Jakarta, CNBC Indonesia - Gempuran barang China terhadap global semakin hari semakin meresahkan, khususnya karena murahnya barang yang dijual yang berujung pada terancamnya usaha dalam negeri.
Misalnya dari industri tekstil yang merupakan salah satu pilar penting dalam perdagangan dunia. Negara seperti China dan India merupakan pemain kunci dalam industri ini. Negara-negara tersebut tidak hanya menjadi kunci dalam hal produksi tekstil, tetapi juga ada yang sekaligus menjadi kunci dalam ekspor tekstil.
Terkait industri tekstil di dunia, China sejak lama telah menjadi global leader dan menguasai lebih dari 50% produksi tekstil dunia pada 2014.
China adalah produsen tekstil terbesar di dunia dengan output mencapai 52,2% dari produksi tekstil global pada 2019. Dengan pertumbuhan pesat selama dua dekade terakhir, industri tekstil China telah menjadi salah satu pilar utama perekonomian Negeri Tirai Bambu.
Selain produsen tekstil terbesar di dunia, China juga merupakan eksportir tekstil terbesar di dunia yakni US$303 miliar atau 32,2% dari total ekspor tekstil dunia pada 2022.
Rendahnya domestic demand di China membuat terjadi supply yang begitu besar di China, alhasil China mengekspor barang ke luar negeri dengan harga yang murah (dumping). Hal ini membuat usaha dalam negeri di negara-negara yang menjadi importir barang dari China akan tersungkur karena menjual barang yang lebih mahal dibandingkan China.
Sebagai contoh yakni PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dan 3 anak usahanya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang.
Komisaris Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) Iwan S Lukminto blak-blakan soal Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Menurut dia, aturan ini menyengsarakan industri tekstil dalam negeri.
"Jadi begini kalau Permendag 8 itu kan masalah klasik yang sudah tau ya, semuanya. Liat aja pelaku industri tekstil ini banyak yang kena, banyak yang terdisrupsi yang terlalu dalam, sampai ada yang tutup ya," ungkap Iwan saat ditemui di Kantor Kemenperin Jakarta, Senin (28/10/2024).
Salah satu alasan pailitnya Sritex yakni akibat pendapatan yang menurun akibat pandemi Covid-19 dan persaingan industri secara global.Pendapatan Sritex dari ekspor turun menjadi US$ 158,66 juta pada 2023 dari semula US$ 257,85 juta. Sementara itu penjualan domestik turun menjadi US$ 166,42 juta dari semula US$ 266,71 juta.
Praktik dumping dari China membuat produk dalam negeri menjadi sulit bersaing karena harga barang China terlampau murah dan memikat hati konsumen.
Penting bagi pemerintah untuk menjaga industri dalam negeri agar tidak terulang nasib Sritex pada perusahaan lain, khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).Salah satunya dengan membatasi jalur masuknya barang China, seperti pelarangan aplikasi e-commerce asal China, Temu.
Aplikasi e-commerce asal China, Temu, sudah tersedia di Indonesia. Masyarakat bisa mengakses aplikasi tersebut melalui Google Play Store maupun Apple App Store dan memicu persaingan tak sehat.
Pada dasarnya konsep Temu yakni dengan menjual barang langsung dari pabrik ke konsumen, membuat harga jualnya jauh lebih murah ketimbang platform e-commerce lain.
Beberapa waktu lalu, Kementerian Koperasi dan UKM menolak keras masuknya Temu ke Indonesia karena dikhawatirkan akan menggerus pedagang lokal.
Hal serupa diungkap Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang dengan segera akan memblokir aplikasi Temu di Indonesia.
Murahnya harga barang di Temu tidak hanya disebabkan karena menghapus rantai perantara seperti penjual grosir dan distributor, melainkan Temu juga memanfaatkan manufaktur China sehingga penggunaan sumber daya yang efisien dan meminimalkan biaya, yang berkontribusi pada kemampuan Temu untuk menawarkan harga yang kompetitif.
Lebih lanjut, Melansir dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), mengutip Grizzly Research, sebuah firma intelijen pasar, menggambarkan Temu sebagai "aplikasi paling berbahaya yang beredar luas." Firma tersebut memperingatkan bahwa aplikasi Temu memiliki fungsi tersembunyi yang dirancang untuk pencurian data secara ekstensif dan beroperasi seperti malware canggih.
Aplikasi tersebut meminta akses ekstensif ke perangkat pengguna, termasuk informasi sensitif seperti data lokasi, daftar kontak, dan bahkan akses mikrofon dan kamera.
Aplikasi Temu Guncang Global
Dilansir dari GAM Investments, Temu, sebagai pendatang baru dalam industri e-commerce Asia, telah berhasil mengguncang pasar internet di Amerika Serikat (AS) dengan strategi inovatifnya. Dengan pendekatan yang berbeda dan penawaran produk yang beragam, Temu telah menarik perhatian konsumen dan memaksa pesaing untuk beradaptasi.
Melalui penetapan harga yang kompetitif dan pengalaman pengguna yang menarik, Temu berhasil menciptakan gelombang baru dalam belanja online. Efek Temu tidak hanya memengaruhi perilaku konsumen, tetapi juga mendorong perusahaan lain untuk mengevaluasi strategi mereka dalam menghadapi persaingan global yang semakin ketat.
Keberhasilan Temu menunjukkan bagaimana inovasi dan pendekatan yang disruptif dapat mengubah dinamika pasar, dan menjadi contoh bagi pemain lain yang ingin meraih sukses di industri yang terus berkembang ini.
Pada September 2022, sebuah platform e-commerce baru bernama Temu meluncurkan diri di AS dengan kampanye iklan yang megah di Times Square, New York. Dalam waktu hanya empat bulan, Temu, dengan tagline "shop like a billionaire," menjadi salah satu aplikasi yang paling banyak diunduh di AS, mengalahkan WhatsApp, TikTok, dan Instagram untuk menduduki posisi teratas di daftar aplikasi di App Store dan Google Play.
Kenaikan Temu di AS berasal dari strategi akuisisi pelanggan yang agresif, yang terutama didorong oleh investasi pemasaran yang besar. Perusahaan berencana untuk menghabiskan US$1,4 miliar untuk kampanye iklan di AS pada tahun 2023, dan US$4,3 miliar pada tahun berikutnya.
Foto: Rapid Growth of Temu
Sumber: Apptopia
Enam bulan setelah peluncurannya yang sukses di AS, Temu memperluas jangkauannya ke Australia dan Selandia Baru pada Maret 2023, dan meluncurkan situs web pertamanya di Inggris bulan berikutnya.
Ini segera diikuti dengan peluncuran berturut-turut di zona euro, termasuk Jerman, Belanda, Italia, Prancis, dan Spanyol. Hingga Agustus 2023, hanya satu tahun setelah pendiriannya, Temu telah menjangkau lebih dari 40 negara di seluruh dunia, dengan lebih dari 100 juta pengguna aktif di AS saja, dan sekitar 40 juta unduhan aplikasi di seluruh dunia pada September 2023.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)
Saksikan video di bawah ini: