Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) alami tekanan di tengah memanasnya konflik di Timur Tengah.
Pada 1 Oktober 2024, eskalasi di Timur Tengah memuncak setelah Iran meluncurkan setidaknya 180 rudal balistik ke wilayah Israel.
Manuver ini dilakukan Teheran setelah Israel masih terus menyerang Palestina dan juga Lebanon untuk menumpas dua milisi pro Iran di masing-masing wilayah, Hamas dan Hizbullah. Israel bahkan telah berhasil membunuh pimpinan tertinggi Hizbullah, Sayyed Hassan Nasrallah dan juga Kepala Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh.
Lebih dari itu, ketegangan semakin memuncak pasca militer Israel mengatakan telah menyerang "puluhan target Hizbullah" di wilayah Nabatieh.
Angkatan udara menyerang "gedung-gedung militer, markas besar militer, dan gudang-gudang amunisi" yang "ditempatkan Hizbullah di dekat bangunan-bangunan sipil, dengan menggunakan penduduk sipil sebagai tameng manusia," menurut keterangan militer Israel.
Konflik yang tak kunjung surut ini membuat mata uang bergerak sangat volatil, termasuk dolar AS dan rupiah.
Rupiah Tertekan Akibat Konflik Timur Tengah
Sejak akhir September 2024, tampak indeks dolar AS (DXY) mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari 100,78 menjadi 103,59 pada 16 Oktober 2024 atau menguat 2,78%.
Di saat yang bersamaan, rupiah sempat ambruk sejak akhir September hingga menyentuh angka Rp15.675/US$ atau melemah 3,57%.
Head of Treasury & Financial Institution Bank Mega, Ralph Birger Poetiray menyampaikan bahwa koreksi rupiah tersebut terjadi karena masih ada masalah geopolitik.
"Ini hanya geopolitik sehingga DXY (indeks dolar AS) dan harga minyak naik karena tensi di middle east," ungkap Ralph.
Ralph juga mengatakan bahwa koreksi sehat pada rupiah terjadi karena DXY yang menguat yang disebabkan karena anggapan DXY merupakan safe haven currency.
Begitu pula dengan Gubernur BI, Perry Warjiyo yang mengatakan bahwa depresiasi rupiah ini terjadi akibat ketegangan Timur Tengah.
Perry menjelaskan, tren penurunan suku bunga acuan negara maju seperti AS diperkirakan akan berlanjut. Akan tetapi perang di berbagai wilayah belum diketahui kapan akan berakhir. Hal ini berdampak pada anjloknya nilai tukar rupiah.
Fakta lain yang mempertegas dampak perang terhadap ambruknya rupiah yakni pada Oktober 2023 atau satu tahun silam.
Pada 7 Oktober 2023 terdapat konflik antara Israel-Hamas. Saat itu, Hamas melancarkan serangan multi-cabang melalui darat, laut dan udara dan menyusup ke Israel.
Hal itu menewaskan lebih dari 1.000 orang dan menculik 200 orang. Hamas menegaskan ini merupakan pembalasan terhadap penyerbuan Masjid Al-Aqsa dan kekejaman pemukim Israel.
Di hari setelahnya yakni 9 dan 10 Oktober 2023, rupiah tampak melemah masing-masing sebesar 0,51% dan 0,29%.
Bahkan tidak sampai di situ, rupiah sempat menyentuh titik terlemahnya yakni di posisi Rp15.935/US$ pada 27 Oktober 2023 yang juga merupakan posisi terparah sejak 3,5 tahun terakhir. Sedangkan secara bulanan, bulan Oktober 2023 merupakan depresiasi rupiah yang paling parah sepanjang 2023 yakni sebesar 2,78%.
Rupiah Harusnya Menguat
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti mengatakan penyebab anjloknya rupiah tidak terlepas dari dinamika global. Khususnya perang di Timur Tengah yang semakin memanas, setelah Israel berhadapan dengan Hamas dan Hizbullah di wilayah Gaza dan Lebanon.
Namun demikian, ia meyakini bahwa tren rupiah masih cenderung menguat.
"Trennya mestinya penguatan, karena fundamental rupiah itu mengarah pada penguatan," ungkap Destry dalam konferensi pers, Rabu (16/10/2024).
Destry akan selalu berada di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai fundamental.
"Oleh karena itu strategi BI selama ini kita kenal triple intervention kita jalankan di spot, DNDF dan SBN," jelasnya.
BI juga memiliki instrumen lain untuk menarik dana asing ke dalam negeri, antara lain SRBI, SVBI dan SUVBI. Hingga 14 Oktober 2024, posisi instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI masing-masing tercatat sebesar Rp934,87 triliun, 3,38 miliar dolar AS, dan 424 juta dolar AS.
Senada dengan Destry, Perry juga optimis dengan kondisi rupiah ke depan sejalan dengan menariknya imbal hasil rendah inflasi dan baiknya prospek ekonomi Indonesia
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)
Saksikan video di bawah ini: