Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia memiliki badan pengelola investasi baru bernama Daya Anagata Nusantara (Danantara). Lembaga ini diharapkan bisa menarik banyak investasi serta mampu mengelolanya dengan baik.
Prabowo juga telah menunjuk Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2012-2017 Muliaman Hadad sebagai Kepala Badan Pengelolaan Investasi Danantara untuk mengelola dana investasi di luar APBN melalui skema Sovereign Wealth Fund (SWF).
Berdasarkan informasi yang diterima CNBC Indonesia, Danantara akan menaungi setidaknya tujuh BUMN jumbo pada tahap awal, yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT PLN (Persero), PT Pertamina (Persero), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Telkom Indonesia(Persero) Tbk, dan PT Mineral Industri Indonesia (Persero) atau MIND ID.
Bila menggabungkan total aset tujuh BUMN tersebut, maka dana kelolaan Danantara pada tahap awal ini akan mencapai nyaris Rp9.000 triliun.
Selain tujuh BUMN jumbo itu, Danantara juga akan menaungi Indonesia Investment Authority (INA), sovereign wealth fund (SWF) yang sudah lebih dahulu berdiri. INA disebut memiliki aset Rp163 triliun. Dengan demikian total asset under management (AUM) Danantara akan sekitar Rp9.049 triliun atau sekitar US$571,6 miliar.
Lalu dalam beberapa tahun ke depan Danantara diperkirakan akan mengelola aset sebesar US$982 miliar atau Rp15.547 triliun (kurs 15.832). Hal ini akan diwujudkan dengan memasukkan perusahaan BUMN lain secara bertahap.
Top 10 SWF di Dunia
Dilansir dari Global SWF per November 2024, Norges Bank Investment Management (NBIM) yang merupakan unit manajemen aset dari Bank Sentral Norwegia (Norges Bank), bertindak atas nama Government Pension Fund Global (GPFG). NBIM mengelola dana sekitar US$1,8 triliun (Rp28.485 triliun).
Sementara di posisi kedua yakni China Investment Corporation (CIC) yang mengelola dana sekitar US$1,33 triliun (Rp21.047 triliun).
Singapura sendiri lewat The Government of Singapore Investment Corporation (GIC) memiliki mandat untuk mengelola cadangan negara Singapura, yang dilakukan melalui tiga entitas utama: GIC Asset Management Pte Ltd, GIC Real Estate Pte Ltd, dan GIC Special Investments Pte Ltd.
GIC yang berdiri sejak 1981 mengelola dana tak sampai US$1 triliun atau tepatnya US$847 miliar (Rp13.403 triliun). GIC berada di posisi ke tujuh.
Sedangkan Temasek sendiri berada di posisi ke-11 dengan dana kelolaan sekitar US$288 miliar (Rp4.557 triliun).
Berbeda dengan GIC, perusahaan yang didirikan sejak 1974 ini berada di bawah Singapore Companies Act untuk memiliki dan mengelola secara komersial investasi dan aset yang sebelumnya dimiliki oleh Pemerintah Singapura.
Pembentukan Temasek memungkinkan Kementerian Keuangan untuk fokus pada peran inti mereka dalam pembuatan kebijakan dan regulasi, sementara Temasek bertanggung jawab untuk memiliki dan mengelola investasi tersebut secara komersial.
Temasek memiliki portofolio global dan mengelola investasi berdasarkan prinsip-prinsip komersial. Temasek memiliki aset yang dikelolanya, memiliki peringkat kredit, dan mengeluarkan obligasi internasional. Tujuan Temasek adalah untuk memberikan imbal hasil yang berkelanjutan dalam jangka panjang. Sebagai pemegang saham yang terlibat, Temasek juga mempromosikan tata kelola perusahaan yang baik di perusahaan-perusahaan dalam portofolionya.
Sementara Danantara nantinya akan serupa seperti pengelola dana abadi (sovereign wealth fund/SWF) Singapura Temasek.
"End state nya iya, mirip mirip seperti (Temasek)," ungkap Muliaman.
Terpisah, Wakil Menteri Keuangan III Anggito Abimanyu mengatakan Danantara nantinya akan menjadi super hoding BUMN yang mengkonsolidasikan aset-aset berbagai BUMN untuk dijadikan sebagai kendaraan investasi pemerintah untuk mendongkrak atau leverage aset itu.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)
Saksikan video di bawah ini: