Kisah Sritex, Dahulu Jaya dan Loyal Bagi Dividen Kini Merana

2 weeks ago 14

Jakarta, CNBC Indonesia - Emiten tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang pada Kamis (24/10/2024), di mana putusan ini setelah Sritex melewati masalah utang yang menggunung.

Sebagaimana tertuang dalam putusan dengan nomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya telah lalai dalam memenuhi kewajiban pembayarannya kepada PT Indo Bharat Rayon, selaku pemohon, berdasarkan Putusan Homologasi tanggal 25 Januari 2022.

"Menyatakan PT Sri Rejeki Isman Tbk, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya pailit dengan segala akibat hukumnya," mengutip petitum melalui SIPP PN Semarang, Kamis (24/10/2024).

Sebelum putusan ini, Sritex sempat tenggelam karena terbentur utang yang menggunung. Hingga September 2022, total liabilitas SRIL tercatat US$1,6 miliar atau setara dengan Rp 24,66 triliun (kurs=Rp15.500/US$).

Jumlah tersebut didominasi oleh utang-utang yang memiliki bunga seperti utang bank dan obligasi. Jika benar-benar karam karena terbentur utang, maka Sritex bakal tinggal nama.

Sejarah Sritex

Sritex sebenarnya bukan perusahaan kemarin sore dan sudah berdiri lebih dari 50 tahun.

Sejarah perusahaan Sritex tidak bisa terlepas dari sosok pendirinya, yaitu Haji Muhammad Lukminto (H.M Lukminto). Lukminto alias Le Djie Shin adalah peranakan Tionghoa yang lahir pada 1 Juni 1946. Dia memulai karir sebagai pedagang dengan berjualan tekstil di Solo sejak usia 20-an.

Dalam uraian buku Local Champion, Solo sebagai pusat tekstil di Jawa sejak masa kolonial membuat bisnis Lukminto tumbuh subur. Hingga akhirnya pada 1966 atau di usia 26 tahun dia berani menyewa kios di Pasar Klewer. Kios itu diberi nama UD Sri Redjeki.

Tak disangka bisnisnya moncer. Dua tahun berselang dia mulai membuka pabrik cetak pertamanya yang menghasilkan kain putih dan berwarna untuk pasar Solo. Pendirian pabrik inilah yang kemudian menjelma menjadi PT Sri Rejeki Isman atau Sritex yang kini bertahan hingga kini pada 1980.

Tak banyak cerita 'tangan dingin' Lukminto dalam menjadikan Sritex sebagai 'raja' industri kain di Indonesia. Satu hal yang menarik dari dirinya adalah kedekatannya dengan Presiden Indonesia Ke-2, Soeharto. Rupanya ada tangan dingin penguasa itu dalam perkembangan Sritex.

Mengutip Prahara Orde Baru (2013) terbitan Tempo, Sritex adalah ikon penguasa karena disinyalir berada di bawah perlindungan Keluarga Cendana, sebutan bagi keluarga Soeharto. Fakta ini tidak terlepas dari kedekatan Lukminto dengan tangan kanan Cendana, yakni Harmoko yang selama Orde Baru dikenal sebagai Menteri Penerangan dan Ketua Umum Golkar. Harmoko adalah sahabat kecil Lukminto.

Karena dekat dengan pemerintah dan pemegang pasar, Sritex dan Lukminto mendapat durian runtuh. Di masa Orde Baru, Lukminto beberapa kali menjadi pemegang tender proyek pengadaan seragam yang disponsori pemerintah.

"Di dalam negeri, ketika itu Sritex (tahun 1990-an) menerima orderan seragam batik Korpri, Golkar, dan ABRI," tulis Tempo. Dan karena ini pula Sritex mendapat jutaan rupiah dan dollar, ditambah dengan penguasaanya terhadap pasar garmen di dalam dan luar negeri.

Kejayaan Sritex Dari Sahamnya

Sritex sendiri berdiri pada 1966. Tetapi, sahamnya baru melantai atau listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 7 Juni 2013 dengan harga IPO saat itu sebesar Rp240 per lembar saham.

Setelah dua tahun listing, harga saham Sritex sempat melambung ke level tertinggi di Rp 497 per lembar saham pada harga tertinggi 31 Juli 2015, atau melesat 107%.

stockbitFoto: Stockbit
Saham SRIL Sebelum Disuspensi BEI

Tak hanya menjadi saham yang kenaikannya cukup besar pada saat itu, Sritex sendiri sempat menjadi emiten yang loyal membagikan dividen kepada para pemegang sahamnya. Bahkan sekitar setahun setelah melantai di bursa, Sritex langsung membagikan dividen sebesar Rp 2 per saham dengan rasio dividend yield sebesar 1,12%, di mana periode cum date yakni pada 30 Juni 2014.

Pembagian dividen terbesar saham Sritex terjadi pada 27 Mei 2018 silam, di mana dividen yang dibagikan saat itu mencapai Rp 8 per saham dengan yield dividen mencapai 2,41%.

Namun sejak saat itu, dividen Sritex makin mengecil hingga pada periode cum date dividen 15 Juli 2020 dan periode pembayaran dividen pada 6 Agustus 2020, menjadi pembagian dividen terakhir Sritex.

Dalam laporan keuangan terbaru SRIL, pada semester I 2024 SRIL membukukan kerugian sebesar US$ 25,73 juta atau setara dengan Rp 421,27 miliar (Rp 16.370/US$1 akhir Juni 2024), kerugian tersebut turun dari periode semester I-2023 sebesar Rp78,73 juta atau setara dengan Rp 1,29 triliun.

Hutang Perseroan tak turun banyak, per Juni 2024 hutang SRIL masih tercatat US$ 1,59 miliar atau setara dengan Rp 26,16 triliun, turun tipis dari Desember 2024 sebesar US$ 1,6 miliar atau setara dengan Rp26,25 triliun.

Kini potensi saham Sritex di depak dari BEI makin besar, karena masa suspensi Sritex telah mencapai 42 bulan.

Sebelumnya BEI telah mengeluarkan pengumuman potensi delisting untuk saham Sritex sejak 18 November 2021 hingga berlanjut pada 28 Juni 2024.

Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna mengatakan, pihaknya telah melakukan Penghentian Sementara Perdagangan Efek SRIL di Seluruh Pasar sejak tanggal 18 Mei 2021 hingga sampai saat ini karena adanya Penundaan Pembayaran Pokok dan Bunga MTN Sritex Tahap III Tahun 2018 ke-6.

Sementara bila melihat ketentuan III.1 Peraturan Bursa I-N, delisting atas suatu saham dapat terjadi karena perusahaan tercatat mengalami suatu kondisi atau peristiwa yang signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha perusahaan tercatat, baik secara finansial atau secara hukum, dan perusahaan tercatat tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai.

Delisting juga bisa dilakukan bila saham perusahaan tercatat telah mengalami suspensi efek, baik di pasar reguler dan pasar tunai, dan/atau di seluruh pasar, paling kurang selama 24 bulan terakhir.

"Dengan demikian SRIL telah memenuhi kriteria untuk dilakukan delisting karena supensi atas efek SRIL telah mencapai 42 bulan," ungkap Nyoman kepada wartawan pada Kamis, (24/10/2024).

Sehubungan dengan pemberitaan mengenai putusan pailit SRIL, Bursa juga telah menyampaikan permintaan penjelasan dan mengingatkan SRIL untuk menyampaikan keterbukaan informasi kepada publik mengenai tindak lanjut dan rencana perseroan terhadap putusan pailit.

Bursa juga telah mengenakan notasi khusus dan penempatan pada Papan Pemantauan terhadap SRIL. Hal ini diharapkan bisa menjadi awareness awal bagi investor atas potensi adanya permasalahan pada perusahaan tercatat.

Dalam melakukan pemantauan terhadap SRIL, Bursa telah melakukan pengumuman potensi delisting setiap 6 bulan dengan rincian. Ia pun menekankan perlunya perusahaan tercatat yng bermasalah untuk melakukan delisting sukarela bila langkah penyelamatan dinilai tidak memungkinkan.

"Perusahaan terbuka wajib mengubah status menjadi Perusahaan Tertutup dan diwajibkan melakukan buyback atas saham publik dengan ketentuan dan harga sebagaimana diatur dalam POJK 3/2021 dan SE OJK," ungkap Nyoman.

Hal ini sebagaimana diatur dalam POJK 3/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal dan SE OJK No. 13/SEOJK.04/2023 tentang Pembelian Kembali Saham Perusahaan Terbuka sebagai Akibat Dibatalkannya Pencatatan Efek oleh Bursa Efek karena Kondisi atau Peristiwa yang Signifikan Berpengaruh Negatif terhadap Kelangsungan Usaha disebutkan bahwa apabila delisting dilakukan atas Perusahaan terbuka karena kondisi yang berpengaruh pada kelangsungan usaha.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(chd/chd)

Saksikan video di bawah ini:

Prabowo: Hilirisasi Mutlak, Tidak Bisa Ditawar!

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research