Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca perdagangan diproyeksi masih berada di zona surplus periode September 2024. Surplus kali ini diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya di tengah harga komoditas yang meningkat.
Sebagai catatan, Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data neraca perdagangan Indonesia periode September 2024 pada Selasa (15/10/2024).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 11 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada September 2024 akan mencapai US$2,9 miliar.
Surplus tersebut naik dibandingkan Agustus 2024 yang mencapai US$2,89 miliar. Jika neraca perdagangan kembali mencetak surplus maka Indonesia sudah membukukan surplus selama 53 bulan beruntun sejak Mei 2020.
Konsensus juga menunjukkan bahwa ekspor masih akan tumbuh 8,78% (year on year/yoy) sementara impor juga naik 13,87% yoy pada September 2024.
Ekonom Bank Danamon, Hosianna Situmorang menyampaikan bahwa harga Crude Palm Oil (CPO) dan batu bara yang naik membuat nilai ekspor Indonesia masih akan tetap tinggi.
"Seiring harga CPO yang tetap kuat, kita perkirakan nilai ekspor masih akan tinggi, plus harga batu bara juga sudah naik," ujar Hosianna.
Untuk diketahui, CPO mengalami apresiasi 0,45% sepanjang September 2024 dari sebelumnya MYR 3.977/ton menjadi MYR 3.995/ton pada akhir September 2024.
Lebih lanjut, Kementerian Perdagangan menunjukkan Harga Referensi (HR) komoditas CPO untuk penetapan bea keluar (BK) dan tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (tarif BLU BPDP-KS), atau dikenal sebagai Pungutan Ekspor (PE), periode 1-30 September 2024 adalah sebesar US$839,53/MT. Nilai ini meningkat sebesar US$19,42 atau 2,32% dari periode Agustus 2024 yang tercatat sebesar US$820,11/MT.
Samuel Sekuritas Indonesia (SSI) melaporkan kenaikan harga CPO tersebut didorong oleh ekspektasi gangguan pasokan dan pergeseran konsumen ke biodiesel akibat ketegangan di Timur Tengah yang menyebabkan lonjakan harga minyak.
Selain itu, permintaan CPO sebagai bahan utama biofuel, mengalami peningkatan signifikan. Lebih lanjut, India, sebagai importir CPO terbesar di dunia, diperkirakan juga akan meningkatkan pembelian menjelang perayaan Diwali.
Berkaca dari periode Agustus 2024 ketika harga komoditas CPO juga terpantau mengalami kenaikan sebesar 1,76% sepanjang Agustus 2024 dari sebelumnya MYR 3.908/ton menjadi MYR 3.977/ton pada akhir Agustus 2024, total ekspor CPO dan turunannya juga mengalami kenaikan yakni dari US$1,38 miliar menjadi US$1,77 miliar dengan share sebesar 7,9%.
Begitu pula dengan harga batu bara yang mengalami kenaikan pada September sebesar 1,95% dari US$143,75 per ton menjadi US$146,55 per ton.
Kenaikan batu bara ini di tengah potensi meningkatnya permintaan batubara di Eropa karena mendekati musim dingin.
Harga batu bara kembali menguat di tengah potensi meningkatnya permintaan batubara di Eropa karena mendekati musim dingin Eropa. Tetapi, stok yang relatif melimpah dan cuaca yang lebih hangat dari perkiraan dapat membatasi peningkatan tersebut.
Berdasarkan estimasi LSEG, konsumsi batu bara termal bernilai kalori tinggi (calorific value/CV) di Eropa meningkat pada kuartal III-2024, tetapi masih di bawah level tahun lalu menurut estimasi sementara LSEG.
"Meskipun peningkatan musiman dalam pembakaran batu bara merupakan sinyal fundamental yang positif, permintaan impor tetap lemah pada Q3 karena persediaan batu bara yang melimpah di pelabuhan ARA Eropa," tambah LSEG.
Ekonom Senior KB Valbury Sekuritas, Fikri C. Permana menyampaikan bahwa batu bara, CPO, dan kenaikan harga besi dan baja menjadi main driver dari sisi ekspor.
Sementara dari sisi impor, tampak harga minyak dunia cenderung mengalami penurunan sepanjang September 2024.
Harga Brent oil tampak mengalami depresiasi sebesar 8,92% sepanjang September 2024, hal ini membuat impor minyak mentah cenderung lebih sedikit secara nominal.
Ketika harga minyak global cenderung rendah dan disertai dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang cenderung stabil membuat biaya impor minyak global cenderung tidak cukup besar sehingga neraca dagang diperkirakan masih dapat memperpanjang tren surplus.
Pesta Jokowi
Neraca perdagangan September akan menjadi catatan khusus karena bulan tersebut menjadi periode terakhir Presiden Joko Widodo (Jokowi). Surplus September juga akan menjadi hadiah buat Jokowi yang mampu mencatatkan surplus selama 52 bulan beruntun sebelumnya. Catatan ini hanya bisa dilampaui oleh Soeharto.
Surplus panjang periode Jokowi tidak hanya dibantu oleh booming komoditas mulai dari batu bara hingga CPO tetapi juga melemahnya permintaan impor akibat ekonomi domestik yang tak sekencang pra-pandemi.
Presiden Soeharto yang memerintah selama 32 tahun di Indonesia pernah mencatatkan surplus panjang selama tiga periode yakni selama 91 bulan pada periode Agustus 1975 hingga Februari 1983.
Periode terpanjang kedua adalah selama 48 bulan beruntun ( Maret 1987-Februari 1991) dan 46 bulan beruntun ( April 1983-Januari 1987).
Surplus terpanjang yang dicatat Indonesia adalah selama 153 bulan yang terbentang dari Juli 1995-Maret 2008. Periode tersebut terbentang dari periode pemerintahan Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, hingga Megawati Soekarnoputri..
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)
Saksikan video di bawah ini: