Jakarta, CNBC Indonesia- Pekan depan, sentimen pasar di Asia, terutama di Indonesia, Amerika Serikat, dan China, diperkirakan akan menghadapi dinamika yang dipicu oleh berbagai rilis data ekonomi.
Di Indonesia, awal pekan akan diawali dengan rilis data Indeks Kepercayaan Konsumen pada Senin, 11 November 2024, dengan konsensus di angka 123,2. Jika hasilnya melebihi ekspektasi, ini bisa memberikan sentimen positif bagi ekonomi dalam negeri, mencerminkan keyakinann konsumen terhadap stabilitas ekonomi di tengah kondisi global yang masih bergejolak.
Di hari yang sama, China akan mengumumkan data penjualan kendaraan yang diperkirakan menunjukkan kontraksi tahunan sebesar -2,0%. Angka yang lebih rendah dari perkiraan ini dapat mengindikasikan lemahnya permintaan domestik di China dan memicu sentimen negatif, mengingat negara ini sedang berupaya untuk meningkatkan konsumsi dalam negeri guna menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi.
Pekan sebelumnya, China telah memulai langkah fiskal besar-besaran senilai US$1,4 triliun untuk menanggulangi perlambatan ekonomi yang diakibatkan oleh krisis properti dan deflasi yang menekan perekonomian secara keseluruhan.
Pada Selasa, 12 November 2024, data Penjualan Ritel Tahunan Indonesia akan dirilis dengan konsensus pertumbuhan sebesar 2,5%. Kenaikan pada data ini akan menjadi sinyal kuat bagi prospek pengeluaran konsumen di tengah laju inflasi yang terkendali, memberikan harapan akan permintaan domestik yang masih solid. Hal ini sangat penting, terutama karena potensi penurunan permintaan dari Tiongkok yang bisa memengaruhi pasar ekspor Indonesia.
Di Amerika Serikat, perhatian pasar akan tertuju pada rilis data inflasi inti (Core Inflation) dan tingkat inflasi tahunan pada Rabu, 13 November 2024, dengan ekspektasi masing-masing di angka 3,3% dan 2,4%. Tingginya angka inflasi di atas ekspektasi dapat memicu sentimen hawkish dari Federal Reserve.
Jika inflasi ternyata lebih tinggi, tekanan untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut akan memperkuat dolar AS, yang bisa berpengaruh negatif pada nilai tukar di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Kamis, 14 November 2024, data Producer Price Index (PPI) AS akan keluar, dengan konsensus pertumbuhan 1,8% secara tahunan. Ditambah dengan klaim pengangguran awal yang diharapkan berada di angka 225 ribu, pasar akan mengamati ketahanan sektor tenaga kerja AS di tengah inflasi yang bertahan.
Jika angka pengangguran lebih tinggi dari ekspektasi, ini dapat menambah sentimen negatif terhadap kekuatan pemulihan ekonomi AS dan mengakibatkan ketidakpastian pada proyeksi pertumbuhan.
Pekan ini juga menjadi momen krusial bagi China pada Jumat, 15 November 2024, ketika data Investasi Aset Tetap, Produksi Industri, dan Penjualan Ritel diumumkan. Ketiganya diharapkan menunjukkan tanda pemulihan, namun sinyal yang lebih lemah akan mempertegas kebutuhan stimulus tambahan dari Beijing.
Jika data menunjukkan perlambatan, hal ini akan memperkuat proyeksi dampak negatif dari perang dagang AS-China di masa depan, apalagi dengan kemungkinan tarif tinggi dari administrasi AS yang baru dipilih.
Dengan adanya ancaman tarif hingga 50% atau lebih dari AS terhadap China, ketegangan ini dapat memicu tekanan lebih lanjut pada ekonomi China dan secara tidak langsung memengaruhi negara-negara Asia lainnya, termasuk Indonesia. Kebijakan proteksionis dari AS berpotensi menurunkan permintaan ekspor China, yang merupakan mitra dagang utama Indonesia.
Morgan Stanley menilai bahwa efek langsung dari tarif ini mungkin lebih kecil dibandingkan pada 2018-2019, namun penurunan kepercayaan korporasi dan investasi global dapat memperlambat siklus ekonomi Asia secara keseluruhan.
Secara keseluruhan, pekan depan akan menjadi waktu yang penuh kehati-hatian bagi pasar Asia, dengan banyak faktor eksternal yang dapat mengubah arah sentimen.
CNBC Indonesia Research
(emb)
Saksikan video di bawah ini: