Jakarta, CNBC Indonesia - Arus dana asing terpantau keluar dari pasar keuangan domestik di tengah kemenangan Donald Trump di pemilu Amerika Serikat (AS) melawan Kamala Harris pekan lalu.
Bank Indonesia (BI) merilis data transaksi 4-7 November 2024, investor asing secara agregat tercatat jual neto Rp10,23 triliun. Jual neto di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp4,66 triliun, sedangkan di pasar saham jual neto sebesar Rp2,29 triliun, dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) tercatat jual neto sebesar Rp3,28 triliun.
Hal ini cukup mengejutkan karena asing terpantau net sell secara berjamaah di SBN, saham, dan SRBI. Untuk diketahui, hal ini cukup jarang terjadi dan terakhir kali terjadi pada 23-26 September 2024.
Sepanjang 2024 ini saja, hal tersebut hanya terjadi sebanyak lima kali, yakni satu kali pada Maret, dua kali pada April, satu kali pada September, dan awal November 2024.
Sementara selama tahun 2024, berdasarkan data setelmen sampai dengan 4 November 2024, investor asing tercatat beli neto sebesar Rp38,51 triliun di pasar saham, Rp38,86 triliun di pasar SBN dan Rp192,99 triliun di SRBI.
Derasnya dana asing keluar dari pasar keuangan domestik terjadi bersamaan dengan melesatnya indeks dolar Amerika Serikat (AS) DXY dan imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun. Kenaikan dua hal ini memicu aliran dana kembali ke AS untuk sementara waktu.
Sebagai catatan, pandangan investor terhadap kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) juga memengaruhi pergerakan dolar. Harapan terhadap pemangkasan suku bunga yang agresif pada Federal Open Market Committee (FOMC) bulan November telah berkurang.
Pekan lalu, hasil FOMC memutuskan bahwa The Fed memangkas hanya 25 basis poin (bps) atau lebih rendah dibandingkan ekspektasi awal yakni sebesar 50 bps.
Alhasil DXY dan UST tenor 10 tahun hanya terdepresiasi tipis pada pekan lalu.
Di lain sisi, kemenangan Trump melawan Harris juga membuat DXY dan UST tenor 10 tahun juga melonjak signifikan pada 6 November 2024 yang masing-masing naik sebesar 1,61% dan 3,15%.
Kenaikan tersebut terjadi karena tarif perdagangan yang cenderung lebih tinggi membuat harga barang yang masuk ke AS akan lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Hal ini membuat inflasi terjadi dan potensi The Fed untuk menurunkan suku bunganya akan semakin lebih sulit. Alhasil DXY akan berada di level yang cukup tinggi dan menekan rupiah.
Lebih lanjut, selisih imbal hasil SBN dan UST tenor 10 tahun juga tampak semakin berkurang dari rata-rata 2,52% (28 Oktober - 1 November 2024) menjadi 2,42% (4-8 November 2024).
Hal ini membuat investor asing cenderung keluar dari pasar keuangan domestik dan memilih pasar keuangan AS.
Saham Bank Keluar Karena Danantara?
Mayoritas saham BUMN merana pada pekan lalu hancur di tengah rencana pemerintah membentuk badan super holding BUMN, yakni Daya Anagata Nusantara (Danantara).
Berdasarkan informasi yang beredar, Danantara akan menaungi tujuh BUMN besar di Indonesia, yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk atau BMRI, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BBRI, PT Perusahaan Listrik Negara/PPLN (Persero), PT Pertamina (Persero), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BBNI, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk, dan MIND ID.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto akan meluncurkan lembaga Daya Anagata Nusantara (Danantara) beserta dengan besaran dana kelolaannya pada 7 November 2024 tetapi peluncuran tak kunjung dilakukan.
Prabowo juga telah menunjuk Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2012-2017 Muliaman Darmansyah Hadad sebagai Kepala Badan Pengelolaan Investasi Danantara untuk mengelola dana investasi di luar APBN melalui skema Sovereign Wealth Fund (SWF).
Data menunjukkan net foreign sell BBRI dalam sepekan mencapai Rp 1,39 triliun, di Bank Mandiri sebesar Rp 1,29 triliun dan di BBNI sebesar Rp 322,99 miliar.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)