Jakarta,CNBC Indonesia- Indonesia terus mengimpor gula dalam jumlah dan nilai besar kurun waktu 2014 hingga 2023 dan melintasi periode enam menteri perdagangan.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), dan National Sugar Summit Indonesia, impor gula Indonesia dalam ton menunjukkan tren fluktuatif, sejalan dengan perubahan kebutuhan domestik dan dinamika pasar internasional.
Pada 2014, menurut data dari BPS, impor gula Indonesia tercatat sebanyak 2.933.823 ton. Angka ini terus meningkat selama tiga tahun berikutnya, mencapai puncaknya pada 2016 dengan jumlah 4.746.047 ton. Kenaikan impor ini sejalan dengan kebutuhan gula nasional yang kian meningkat, baik untuk konsumsi langsung maupun kebutuhan industri.
Namun, setelah mencapai puncak tersebut, jumlah impor mulai menurun hingga 2019, sebelum kembali meningkat di 2020 menjadi 5.539.678,55 ton, angka tertinggi dalam dekade ini.
Dari sisi nilai impor, terdapat pula pola fluktuatif. Pada 2014, nilai impor gula mencapai US$ 1.312.691. Nilai ini menurun di 2015 menjadi US$ 1.254.473, namun melonjak pada 2016 menjadi US$ 2.081.661, konsisten dengan peningkatan jumlah impor pada tahun tersebut. Selanjutnya, nilai impor kembali turun pada 2018 hingga mencapai US$ 1.796.221,91 sebelum mengalami peningkatan signifikan pada 2022 hingga mencapai puncaknya pada US$ 2.998.271,9.
Sementara dari USDA menunjukkan bahwa pada Mei 2024, Indonesia berada di peringkat pertama dalam daftar pengimpor gula terbesar di dunia dengan volume impor sebesar 5,550 juta ton, melampaui China, India, Uni Eropa, dan bahkan Amerika Serikat.
Hal ini mencerminkan posisi strategis Indonesia sebagai pasar utama bagi para eksportir gula global, terutama negara-negara produsen besar seperti Thailand dan Brasil.
National Sugar Summit Indonesia mencatat bahwa produksi gula dalam negeri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi nasional yang terus meningkat. Pada 2023, produksi gula domestik hanya mencapai 2.271 ribu ton, sementara konsumsi gula mencapai 3.402 ribu ton. Defisit antara produksi dan konsumsi ini menyebabkan ketergantungan Indonesia pada impor gula untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Melihat tren konsumsi yang meningkat, terlihat bahwa peningkatan kebutuhan ini tidak hanya didorong oleh konsumsi rumah tangga tetapi juga oleh industri makanan dan minuman yang berkembang pesat di Indonesia. Sementara itu, produksi gula nasional masih menghadapi tantangan, terutama dari sisi efisiensi produksi dan keterbatasan lahan, yang menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan dalam negeri.
Secara keseluruhan, tren impor gula di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir menunjukkan adanya peningkatan signifikan baik dalam jumlah maupun nilainya, meskipun diselingi oleh fluktuasi.
Peningkatan impor gula Indonesia sejalan dengan ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi domestik. Ini merupakan tantangan bagi pemerintah untuk menyeimbangkan kebutuhan konsumsi gula dengan kemampuan produksi dalam negeri, yang dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas sektor pertanian gula, pemanfaatan teknologi, serta kebijakan yang mendorong investasi di sektor industri gula tanah air.
Impor Terus Berjalan Meski Menteri Berganti
Impor gula Indonesia terus berlangsung meskipun menteri perdagangan terus berganti. Sebagai catatan, impor gula harus melalui menteri perdagangan sebagai pemberi surat persetujuan impor.
Dalam kurun waktu 10 tahun atau 2014-2024, ada enam menteri perdagangan yang menjabat yakni Rachmat Gobel (Oktober 2014 - Agustus 2015), Tom Lembong ( Agustus 2015 - Juli 2016), Enggartiasto Lukita (Juli 2016 - Oktober 2019), Agus Suparmanto (Oktober 2019 - Desember 2020), Muhammad Luthfi (Desember 2020 - Juni 2022), dan Zulkifli Hasan (Juni 2022 - Oktober 2024).
Impor gula menjadi pembicaraan hangat setelah Kejaksaan Agung menetapkan mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong menjadi tersangka kasus korupsi importasi gula. Dia dan satu tersangka lainnya, yakni Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI, berinisial CS ditengarai merugikan negara Rp 400 miliar.
CNBC Research Indonesia
(emb/emb)
Saksikan video di bawah ini: