Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambruk. Sejak 23 Oktober 2024 IHSG telah mengalami penurunan sebesar 7% hingga perdagangan Kamis (7/11/2024) di level 7.243,86.
Penutupan perdagangan kemarin pun makin memperburuk kondisi IHSG di mata investor. IHSG anjlok 1,90% usai Trump mendeklarasikan kemenangan atas Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) 2024.
Pergerakan IHSG justru tak sejalan dengan pergerakan indeks di bursa asia, meskipun sama-sama tinggal di wilayah Asia, akan tetapi justru IHSG terperosok paling dalam sendirian.
Pergerakan IHSG dan bursa Asia kemarin utamanya dipengaruhi oleh terpilihnya kembali Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat (AS). Kebijakan Trump dikhawatirkan ikut berdampak besar ke Asia, terutama China yang menjadi lawan utama Trump di periode perrtamanya.
Meski diketahui kebijakan Trump dapat menimbulkan perang dagang dengan China, akan tetapi indeks Shanghai merespon positif atas kemenangan Trump dengan melonjak 2,57%.
Beberapa kebijakan Trump pun dapak berdampak terhadap negara yang menjadi mitra dagang terbesar AS, salah satunya China.
Diketahui, Trump telah melontarkan gagasan tarif 10% atau lebih untuk semua barang yang diimpor ke AS, sebuah langkah yang menurutnya akan menghilangkan defisit perdagangan. Namun, para kritikus mengatakan hal itu akan menyebabkan harga yang lebih tinggi bagi konsumen Amerika dan ketidakstabilan ekonomi global.
Ia juga mengatakan bahwa ia harus memiliki kewenangan untuk menetapkan tarif yang lebih tinggi pada negara-negara yang telah mengenakan tarif pada impor AS. Ia mengancam akan mengenakan tarif 200% pada beberapa mobil impor. Trump secara khusus menargetkan China. Ia mengusulkan penghentian impor barang-barang dari China seperti elektronik, baja, dan farmasi selama empat tahun. Ia berupaya melarang perusahaan-perusahaan China memiliki real estat dan infrastruktur AS di sektor energi dan teknologi.
Meski demikian, pergerakan indeks China justru merespon positif, berbeda dengan IHSG yang justru merespon negatif. Respon ini kemungkinan disebabkan oleh sikap Trump yang diproyeksi akan lebih "bersahabat" dengan China.
Asing Tinggalkan IHSG
Pada perdagangan kemarin Kamis (7/11/2024), tercatat net foreign sell sebesar Rp5,92 triliun, hal ini yang mendorong IHSG anjlok nyaris 2%.
Asing mulai meninggalkan beberapa saham andalan penopang IHSG seperti saham di sektor perbankan. Hal ini menyebabkan anjloknya saham-saham perbankan big caps.
Tertekannya saham perbankan disebabkan para investor asing yang cenderung melakukan aksi jual (outflow) di tengah kekhawatiran akan kebijakan ekonomi Trump yang lebih proteksionis.
Dimana ekspektasi para investor terhadap kebijakan Trump akan memprioritaskan pasar domestik Amerika, mengurangi ketergantungan pada pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Sehingga hal ini dapat mendorong perekonomian AS dan menjadikan pasar keuangan AS lebih menarik.
Koreksi dalam pada saham perbankan ini juga terjadi di tengah rencana pemerintah membentuk badan super holding BUMN, yakni Badan Pengelola (BP) Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara).
Danantara diketahui akan menaungi setidaknya tujuh BUMN jumbo pada tahap awal, empat di antaranya merupakan perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia. Ketujuh BUMN tersebut adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), PT PLN (Persero), PT Pertamina (Persero), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI), PT Telkom Indonesia(Persero) Tbk (TLKM), dan PT Mineral Industri Indonesia (Persero) atau MIND ID. Bila menggabungkan total aset tujuh BUMN tersebut, maka dana kelolaan Danantara pada tahap awal ini akan mencapai nyaris Rp9.000 triliun.
3 Ancaman di Pasar Keuangan
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan ada tiga hal yang perlu diwaspadai jika Trump menang. Di antaranya adalah tekanan terhadap nilai tukar rupiah, potensi tekanan kepada arus modal, dan ketidakpastian di pasar keuangan.
Perry mengatakan, potensi ekonomi yang bisa terjadi ketika Trump kembali menjadi Presiden AS di antaranya penguatan mata uang dolar AS yang akan terus terjadi ke depan, seiring dengan kembali munculnya tren penguatan suku bunga acuan bank sentral AS, Fed Fund Rate.
"Mata uang dolar akan kuat, suku bunga AS akan tetap tinggi, dan tentu saja perang dagang juga masih berlanjut," ungkap Perry dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta Pusat, Rabu (6/11).
Ia mengatakan, berbagai permasalahan itu tentu akan memberikan dampak langsung terhadap perekonomian negara-negara ekonomi berkembang, seperti Indonesia. Menurutnya, nilai tukar rupiah berpotensi melemah ke depan, dan aliran modal asing akan semakin sempit.
"Dinamika ini yang akan berdampak ke seluruh negara khususnya emerging market, termasuk Indonesia, yaitu satu, tekanan-tekanan terhadap nilai tukar, kedua, arus modal, dan ketiga, bagaimana ini berpengaruh kepada dinamika ketidakpastian di pasar keuangan," tuturnya.
Guna mengantisipasi potensi risiko dari menangnya Trump dalam Pilpres AS itu, Perry mengatakan, BI akan bersama pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) akan terus berkomitmen menjaga stabilitas ekonomi dan pasar keuangan, sambil terus mendukung laju pertumbuhan ekonomi.
"Ini yang kemudian kita harus respons secara hati-hati, Bank Indonesia untuk itu terus menyampaikan komitmen kami menjaga stabilitas dan turun dukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, bersinergi erat dengan pemerintah dan KSSK," ujar Perry Perry dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta Pusat, Rabu (6/11).
CNBC Indonesia Research
(saw/saw)
Saksikan video di bawah ini: