Jakarta CNBC Indonesia- Presiden baru Indonesia, Prabowo Subianto, kembali menegaskan cita-citanya agar RI bisa swasembada pangan kembali.
Indonesia adalah negeri dengan kekayaan alam yang luar biasa, namun ketergantungan pada impor pangan masih menjadi bayang-bayang. Ketahanan pangan di era Prabowo akan menghadapi ujian berat, terutama di tengah ketidakpastian global yang terus meningkat. Lalu, apa saja tantangan yang harus dihadapi pemerintahan baru ini?
Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah ketergantungan tinggi pada impor untuk sejumlah komoditas vital. Data dari Badan Pangan Nasional (Bapanas) menunjukkan bahwa kedelai, bawang putih, dan bahkan daging sapi serta gula, berada dalam ambang krisis.
Tanpa intervensi melalui impor, negara ini berisiko mengalami defisit serius.Ketimpangan ini menggambarkan pentingnya intervensi, baik melalui peningkatan produksi lokal maupun impor, demi menjaga stabilitas pasokan protein yang terjangkau bagi masyarakat.
Selain itu, krisis stok juga melanda komoditas penting lainnya. Kebutuhan kedelai, yang merupakan bahan utama dalam produksi tempe dan tahu-makanan pokok bagi banyak orang Indonesia-mencapai lebih dari 3 juta ton per tahun, namun stok akhirnya hanya 192 ribu ton.
Nasib yang serupa dialami bawang putih, di mana Indonesia juga bergantung pada impor. Situasi ini semakin diperparah oleh dinamika pasar internasional yang tidak stabil. Ketergantungan ini menempatkan Indonesia pada posisi yang sangat rentan dalam menjaga kedaulatan pangan.
Dalam rangka mencapai swasembada, benih padi menjadi salah satu faktor yang sangat krusial. Namun, saat ini, benih padi yang digunakan di Indonesia sebagian besar sudah berusia lebih dari dua dekade dan mulai jenuh.
Hal ini berdampak pada penurunan produktivitas padi yang dapat memengaruhi pasokan pangan nasional. Revitalisasi sistem perbenihan menjadi hal mendesak yang perlu diperhatikan oleh pemerintah, terutama setelah restrukturisasi balai perbenihan ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Tanpa inovasi dalam pengembangan benih baru, Indonesia berisiko kehilangan daya saing dalam produksi padi, komoditas yang merupakan tulang punggung pangan negeri ini.
Sejalan dengan itu, pemerintah juga harus memikirkan nasib petani dan nelayan, yang sering kali menjadi korban dari ketidakstabilan harga dan kebijakan pangan yang tidak berpihak. Di era sebelumnya, petani dan nelayan menghadapi kesulitan dalam mendapatkan akses yang layak untuk meningkatkan produktivitas mereka. Memartabatkan petani dan nelayan melalui reformasi kebijakan pertanian dan perikanan adalah langkah krusial agar mereka bisa lebih berdaya dan berkontribusi dalam mencapai swasembada pangan. Tidak hanya itu, pentingnya infrastruktur irigasi juga menjadi faktor penting dalam meningkatkan produktivitas pertanian. Banyak wilayah pertanian di Indonesia masih mengandalkan hujan sebagai sumber air, yang menjadikan produktivitas mereka sangat bergantung pada musim.
Perbaikan sistem irigasi yang lebih modern dan merata akan membantu petani meningkatkan hasil panen dan menjaga keberlanjutan produksi pangan, terutama di musim kemarau.
Indonesia sendiri masih menghadapi tantangan besar dalam ketahanan pangan di antaranya adalah produktivitas hasil pertanian masih rendah antara lain karena alih fungsi lahan, keterbatasan sarpras pertanian, serta keterbatasan kapasitas dan akses modal petani dan nelayan.
Persoalan lainnya adalah perubahan iklim dan keberadaan organisme pengganggu tanaman (OPT) menyebabkan gagal panen dan biaya distribusi pangan yang tinggi karena geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan.
Foto: CNBC Indonesia
Tiga Faktor Penyebab Konversi Lahan/Alih Fungsi Lahan
Tantangan lainnya adalah persoalan distribusi pangan yang belum optimal. Banyak wilayah di Indonesia yang kesulitan mendapatkan pasokan pangan dengan harga yang terjangkau karena masalah distribusi yang tidak merata. Pemerintah Prabowo perlu fokus pada peningkatan efisiensi distribusi pangan, baik melalui infrastruktur jalan, transportasi, maupun teknologi, agar ketahanan pangan dapat terjaga di seluruh wilayah negeri.
Foto: Petani panen menggunakan terpal untuk mengangkut padi yang kebanjiran di Desa Tondomulyo, Kecamatan Jakenan, Kabupaten Pati, Kamis (14/3/2024). (Dok. Detikcom/Dian Utoro Aji)
Petani panen menggunakan terpal untuk mengangkut padi yang kebanjiran di Desa Tondomulyo, Kecamatan Jakenan, Kabupaten Pati, Kamis (14/3/2024). (Dok. Detikcom/Dian Utoro Aji)
Di tengah semua tantangan ini, Presiden RI Prabowo Subianto telah menegaskan komitmennya untuk mencapai swasembada pangan. Seperti yang dia sampaikan dalam berbagai kesempatan, ketahanan pangan adalah fondasi bagi kelangsungan hidup bangsa.
Namun, tanpa strategi yang matang dan implementasi yang tepat, upaya swasembada pangan akan sulit tercapai. Pemerintahan baru ini harus bekerja keras untuk membangun fondasi yang kuat demi memastikan bahwa setiap warga negara Indonesia dapat menikmati pangan yang cukup, terjangkau, dan berkualitas.
Anggaran Ketahanan Pangan
Dalam APBN 2025 disebutkan anggaran ketahanan pangan sebesar Rp 139,4 triliun. Anggaran ini naik dibandingkan yang diajukan dalam RAPBN 2025 yakni Rp 124 triliun.
Anggaran dimanfaatkan untuk menjawab tantangan ketahanan pangan yang semakin kompleks di Indonesia. Alokasi tersebut mencakup berbagai tahapan penting dalam rantai pasok pangan, mulai dari pra-produksi hingga konsumsi.
Seerti ketahui, anggaran ketahanan pangan tersebar di sejumlah kementerian/lembaga hingga pemerintah daerah. Di antaranya adalah di Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR), Kementerian Kelautan Perikanan, Kementerian Sosial, Kementerian Pertahanan, hingga Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Anggaran tersebut juga disalurkan ke Transfer Daerah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU).
Terdapat pula anggaran ketahanan pangan di non Kementerian/Lembaga melalui subsidi pangan, subsidi pupuk hingga subsidi benih, hingga subsidi resi gudang.
Persoalan lainnya adalah perubahan iklim dan keberadaan organisme pengganggu tanaman (OPT) menyebabkan gagal panen dan biaya distribusi pangan yang tinggi karena geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan.
Terdapat juga hambatan rantai pasokan pangan dan stabilitas harga akibat dinamika geopolitik serta meningkatnya konsumsi karena populasi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan anggaran ketahanan pangan akan dimanfaatkan mulai dari pra produksi, distribusi, hingga sampai ke konsumen.
APBN 2025 juga mencerminkan upaya pemerintah dalam memenuhi salah satu janji utama pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yaitu pengembangan program food estate.
Rencana ini akan dilakukan di tiga lokasi utama, yakni Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Namun, terdapat ironi ketika membandingkan janji kampanye dengan realisasi anggaran.
Prabowo dalam dokumen kampanyenya berjanji untuk mencetak tambahan 4 juta hektar luas panen tanaman pangan pada tahun 2029, namun APBN 2025 hanya mencakup cetak sawah seluas 250 ribu hektar dan pengembangan kawasan padi seluas 485 ribu hektar. Target ini tampak sangat ambisius jika dibandingkan dengan langkah konkret yang direncanakan pemerintah.
Foto: Tangkapan Layar Youtube Kemenkeu
RAPBN 2025
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)
Saksikan video di bawah ini: