- Krisis iklim global menghadirkan ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk umat manusia dan lingkungan.
- Fenomena cuaca ekstrem memiliki konsekuensi serius terhadap perekonomian dan struktur sosial di seluruh dunia.
- Dampak luas perubahan iklim menuntut respons menyeluruh dan inovatif dari masyarakat global.
Jakarta, CNBC Indonesia - Perubahan iklim kini menunjukkan dampak yang semakin nyata dan mengkhawatirkan di seluruh dunia. Fenomena ini menciptakan kondisi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia modern.
Kejadian cuaca ekstrem yang terjadi di berbagai belahan bumi telah membuka mata banyak orang bahwa krisis iklim bukan sekadar ancaman di masa depan, melainkan realitas yang sedang kita hadapi saat ini.
Menurut laporan terbaru dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), suhu permukaan global rata-rata pada tahun 2023 mencapai 1,45°C di atas tingkat pra-industri, dengan margin ketidakpastian ±0,12°C.
Tahun 2023 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah pencatatan. Rekor ini dipicu oleh kombinasi pemanasan iklim jangka panjang dan faktor-faktor lain.
Proyeksi untuk tahun 2024 hingga 2028 menunjukkan bahwa suhu permukaan rata-rata global diperkirakan akan berada antara 1,1°C dan 1,9°C lebih tinggi dari garis dasar 1850-1900.
Laporan tersebut menyatakan bahwa ada kemungkinan besar (86%) setidaknya satu tahun dalam periode ini akan mencatatkan rekor suhu baru.
Kemungkinan rekor ini didorong oleh peningkatan gas rumah kaca yang memerangkap panas dan peristiwa El Niño yang terjadi secara alami.
Peluang untuk melampaui ambang batas 1,5°C dalam periode lima tahun telah meningkat secara signifikan sejak 2015. Saat itu, kemungkinannya mendekati nol.
Apabila melampaui ambang batas kritis 1,5°C yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris dapat memicu dampak perubahan iklim yang jauh lebih parah dan tak terkendali, menurut pernyataan para ilmuwan.
Dr. Petteri Talaash, Sekretaris Jenderal WMO, menekankan dalam sebuah konferensi pers bahwa kita berada di ambang bencana iklim.
"Setiap tahun, kita menyaksikan rekor baru dalam suhu, tingkat karbon dioksida di atmosfer, dan kenaikan permukaan laut. Ia menegaskan bahwa ini bukan lagi masalah masa depan, tetapi krisis yang sedang berlangsung saat ini." ungkapnya.
Dampak perubahan iklim yang semakin intensif dan luas mencakup berbagai aspek kehidupan dan ekosistem global.
Ini meliputi gelombang panas yang lebih ekstrim, curah hujan yang berlebihan, dan kekeringan yang parah.
Selain itu, terjadi pengurangan yang signifikan pada lapisan es, es laut, dan gletser. Percepatan kenaikan permukaan laut dan pemanasan samudra juga menjadi bagian dari dampak yang semakin terasa. Berikut klasifikasi lebih lanjutnya.
Gambaran pencairan es di Antartika dari tahun ke tahun
Antartika dikenal sebagai benua paling tinggi, kering, dingin, berangin, dan paling terang di dunia. Rata-rata ketebalan es mencapai lebih dari 1.600 km, dengan beberapa titik lebih dari 4.000 km. Es ini terbentuk dari hujan salju selama jutaan tahun.
Jika bongkahan es setebal ribuan kilometer ini mencair, permukaan laut dunia diperkirakan akan naik sekitar 70 meter, yang akan menenggelamkan kota-kota pesisir dan mengubah garis pantai global.
Negara-negara seperti Florida, Denmark, Belanda, dan Bangladesh akan hilang, sementara Inggris, Uruguay, dan sebagian besar wilayah dataran rendah lainnya akan tenggelam.
Banjir besar ini diperkirakan akan memaksa miliaran orang mengungsi, dengan 40% populasi dunia terdampak.
Antartika yang tidak lagi tertutup es akan berubah menjadi kumpulan pulau besar, dan pencairan es di kutub lainnya, seperti Arktik, juga akan memperlihatkan daratan Greenland.
Es dan salju memantulkan sebagian besar sinar matahari kembali ke angkasa, namun jika permukaan yang lebih gelap seperti laut dan daratan terbuka semakin luas, lebih banyak panas akan diserap, meningkatkan suhu global dalam fenomena yang dikenal sebagai pengurangan albedo.
Selain itu, pencairan es di Antartika dapat melepaskan gas rumah kaca seperti metana yang terperangkap di bawah lapisan es, memperburuk efek rumah kaca dan mempercepat pemanasan global.
Fenomena "Global Boiling" yang terjadi pada tahun 2023 lalu telah menjadi tanda nyata bahwa suhu bumi semakin meningkat.
Jika seluruh es Antartika mencair, suhu global akan naik 10 hingga 14 derajat Celsius, membuat daerah tropis tak dapat dihuni manusia, dan memaksa mereka bermigrasi ke wilayah kutub.
Panen akan gagal, ekosistem rusak, dan spesies akan punah dalam peristiwa kepunahan massal. Bumi yang terdiri dari lempengan tektonik juga akan mengalami kenaikan daratan secara perlahan akibat proses rebound isostatik ketika es yang berat hilang.
Meskipun proses ini berlangsung sangat lambat, efeknya akan terus terjadi selama ribuan tahun, seperti yang telah diamati di Kanada Utara dan Skandinavia.
Es Laut Arktik Terus Menipis
Setiap bulan September, es laut yang menutupi Laut Arktik mencapai luas minimum tahunan.
Fenomena ini merupakan bagian dari siklus musiman yang normal, tetapi perubahan iklim yang dipicu oleh emisi gas rumah kaca membuat pencairan es Arktik semakin parah.
Sejak Revolusi Industri, jumlah emisi karbon dioksida telah meningkat drastis, dari 6 miliar ton pada tahun 1950 hingga 40 miliar ton saat ini. Peningkatan suhu akibat gas rumah kaca ini telah mempercepat pencairan es di seluruh dunia, termasuk di Arktik.
Es laut Arktik memainkan peran penting dalam menjaga suhu bumi tetap stabil karena memiliki albedo tinggi, yang berarti mampu memantulkan sinar matahari kembali ke angkasa.
Ketika es mencair, air laut yang lebih gelap mengambil alih permukaan, menyerap lebih banyak panas, yang pada akhirnya mempercepat pencairan es lebih lanjut.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh tim ilmuwan dari berbagai institusi, termasuk Universitas Pohang di Korea Selatan dan Institut Oseanografi Universitas Hamburg, mempertanyakan metode prediksi penurunan es yang digunakan oleh IPCC dalam Laporan Penilaian Keenam mereka.
Berdasarkan pengamatan satelit sejak tahun 1979, tim peneliti memperkirakan bahwa es laut Arktik akan mengalami pencairan total pada musim panas secepatnya di tahun 2030-an, jauh lebih cepat dari prediksi IPCC yang memperkirakan pencairan penuh di akhir abad ini.
Mengapa hal ini penting? Kehilangan es laut Arktik akan berdampak besar pada sistem iklim global, mempengaruhi pola cuaca, ekosistem, serta sirkulasi arus laut yang menjaga keseimbangan suhu dan distribusi nutrisi di seluruh dunia.
Tidak hanya itu, pencairan es juga berdampak pada angin dan arus laut, serta meningkatkan pelepasan metana dari lapisan tanah beku (permafrost) di Arktik.
Metana, yang merupakan gas rumah kaca 80 kali lebih kuat daripada karbon dioksida, dapat memperparah pemanasan global jika dilepaskan dalam jumlah besar.
Para ilmuwan khawatir bahwa suhu laut yang melonjak di tahun 2023 dan 2024, bahkan dengan mempertimbangkan efek El Niño, tidak dapat dijelaskan hanya dengan model yang ada.
Lautan, yang selama ini menyerap lebih dari 50% emisi karbon manusia dan lebih dari 90% panas tambahan, mungkin telah mencapai batas kapasitasnya. Jika lautan mulai melepaskan panas tersebut kembali ke atmosfer, dampaknya akan sangat buruk bagi iklim bumi.
Semua ini bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga ekonomi. Menurut perkiraan, jalur pemanasan global saat ini dapat mengakibatkan penurunan 18% PDB global pada tahun 2050, dengan kerugian tahunan sebesar $38 triliun.
Kolapsnya sistem arus Samudra Atlantik pada 2030
Sebuah studi terbaru mengungkapkan bahwa Sirkulasi Pembalikan Meridional Atlantik (AMOC), sistem vital yang mempengaruhi iklim global, bisa kolaps pada tahun 2030.
Menurut para ilmuwan, kehancuran ini akan menjadi bencana berskala planet yang menyebabkan perubahan besar pada cuaca dan iklim di seluruh dunia.
Sejumlah penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa AMOC, yang berfungsi seperti sabuk konveyor raksasa yang mengalirkan air hangat dari daerah tropis ke Atlantik Utara, dapat runtuh akibat suhu lautan yang semakin hangat dan perubahan kadar garam yang dipicu oleh perubahan iklim.
Namun, studi terbaru yang menggunakan model prediktif canggih memperkirakan bahwa keruntuhan AMOC bisa terjadi antara 2037 hingga 2064.
Rene van Westen, peneliti kelautan dan atmosfer dari University of Utrecht Belanda, menyatakan bahwa situasi ini sangat mengkhawatirkan.
Ia menambahkan, efek negatif dari perubahan iklim akibat aktivitas manusia, seperti gelombang panas, kekeringan, dan banjir, akan terus terjadi.
Jika ditambah dengan keruntuhan AMOC, maka iklim dunia akan semakin kacau.
AMOC memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan suhu di bumi dengan membawa air hangat ke belahan bumi utara dan menjaga beberapa wilayah di belahan bumi selatan dari pemanasan berlebih.
Namun, keruntuhan sistem ini akan membawa dampak besar, termasuk pendinginan ekstrem di Eropa dan Amerika Utara, serta perubahan drastis musim di hutan hujan Amazon.
Peneliti lain, Stefan Rahmstorf dari Universitas Potsdam Jerman, mengungkapkan bahwa resikonya sangat besar dan harus dihindari.
Meskipun model prediksi terus berkembang, penelitian ini belum memperhitungkan faktor mencairnya es Greenland yang dapat mempercepat keruntuhan AMOC.
Di Indonesia sendiri, pemanasan global mengakibatkan peningkatan suhu udara yang terus berlanjut.
Pada tahun 2024, Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa suhu udara meningkat sekitar 0,5-1 derajat Celsius dibandingkan dengan rata-rata suhu dalam dekade sebelumnya.
Peningkatan suhu ini menyebabkan cuaca menjadi semakin panas dan tidak menentu.
Selain itu, pola curah hujan juga mengalami perubahan drastis, dengan intensitas hujan ekstrem yang lebih sering terjadi, sehingga memicu banjir di berbagai daerah, sementara beberapa wilayah lainnya justru menghadapi kekeringan panjang akibat penurunan curah hujan.
Di sisi lain, kenaikan permukaan air laut terus menjadi ancaman serius bagi wilayah pesisir, seperti Jakarta Utara, Semarang, dan Surabaya, yang semakin sering dilanda banjir rob dan penurunan tanah yang semakin parah.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(tsn/tsn)
Saksikan video di bawah ini: