1 Juli 2024.
Penguatan dolar AS dan imbal hasil US Treasury berdampak negatif ke emas. Pembelian emas dikonversi ke dolar sehingga kenaikan dolar AS membuat emas menjadi makin mahal untuk dibeli sehingga mengurangi pembelian.
Emas juga tidak menawarkan imbal hasil sehingga kenaikan imbal hasil US Treasury membuat emas kurang menarik.
Indeks dolar dan imbal hasil US Treasury melonjak usai rilis data inflasi AS.
Inflasi Amerika Serikat (AS) kembali menanjak Oktober 2024, mencapai 2,6% secara tahunan (yoy) dari 2,4% di bulan sebelumnya. Kenaikan ini adalah yang pertama dalam tujuh bulan terakhir karena sejak Maret-September 2024, inflasi terus melandai.
Inflasi inti mencapai 3,3% (yoy) pada Oktober atau sama dengan bulan sebelumnya.
Secara bulanan, inflasi umum mencapai 0,2% pada Oktober 2024 atau sama dengan September. Demikian juga dengan inflasi inti bulanan.
Data inflasi membuat pasar semakin skeptis bahwa The Fed akan melanjutkan pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan Desember mendatang. Menurut CME FedWatch Tool, ekspektasi pemangkasan suku bunga telah menurun dari 82,73% menjadi hanya 58,7%. Kenaikan inflasi yang berkelanjutan dan tekanan harga dari kebijakan tarif yang dijanjikan Trump mengindikasikan bahwa suku bunga AS bisa bertahan tinggi untuk waktu yang lebih lama.
Apabila The Fed memilih menahan suku bunganya atau bahkan kembali bersikap hawkish, dolar AS kemungkinan akan semakin menguat. Hal ini berpotensi mengancam stabilitas rupiah dan arus modal di Indonesia, mengingat investor cenderung memindahkan dana mereka ke aset berdenominasi dolar yang dianggap lebih aman.
"Setelah kemenangan Trump, pasar kini memprediksi kebijakan pajak dan tarif baru yang akan mendorong inflasi dan permintaan dolar yang lebih kuat," kata Rhona O'Connell, analis dari StoneX.
Menurut O'Connell, ketidakpastian inflasi akibat kebijakan Trump dapat membatasi penurunan suku bunga lebih lanjut oleh Federal Reserve (The Fed) pada pertemuan Desember mendatang, yang sebelumnya diharapkan mencapai 65% peluang pemangkasan.
Selain itu, data terbaru dari Consumer Price Index (CPI) AS menunjukkan inflasi yang meningkat sesuai ekspektasi. Jika inflasi terus bergerak naik, The Fed mungkin akan menahan siklus pelonggaran kebijakan yang agresif. Para analis memperkirakan, level kunci US$ 2.600 menjadi area psikologis yang krusial untuk tren emas ke depan, terutama jika kekhawatiran inflasi terus meningkat.
Volatilitas harga emas diperkirakan akan tetap tinggi, terutama di tengah perkembangan kebijakan fiskal dan moneter AS. Para investor akan terus mengamati dampak kebijakan Trump terhadap inflasi, serta keputusan The Fed pada bulan mendatang.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)