Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang pekan depan, sentimen baik dari dalam maupun luar negeri akan memengaruhi pasar keuangan Indonesia. Khususnya perihal suku bunga yang akan dirilis oleh Bank Indonesia (BI) dan Badan Pusat Statistik (BPS) soal neraca perdagangan.
Di mulai dari Senin (14/10/2024), tidak ada sentimen yang benar-benar memberikan dampak yang cukup signifikan ke domestik maupun global. Namun, di hari Selasa (15/10/2024), BPS akan merilis data neraca perdagangan, ekspor, dan impor untuk periode September 2024.
Sebelumnya, neraca perdagangan Indonesia Agustus 2024 mengalami surplus US$2,89 miliar. Ini adalah surplus 52 bulan beruntun sejak Mei 2020. Surplus ini dihasilkan oleh nilai ekspor tercatat tumbuh 5,97% mencapai US$23,56 miliar, sementara impor lebih rendah sebesar US$20,67 miliar.
Pudji Ismartini, Deputi Bidang Distribusi dan Jasa BPS mengungkapkan surplus ini meningkat US$2,4 miliar secara bulanan (month to month/mtm) dari Juli 2024. Namun, surplus ini masih lebih rendah dibandingkan bulan yang sama tahun lalu.
"Surplus neraca perdagangan Agustus 2024 ini lebih ditopang surplus komoditas nonmigas US$4,34 miliar dengan komoditas penyumbang utama adalah bahan bakar mineral atau HS 27 kemudian lemak hewan atau nabati HS 15 serta besi dan baja atau HS 72," papar Pudji, Selasa (17/9/2024).
Selanjutnya pada Rabu (16/10/2024), BI akan merilis hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang dilaksanakan pada 15-16 Oktober 2024. Salah satu hal yang paling ditunggu yakni keputusan suku bunga acuan.
Sebelumnya pada September 2024, BI memutuskan untuk memangkas suku bunganya sebesar 25 basis poin (bps) dari 6,25% ke 6%.
"Keputusan itu konsisten dengan tetap rendahnya prakiraan inflasi pada 2024 dan 2025 yang terkendali dalam sasaran yang ditetapkan pemerintah 2,5 plus minus 1% penguatan stabilitas nilai tukar rupiah dan perlunya upaya untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional ke depan," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Rabu (18/9/2024)
Kemudian pada Kamis (17/10/2024), sentimen dari eksternal khususnya dari AS akan menjadi perhatian pelaku pasar.
Pada Kamis dini hari, American Petroleum Institute (API) akan merilis crude oil stock yang berpotensi mengguncangkan harga minyak dunia.
Sebelumnya, inventaris minyak mentah AS melonjak sebesar 10,9 juta barel untuk minggu yang berakhir pada 4 Oktober 2024, setelah mengalami penurunan sebesar 1,5 juta barel pada minggu sebelumnya, menurut data dari Buletin Statistik Mingguan API. Ini merupakan penambahan mingguan terbesar sejak November 2023, melebihi perkiraan pasar yang mengharapkan kenaikan sebesar 1,95 juta barel.
Pada 8 Oktober 2024 yakni di saat API merilis inventaris minyak mentah AS yang sangat besar tersebut, berujung pada anjloknya harga minyak mentah baik Brent maupun WTI.
Foto: API Crude Oil Stock Change
Sumber: API
Sedangkan pada malam harinya, AS akan merilis angka klaim pengangguran baik initial maupun continuing. Angka ini nantinya akan menjadi pertimbangan bank sentral AS (The Fed) untuk memutuskan suku bunga The Fed ke depan dengan sudut pandang data ketenagakerjaan.
Jika semakin banyak orang yang melakukan klaim pengangguran, maka probabilitas The Fed untuk membabat suku bunganya akan semakin besar.
Sebagai informasi, dalam dokumen Summary Economic Projections (SEP), masih ada peluang bagi The Fed untuk memangkas suku bunga acuannya dengan total 50 bps hingga Desember 2024 nanti.
Berikutnya pada akhir pekan depan (18/10/2024), China akan merilis pertumbuhannya untuk kuartal III-2024.
Sebelumnya pada kuartal II-2024 tercatat bahwa ekonominya tumbuh 4,7% year on year/yoy. Ini adalah peningkatan tahunan terlemah sejak kuartal I-2023, di tengah penurunan sektor properti yang berkepanjangan, permintaan domestik yang lemah, melemahnya yuan, dan ketegangan perdagangan dengan Barat.
Angka terbaru ini muncul saat partai komunis memulai Pleno Ketiga, sebuah peristiwa politik penting di mana berbagai langkah reformasi kemungkinan akan diluncurkan, bersama dengan rekomendasi untuk tindakan dukungan lebih lanjut guna mempercepat pemulihan. Ekonomi tumbuh sebesar 5,0% selama paruh pertama tahun ini, sementara pemerintah menargetkan pertumbuhan PDB sekitar 5,0% tahun ini.
Untuk kuartal III-2024, tampak konsensus menilai bahwa ekonomi China masih cukup tertekan dengan proyeksi hanya sebesar 4,6% yoy.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev)
Saksikan video di bawah ini: