Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami pelemahan secara signifikan sejak akhir September hingga awal November 2024 yang didominasi oleh sentimen dari AS.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah melemah dari angka Rp15.120/US$ pada 27 September 2024 dan per 6 November 2024 berada di angka Rp15.825/US$ atau anjlok 4,66%.
Hal ini terjadi bersamaan dengan indeks dolar AS (DXY) yang terpantau menanjak dari 100,38 menjadi 105,08 atau naik 4,68%.
Pada penutupan perdagangan kemarin, Kamis (7/11/2024), rupiah mulai menguat. Mata uang Garuda ditutup melesat 0,60% ke level Rp15.730/US$.
Pelemahan rupiah ini terjadi bersamaan dengan sedikit membaiknya data tenaga kerja AS beberapa waktu lalu, seperti data non-farm payroll (NFP) hingga menangnya calon presiden AS, Donald Trump melawan Kamala Harris.
Di awal Oktober, data menunjukkan bahwa terdapat penambahan tenaga kerja sebanyak 254.000 pada September, jauh melampaui perkiraan kenaikan 150.000 dari ekonom yang disurvei oleh Dow Jones. Tingkat pengangguran turun menjadi 4,1% meskipun diperkirakan tetap stabil di 4,2%.
Hal ini berujung pada tekanan terhadap mata uang Garuda, apalagi ekspektasi pemangkasan suku bunga bank sentral AS (The Fed) berpotensi tidak seagresif bulan lalu.
Sementara di awal November ini, tampak terjadi perbaikan pada AS yakni dalam hal indeks PMI selain manufaktur.
Institute for Supply Management (ISM) telah merilis data jasa/services yang menunjukkan kenaikan mengejutkan pada Oktober ke level tertinggi dalam lebih dari dua tahun.
ISM mengatakan indeks manajer pembelian non-manufaktur, ukuran sektor jasa, meningkat menjadi 56 pada bulan lalu, tertinggi sejak Agustus 2022, dari 54,9 bulan sebelumnya dan di atas 53,8 yang diharapkan oleh para ekonom yang disurvei oleh Reuters.
Lebih lanjut, kemenangan Trump melawan Harris dalam pemilu AS juga membuat rupiah cenderung tertekan.
Setidaknya ketiga sentimen ini dapat membuat dana asing (hot money) keluar dari Tanah Air dan masuk ke pasar keuangan AS untuk sementara waktu.
Proyeksi Rupiah Makin Melemah
CNBC Indonesia Research sebelumnya telah mengumpulkan proyeksi nilai tukar rupiah hingga akhir 2024 pada September lalu.
Dari delapan institusi, nilai tukar rupiah tampak diperkirakan relatif menguat dengan median dan mean masing-masing di angka Rp15.307/US$ dan Rp15.351/US$.
Sedangkan pada proyeksi awal November 2024, CNBC Indonesia Research mengumpulkan dari tujuh institusi dengan target yang jauh lebih lemah atau lebih tinggi dibandingkan proyeksi sebelumnya yakni dengan median dan mean masing-masing di angka Rp15.650/US$ dan Rp15.638/US$.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede menyampaikan bahwa rupiah tertekan karena pasar menilai langkah-langkah yang dilakukan Trump akan memberikan stimulus pertumbuhan ekonomi AS sehingga dapat dikatakan mendukung pertumbuhan global. Alhasil rupiah akan cenderung tertekan.
Josua memperkirakan rupiah mengalami tren yang lebih lemah dibandingkan perkiraan awal, sebagian besar disebabkan oleh defisit transaksi berjalan yang berpotensi melebar di tengah perang dagang 2.0, di samping ekonomi China yang 'melambat untuk waktu yang lebih lama' dan aliran masuk modal yang terbatas ke pasar portofolio Indonesia di tengah ketidakpastian global yang meningkat.
Maka dari itu, ia memperkirakan rupiah cenderung melemah dengan revisi proyeksi nilai tukar rupiah menjadi Rp15.600 - 16.000 per US$ pada tahun 2024 (naik dari sekitar Rp15.400 per US$) dan Rp15.400 - 15.800 per US$ pada tahun 2025 (naik dari sekitar Rp14.800 per US$).
Presiden Direktur dari Samuel Aset Manajemen, Agus Basuki Yanuar mengatakan bahwa pelemahan yang terjadi baru-baru ini akibat reaksi awal kemenangan Trump. Hingga akhir tahun, Agus memproyeksikan rupiah masih dapat bertahan di bawah level Rp16.000/US$ dengan trading range di angka Rp15.700-Rp16.000/US$.
Sementara Branch Manager Sucor Sekuritas (Bekasi) yang juga pemegang Certified Elliott Wave Analyst Master (CEWA-M), Daniel Agustinus menyampaikan bahwa kondisi saat ini relatif stabil dan hingga akhir tahun diperkirakan berada dalam rentang Rp15.500-Rp15.800/US$.
Ia juga menuturkan bahwa sentimen pemangkasan suku bunga The Fed akan membuat dolar cenderung melemah terhadap semua mata uang.
Chief Economist & Head of Research Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Wisnubroto mengungkapkan bahwa kemenangan Trump menyebabkan sentimen risk off dalam jangka pendek, terlihat dari pelemahan signifikan rupiah kemarin.
"Volatilitas masih akan tinggi sepertinya sampai dengan akhir tahun, namun memang kita harus melihat sentimen di AS juga, tergantung bagaimana The Fed merespon perkembangan politik di AS, karena akan berdampak kepada prospek inflasi AS juga," ujar Rully.
"Kami memperkirakan masih ada peluang rupiah ditutup di bawah Rp15.500 terhadap USD di akhir tahun," tutup Rully.
Ekonom Bank Danamon, Hosianna Situmorang mengemukakan bahwa rupiah berpotensi kembali menguat bersamaan dengan potensi pemangkasan suku bunga The Fed pada November dan Desember 2024 masing-masing 25 basis poin (bps).
"Dengan spread yang menarik, akan positif menarik inflow dan mendorong penguatan rupiah," papar Hosianna.
Namun Hosianna juga mengingatkan bahwa kekhawatiran soal tarif untuk seluruh impor AS dapat mendorong inflasi yang berujung pada potensi penurunan suku bunga ke depan yakni pada 2025 tidak sebanyak perkiraan sebelumnya.
Begitu pula dengan Global Markets Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto yang memberikan optimismenya terhadap potensi inflow khususnya ke bond market dalam bentuk kenaikan cadangan devisa (cadev) maupun kondisi surplus neraca dagang yang terus konsisten.
Amunisi cadev yang semakin tebal ini membuat BI lebih mampu untuk menjaga stabilitas rupiah ke depan.
Analisis Teknikal Rupiah
CNBC Indonesia Research mencermati bahwa rupiah berpotensi mengalami pelemahan dengan area resistance di level Rp15.915/US$ yang merupakan level support becomes resistance yang terbentuk pada 16 Mei 2024.
Target rupiah hingga akhir tahun yakni menguat dengan support di level Rp15.560/US$. Posisi tersebut merupakan area flipover yang terbentuk beberapa kali yakni 15 Februari 2024, 13 Maret 2024, dan 3 September 2024.
Sedangkan secara indikator momentum (stochastic), ada potensi terjadi bearish divergence dalam daily timeframe yang membuat rupiah semakin terbuka potensinya untuk kembali mengalami penguatan dalam beberapa waktu ke depan.
Divergensi juga terlihat pada timeframe (H4) dengan indikator Moving Average Convergence Divergence (MACD) dengan fast length, slow length, dan signal smoothing masing-masing di angka 12, 26, dan 9.
Tampak rupiah terus melemah sedangkan kedua garis (fast length & slow length) cenderung terus membentuk garis yang lebih rendah (lower high) sehingga ada tendensi untuk rupiah menguat dalam beberapa waktu ke depan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)
Saksikan video di bawah ini: