Jakarta, CNBC Indonesia- Bank Dunia menyiapkan pinjaman sebesar US$ 150 miliar atau sekitar Rp 15.550 triliun (kurs US$1 = 15.550) untuk menyelamatkan negara-negara miskin dari jerat utang yang makin menumpuk.
Di tengah ketidakpastian ekonomi global, Bank Dunia kembali mengetuk perhatian dunia akan tantangan berat yang dihadapi oleh 26 negara termiskin. Negara-negara ini kini terjebak dalam pusaran utang yang terus membesar, membawa beban yang semakin sulit untuk ditanggung.
Bank Dunia melaporkan bahwa rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) negara-negara ini kini mencapai rata-rata 72%, rekor tertinggi dalam 18 tahun terakhir, sejak 2006.
Negara-negara ini tidak hanya berurusan dengan masalah utang, tetapi juga dengan situasi ekonomi yang semakin terpuruk pasca pandemi Covid-19. Rata-rata pendapatan mereka kini lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi melanda.
Dalam upaya untuk menahan kejatuhan lebih dalam, Bank Dunia melalui International Development Association (IDA) telah mengalirkan pinjaman lebih dari US$ 100 miliar (Rp 1.550 triliun) selama lima tahun terakhir, menjadi penyelamat bagi negara-negara ini yang semakin sulit mengakses pembiayaan pasar .
Namun, tantangan tersebut tak berhenti di sana. Dilansir dari Reuters, menurut Presiden Bank Dunia, Ajay Banga, dunia dihadapkan pada krisis pekerjaan yang membayangi, dengan perkiraan kekurangan 800 juta lapangan kerja bagi 1,2 miliar orang yang akan memasuki usia kerja dalam dekade mendatang. Ini menjadi ancaman nyata bagi stabilitas global di tengah kekacauan seperti perang di Ukraina, konflik di Timur Tengah, serta bencana alam yang semakin sering terjadi.
Tambahan Kapasitas Pinjaman US$ 150 Miliar
Dalam upaya menghadapi tantangan global tersebut, Bank Dunia baru saja menyetujui perubahan pada pedoman internal mereka, termasuk menurunkan rasio ekuitas terhadap pinjaman Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD) dari 19% menjadi 18%.
IBRD adalah lembaga milik Bank Dunia yang memberikan pinjaman kepada pemerintah negara-negara berpendapatan menengah dan rendah yang layak kredit. Penurunan raseio ekuitas terhadap pinjaman ini akan menambah kemampuan IBRD untuk menyalurkan pinjaman.
Langkah ini memungkinkan tambahan kapasitas pinjaman sebesar US$ 30 miliar selama sepuluh tahun ke depan. Dengan demikian, total kapasitas pinjaman mencapai US$ 150 miliar (Rp 2.332,5 triliun) dalam 7-10 tahun ke depan melalui penyesuaian neraca keuangan mereka.
Perubahan ini juga dibarengi dengan reformasi pada struktur biaya, membuat akses pinjaman lebih mudah dan terjangkau bagi negara-negara peminjam, termasuk harga diskon untuk pinjaman dengan jangka waktu tujuh tahun dan biaya lebih rendah untuk negara-negara kecil yang rentan. Bank Dunia memastikan bahwa meskipun rasio ekuitas diturunkan, mereka tetap menjaga peringkat kredit triple-A dengan meningkatkan sistem pemantauan risiko kredit mereka .
Di sisi lain, Bank Dunia juga terus mendorong pengisian ulang dana IDA, berharap dapat mencapai target sebesar US$ 120 miliar.
Sejumlah analis memperkirakan bahwa negara-negara berkembang memerlukan pinjaman setidaknya $3 triliun setiap tahun untuk mengatasi pandemi di masa depan, perubahan iklim, dan tantangan lainnya.
Banga menyebut bahwa angka ini sejalan dengan aspirasi beberapa pemimpin Afrika dan Karibia. Namun, tantangan pengumpulan dana ini tidak kecil, mengingat tekanan fiskal yang dihadapi berbagai negara donor di tengah penguatan dolar AS. Meski demikian, optimisme tetap ada Denmark telah meningkatkan kontribusinya sebesar 40%, sementara Inggris dan Spanyol sedang mempertimbangkan langkah serupa.
Sebagai catatan, IDA merupakan bagian dari Bank Dunia yang membantu negara-negara berpendapatan rendah. IDA melengkapi lembaga peminjaman Bank Dunia, yakni (IBRD).
Berbeda dengan IBRD, IDA fokus memberikan pembiayaan kepada negara-negara termiskin dan kurang kredibilitas dalam pengelolaan utang. Di antaranya dengan:
1. Memberikan pinjaman lunak dengan bunga nol atau sangat rendah
2. Memberikan hibah kepada negara-negara berpendapatan rendah yang berisiko tinggi mengalami kesulitan utang
3. Memberikan keringanan utang melalui Inisiatif Negara-negara Miskin yang Berutang Besar (HIPC) dan Inisiatif Keringanan Utang Multilateral (MDRI)
IDA dibiayai ulang setiap tiga tahun melalui sumbangan dari negara-negara yang lebih makmur dan kaya. Keanggotaan IDA hanya tersedia bagi negara-negara yang menjadi anggota Bank Dunia, khususnya IBRD.
Utang Menggunung
Sebanyak 26 negara ini mencatat rekor utang tertinggi, baik secara nominal maupun rasio terhadap PDB, di mana Republik Niger memimpin dengan utang sebesar US$ 98,33 miliar pada 2022, setara dengan 50,7% dari PDB mereka. Di sisi lain, Eritrea memiliki rasio utang tertinggi terhadap PDB, yakni mencapai 260,4% meskipun data ini masih berdasarkan 2019 .
Dalam laporan yang sama, Bank Dunia mencatat bahwa dua pertiga dari negara-negara ini berada dalam konflik bersenjata atau menghadapi ketidakstabilan sosial dan kelembagaan. Bencana alam selama dekade terakhir semakin memperparah situasi, menyebabkan kerugian rata-rata sebesar 2% dari PDB setiap tahun di negara-negara ini . Dengan situasi tersebut, negara-negara ini semakin bergantung pada bantuan IDA untuk bertahan hidup.
Bank Dunia menyarankan agar negara-negara tersebut meningkatkan kemampuan mereka untuk mandiri melalui perbaikan sistem pajak dan pengelolaan anggaran. Mereka didorong untuk memperbaiki efisiensi pengumpulan pajak dan belanja publik, dengan harapan mampu meringankan beban utang mereka
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
(emb/emb)
Saksikan video di bawah ini: