- Sepanjang pekan lalu asing kabur dari pasar keuangan RI, IHSG terpuruk ke level 7500 dan rupiah keok terhadap dolar AS.
- Bursa Wall Street kompak rebound akhir pekan lalu seiring dengan data pasar tenaga kerja yang jeblok memicu kemungkinan cut rate naik.
- Kurang dari 120 jam, akan banyak data genting baik dari eksternal maupun internal yang akan mengguncang pasar keuangan.
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan RI pada perdagangan sepekan lalu bergerak loyo, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh ke level 7500, sementara rupiah keok di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Sentimen selengkapnya terkait proyeksi perdagangan pasar hari ini, Senin (4/11/2024) silahkan bisa dibaca pada halaman ketiga artikel ini.
IHSG tercatat berakhir di posisi 7.505,26 pada Jumat (1/11/2024), dalam sepekan anjlok 2,46%. Selama lima hari perdagangan IHSG hanya menghijau pada Kamis, sementara empat hari lainnya terpuruk di zona merah.
Nilai transaksi indeks pada pekan lalu mencapai sekitar Rp 10 triliun dengan melibatkan 19,8 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,2 juta kali. Sebanyak 189 saham terapresiasi, 423 saham terdepresiasi, dan 175 saham stagnan.
Tercatat seluruh sektor bergerak di zona merah pada Jumat lalu dengan sektor transportasi dan konsumer primer menjadi penekan terbesar IHSG yakni mencapai 2,64% dan 2,55%.
Sementara dari sisi saham, emiten bank Himbara raksasa PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) dan emiten konglomerasi Prajogo Pangestu PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) menjadi penekan terbesar IHSG, masing-masing 14,4 dan 7,4 indeks poin.
IHSG merana di perdagangan pekan lalu di tengah lesunya kembali aktivitas manufaktur, meskipun Indonesia sudah mengakhiri deflasi pada Oktober lalu.
Berdasarkan data dari S&P Global, Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur RI pada Oktober 2024 kembali kontraksi ke 49,2, stagnan dari posisi bulan sebelumnya. Kontraksi ini memperpanjang masa koreksi manufaktur RI menjadi empat bulan beruntun.
Hal ini menunjukkan bahwa PMI manufaktur Indonesia sudah mengalami kontraksi selama empat bulan beruntun yakni pada Juli (49,3), Agustus (48,9), September (49,2), dan Oktober (49,2).
Kontraksi empat bulan beruntun ini mempertegas fakta jika kondisi manufaktur RI kini sangat buruk.
Terakhir kali Indonesia mencatat kontraksi manufaktur selama empat bulan beruntun adalah pada awal pandemi Covid-19 2020 di mana aktivitas ekonomi memang dipaksa berhenti untuk mengurangi penyebaran virus.
Kontraksi PMI Manufaktur selama empat bulan beruntun pada Juli-Oktober 2024 juga menjadi awal berat bagi Presiden Prabowo Subianto yang baru dilantik pada 20 Oktober.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.
S&P menjelaskan manufaktur Indonesia mengalami penurunan marginal dan tidak berubah angkanya karena melemahnya output, pesanan baru, dan tambahan lapangan pekerjaan. Kondisi ini mencerminkan lesunya pasar manufaktur serta tenaga kerja.
"Manufaktur Indonesia terus menunjukkan kinerja yang lesu pada Oktober, dengan produksi, pesanan baru, dan lapangan pekerjaan semuanya mengalami penurunan marginal sejak September," tutur Paul Smith, Direktur Ekonomi di S&P Global Market Intelligence, dalam website resminya.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia mengalami inflasi 0,08% (month-to-month/mtm) pada Oktober 2024. Inflasi ini terjadi setelah IHK tercatat deflasi selama lima bulan beruntun.
Adapun, inflasi secara tahunan (year-on-year/yoy) sebesar 1,71% dan inflasi kalender (year-to-date/YTD) sebesar 0,82%.
Pergerakan lesu pasar keuangan RI ini juga seiring dengan aliran dana asing yang deras keluar.
Menurut data Bank Indonesia (BI) untuk transaksi 28 - 31 Oktober 2024, investor asing secara agregat tercatat jual neto sebesar Rp4,86 triliun, terdiri dari jual neto sebesar Rp2,53 triliun di pasar saham, jual neto sebesar Rp3,95 triliun di pasar SBN, dan beli neto sebesar Rp1,63 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Sepanjang Oktober secara total di seluruh pasar keuangan RI, asing mencat net sell sebanyak Rp12,58 triliun.
Derasnya aliran keluar asing tercermin pada pergerakan mata uang Garuda yang ikut loyo.
Melansir Refinitiv, pada perdagangan Jumat (1/11/2024) mata uang Garuda berakhir di posisi Rp15.715/US$. Dalam sehari rupiah koreksi 0,16% yang mengakumulasi depresiasi sepanjang pekan sebanyak 0,51%.
Pelemahan sepanjang pekan lalu menandai dua minggu beruntun rupiah masih betah dalam zona merah.
Faktor eksternal juga mempengaruhi pergerakan rupiah yang keok ini dari melambungnya indeks dolar AS (DXY).
Rupiah yang bergerak volatil akhir-akhir ini ditengarai tekanan yang tinggi dari perkasa-nya indeks dolar AS (DXY) yang sudah lima pekan terus di zona hijau.
Pantauan CNBC Indonesia sampai penutupan kemarin Jumat (1/10/2024) DXY terkerek naik 0,41% dalam sehari ke posisi 104,31. Posisi ini setara dengan level terkuatnya sejak 1 Agustus 2024 atau sekitar dua bulan lalu.
Dolar AS yang makin menguat menunjukkan sikap pelaku pasar yang memilih aset konservatif atau safe haven di tengah ketidakpastian menjelang pemilu AS dan pengumuman kebijakan moneter the Fed pada 7 November pukul 14.00 waktu AS atau sekitar Jumat dini hari untuk waktu Indonesia.
Halaman 2 >>
Pages