Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan pasar keuangan domestik pekan depan tampaknya cenderung dipengaruhi oleh sentimen eksternal, khususnya yang datang dari Timur Tengah dan Amerika Serikat (AS).
Pada Selasa (29/10/2024), Biro Statistik Tenaga Kerja AS akan merilis data jumlah lowongan kerja. Sebelumnya untuk periode Agustus 2024, jumlah lowongan pekerjaan meningkat sebanyak 329.000 menjadi 8,04 juta.
Jumlah lowongan pekerjaan meningkat di sektor konstruksi (+138.000) dan pemerintah negara bagian serta lokal, tidak termasuk pendidikan (+78.000). Namun, lowongan pekerjaan menurun di sektor layanan lainnya (-93.000).
Sementara proyeksi konsensus menilai akan terjadi penurunan jumlah lowongan kerja menjadi sekitar 7,92 juta di tengah data tenaga kerja AS yang tampak sedikit membaik.
Selain itu, pada hari yang sama, Indeks Kepercayaan Konsumen dari Conference Board (CB) dan tampak konsensus memperkirakan akan terjadi kenaikan dari 98,7 menjadi 98,8.
Sebagai catatan, indeks ini mengukur tingkat kepercayaan konsumen terhadap aktivitas ekonomi. Ini merupakan indikator terdepan karena dapat memprediksi pengeluaran konsumen, yang berperan besar dalam aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Pembacaan yang lebih tinggi menunjukkan optimisme konsumen yang lebih besar.
Selanjutnya pada Rabu (30/10/2024), sentimen pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) akan mewarnai jagat global.
Euro Area akan merilis data pertumbuhan PDB Flash untuk kuartal III-2024 yang diperkirakan sedikit lebih tinggi dibandingkan periode kuartal II-2024 yakni dari 0,6% year on year/yoy menjadi 0,8% yoy.
Sedangkan pada malam harinya, AS juga akan merilis pertumbuhan PDB Advance untuk kuartal III-2024 yang diperkirakan masih akan sama dengan kuartal II-2024 yakni di level 3%.
Di hari berikutnya (31/10/2024), China akan merilis Purchasing Managers' Index (PMI) Manufacturing untuk periode Oktober 2024 yang diproyeksikan akan meningkat dari 49,8 menjadi 50,1 atau dari level kontraksi menjadi ekspansif.
Jika aktivitas manufaktur China benar-benar pulih, hal ini akan memberikan sentimen positif bagi Indonesia yang merupakan mitra dagang utamanya karena akan kembali menggenjot ekspornya.
Selain itu, Bank of Japan (BoJ) juga akan merilis data suku bunga acuannya untuk periode Oktober. Saat ini konsensus menilai bahwa BoJ masih akan kembali menahan suku bunga acuan jangka pendek di sekitar 0,25%.
Hal penting lainnya dari BoJ yakni pada saat yang bersamaan akan dirilis laporan prospek kuartalan BoJ yang akan memberikan penilaian terhadap ekonomi Jepang.
Pada hari terakhir pekan depan (1/11/2024), S&P Global akan merilis PMI Manufacturing untuk Indonesia. Hal ini menjadi penting karena kita dapat melihat kondisi aktivitas manufaktur di Indonesia apakah sudah membaik atau tidak.
Sebelumnya pada September 2024, PMI Manufaktur Indonesia berada di angka 49,2. Hal ini menandai penurunan aktivitas pabrik selama tiga bulan berturut-turut, dengan output dan pesanan baru sama-sama menurun untuk bulan ketiga berturut-turut.
Selain itu, pesanan luar negeri menyusut dengan laju tertinggi sejak November 2022, turun untuk bulan ketujuh. Perusahaan merespons dengan mengurangi aktivitas pembelian, lebih memilih untuk memanfaatkan inventaris yang ada. Di sisi lain, lapangan kerja tumbuh untuk pertama kalinya dalam tiga bulan.
Sementara itu, penundaan waktu pengiriman tetap ada akibat masalah pengiriman, tercatat dengan perpanjangan waktu tunggu rata-rata untuk ketiga kalinya berturut-turut. Dari sisi biaya, harga input meningkat, tetapi laju inflasi adalah yang terendah dalam setahun.
Menanggapi kondisi pasar yang lebih sepi, perusahaan sedikit mengurangi harga output untuk pertama kalinya sejak Juni 2023. Akhirnya, kepercayaan diri meningkat ke puncak tujuh bulan, didorong oleh harapan akan stabilitas kegiatan di tahun mendatang.
Tidak sampai disitu, Badan Pusat Statistik (BPS) juga akan merilis data Indeks Harga Konsumen (IHK) periode Oktober 2024.
Untuk diketahui, IHK Indonesia pada September 2024 tampak tumbuh 1,84% yoy. Tingkat inflasi ini merupakan yang terendah sejak November 2021 dan tetap berada dalam rentang target bank sentral sebesar 1,5% hingga 3,5% untuk periode 2024. Harga makanan naik paling sedikit dalam 14 bulan (2,57% vs. 3,39% di Agustus), karena pasokan beras tetap melimpah setelah penundaan musim panen yang biasanya terjadi pada bulan Maret menjadi Mei.
Selain itu, inflasi moderat untuk sektor kesehatan (1,69% vs. 1,72%), transportasi (0,92% vs. 1,42%), dan pakaian (1,18% vs. 1,19%). Harga komunikasi turun lebih cepat (-0,28% vs. -0,16%). Sebaliknya, harga sedikit meningkat untuk perumahan (0,60% vs. 0,57%), perabotan (1,08% vs. 1,05%), rekreasi dan budaya (1,55% vs. 1,52%), akomodasi (2,25% vs. 2,24%), dan pendidikan (1,94% vs. 1,83%).
Selanjutnya, tingkat inflasi inti mencapai 2,09%, tertinggi dalam 13 bulan, naik dari 2,02% di Agustus. Secara bulanan, CPI turun sebesar 0,12%, memperpanjang tren penurunan selama lima bulan berturut-turut.
Kemudian pada malam harinya, AS akan memberikan informasi soal Non-Farm Payroll (NFP) serta ISM PMI Manufacturing.
Pada September lalu, ekonomi AS menambahkan 254 ribu pekerjaan, angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan revisi naik 159 ribu pada Agustus, dan jauh di atas perkiraan 140 ribu.
Ini adalah pertumbuhan pekerjaan terkuat dalam enam bulan dan lebih tinggi dari rata-rata kenaikan bulanan sebesar 203 ribu selama 12 bulan sebelumnya.
Semakin kuatnya ekonomi AS, maka hal ini nantinya akan menjadi pertimbangan bank sentral AS (The Fed) dalam memangkas suku bunganya agar tidak terlalu agresif.
Memanasnya Timur Tengah
Timur Tengah masih belum juga mendingin apalagi setelah Sabtu (26/10/2024) pagi, militer Israel melancarkan serangkaian serangan udara terhadap Iran. Warga Teheran melaporkan mendengar beberapa ledakan di dalam dan sekitar ibu kota Iran.
Serangan tersebut memicu kembali kekhawatiran akan terjadinya perang yang lebih luas di Timur Tengah karena serangan Israel terhadap Hamas di Gaza telah memasuki tahun kedua. Di sisi lain, Israel juga tengah berperang melawan Hizbullah di Lebanon selatan.
Menanggapi hal ini, Arab Saudi pun telah buka suara untuk menahan diri secara maksimal dan meminta masyarakat internasional agar mengambil tindakan guna meredakan ketegangan dan mengakhiri konflik di kawasan tersebut.
Kembali meningkatnya tensi geopolitik di Timur Tengah ini tentunya akan memberikan kekhawatiran bagi para pelaku pasar termasuk investor untuk berinvestasi di suatu negara. Bukan tidak mungkin para pelaku pasar akan melakukan aksi profit taking terlebih dahulu hingga berujung keep cash atau mungkin menempatkan dananya ke instrumen investasi dengan tingkat keamanan yang lebih tinggi dari sebelumnya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)
Saksikan video di bawah ini: