Jakarta, CNBC Indonesia - Prabowo Subianto resmi menjadi presiden Indonesia pada hari ini, Minggu (20/10/2024). Situasi ekonomi kali ini berbeda dengan 10 tahun lalu ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk pertama kalinya menjabat sebagai Presiden RI.
Sebagai informasi, Presiden Terpilih Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Terpilih Gibran Rakabuming Raka mengambil sumpah jabatan pada hari ini (20/10/2024) untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2024-2029.
Hal ini diselenggarakan dalam sidang paripurna MPR di Gedung Nusantara, kompleks parlemen (MPR/DPR/DPD RI), Senayan, Jakarta. Momen ini juga sekaligus mengakhiri masa jabatan Presiden RI Joko Widodo dan Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin.
Selain peristiwa sakral ini, hal menarik lainnya yang dapat diperhatikan adalah kondisi perekonomian saat ini jika dibandingkan dengan 10 tahun lalu.
Kondisi Rupiah
Pada 20 Oktober 2014 atau saat Jokowi menjabat sebagai Presiden RI ke-6, menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sebesar 0,62% ke angka Rp12.030/US$.
Begitu pula satu hari sebelumnya yakni pada 17 Oktober 2014, rupiah terpantau mengalami apresiasi sebesar 1,14%.
Senada dengan momen tersebut, pada penutupan perdagangan 18 Oktober 2024, rupiah terpantau menguat sebesar 0,19% di angka Rp15.460/US$.
Kendati sama-sama mengalami penguatan, namun menjelang Oktober 2014, kondisi rupiah cenderung terus mengalami depresiasi. Hal ini dapat terlihat dari performa secara bulanan yakni pada Agustus dan September 2014 yakni rupiah tergelincir sebesar 0,95% dan 4,24%.
Foto: Suasana pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Periode 2019-2024. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Suasana pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Periode 2019-2024. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Pada saat itu, ambruknya rupiah terjadi akibat imbas kebijakan bank sentral AS (The Fed) untuk meneruskan penghentian stimulus moneter atau yang disebut Quantitative Easing (QE), dan respon bank sentral Eropa (European Central Bank-ECB) bersama bank sentral Jepang dan bank sentral China dalam mempertahankan perekonomian di negara masing-masing.
Berbeda halnya dengan Agustus dan September 2024 yang justru rupiah tampak sangat perkasa dengan penguatan masing-masing sebesar 4,95% dan 2,04%.
Hal tersebut dapat terjadi mengingat indeks dolar AS (DXY) yang terus mengalami penurunan akibat ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed beberapa waktu lalu.
Kondisi Neraca Perdagangan
Neraca perdagangan pada September 2014 terpantau defisit US$0,27 miliar dengan nilai impor sebesar US$15,55 miliar dan ekspor US$15,28 miliar.
Tingginya defisit pada sektor migas (US$1,03 miliar) menjadi pemicu defisitnya perdagangan Indonesia.
Sementara berbeda halnya dengan kondisi saat ini yakni pada September 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan surplus neraca perdagangan sebesar US$3,26 miliar. Adapun ekspor Indonesia mencapai US$22,08 miliar sepanjang September 2024. Sementara impor US$18,82 miliar.
Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia telah mencatatkan surplus 53 bulan berturut-turut atau sejak Mei 2020. Surplus kali ini juga merupakan yang tertinggi sejak Maret 2024 atau sekitar enam bulan terakhir.
Kondisi Cadangan Devisa
Posisi cadangan devisa (cadev) Indonesia sedikit lebih baik pada September 2024 dibandingkan September 2014.
10 tahun lalu, cadev Indonesia sebesar US$111,2 miliar atau tidak berubah dibandingkan Agustus 2014. Angka ini juga setara dengan 6,5 bulan impor atau 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.
Sementara berbeda halnya dengan cadev September 2024 yang berada di angka US$149,9 miliar. Posisi ini turun dibandingkan posisi pada akhir Agustus 2024 sebesar US$150,2 miliar.
Lebih lanjut, posisi cadangan devisa pada akhir September 2024 setara dengan pembiayaan 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Ketegangan di Timur Tengah
Israel telah melancarkan lima serangan militer berkepanjangan di Gaza yakni di tahun 2008, 2012, 2014, 2021, dan 2024. Ribuan warga Palestina telah terbunuh, termasuk banyak anak-anak, dan puluhan ribu rumah, sekolah, dan gedung perkantoran telah hancur.
Pada 2014, dalam kurun waktu 50 hari, Israel membunuh lebih dari 2.100 warga Palestina, termasuk 1.462 warga sipil dan hampir 500 anak-anak. Selama serangan tersebut, sekitar 11.000 warga Palestina terluka, 20.000 rumah hancur dan setengah juta orang mengungsi.
Sementara yang terjadi pada Oktober 2024, Israel melakukan beberapa serangan di daerah Timur Tengah (Gaza dan Lebanon).
Pada pertengahan Oktober 2024, Israel memperluas target serangan dalam perang melawan militan Hizbullah di Lebanon, dengan serangan udara di utara yang menewaskan setidaknya 21 orang di kota mayoritas Kristen, Aitou.
Selanjutnya, dilansir dari Reuters, Israel menyerang kamp pengungsi Jabalia di Gaza Utara, Palestina. Serangan tersebut menewaskan 33 orang warga sipil.
Lebih lanjut, Rumah Sakit Al-Awda merawat sekitar 70 korban terluka, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Namun masih banyak korban yang terjebak di bawah reruntuhan.
Ketegangan yang tak kunjung usai ini dapat membuat harga komoditas melambung tinggi khususnya harga minyak dunia. Jika eskalasi di Timur Tengah semakin memanas dan suplai minyak dunia terganggu/menipis, maka beban fiskal Indonesia akan membengkak mengingat Indonesia adalah net importir minyak. Bukan tidak mungkin harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan mengalami kenaikan dan berujung pada daya beli masyarakat yang terganggu.
Kondisi Indeks Harga Konsumen (IHK) Bulanan
IHK secara bulanan (month to month/mtm) pada 2014 dengan 2024 sangat jauh berbeda.
Sejak Mei hingga September 2014, IHK tercatat inflasi secara bulanan lima bulan beruntun. Pada September 2014, IHK terpantau naik 0,27% mtm dengan IHK sebesar 113,89.
Inflasi langsung melonjak sebulan setelah Jokowi memimpin. Pada November 2014, inflasi melesat 1,5% (mtm) dan 2,46% pada Desember (mtm). Secara tahunan, inflasi 2014 mencapai 8,36%. Inflasi melonjak karena pemerintah menaikkan bahkan mengubah skema subsidi BBM, termasuk dengan menghilangkan jenis BBM Premium.
Kondisi ini berbeda dengan yang dihadapi Prabowo. Pada September 2024, Indonesia justru mengalami deflasi lima bulan beruntun atau sejak Mei 2024. Deflasi selama lima bulan beruntun ini baru pertama kali terjadi sejak 1999 atau setelah Krisis 1997/1998.
Harga pangan yang cenderung menurun memang menjadi pendorong terjadinya deflasi secara bulanan dan pelandaian angka inflasi secara tahunan. Namun ada potensi terjadinya pelemahan daya beli masyarakat yang juga dapat menjadi alasan terjadinya deflasi lima bulan beruntun.
Fakta jika ada persoalan pelemahan daya beli yakni didorong oleh banyaknya pengangguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berujung pada melandainya permintaan barang dan deflasi.
Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) terbaru, pada periode Agustus 2024 terjadi lonjakan pada angka tenaga kerja yang ter-PHK sebesar 23,72% menjadi 46.240, dibandingkan periode Agustus 2023 sebesar 37.375.
Pengangguran dan orang yang terkena PHK akan mengalami penurunan pendapatan. Jika tidak segera mendapat pekerjaan maka dengan mudah dia jatuh ke kelompok miskin.
Semakin banyak jumlah pengangguran dan semakin banyak jumlah masyarakat yang masuk kategori miskin, maka daya beli masyarakat akan cenderung rendah.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)
Saksikan video di bawah ini: