Amerika Era Trump Akan Jadi Musuh Dunia Karena Anti Energi Hijau?

4 days ago 7

Jakarta, CNBC Indonesia- Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih dianggap menjadi ancaman bagi langkah besar dunia menuju masa depan yang lebih hijau.

Saat dunia sedang berlari menuju solusi energi terbarukan, Amerika Serikat, yang sebelumnya menjadi salah satu pionir dalam upaya tersebut, justru terancam mundur satu langkah ke belakang. Menurut BBC news, kembalinya Trump bisa membuat perjanjian Paris yang vital dalam perang global melawan perubahan iklim kemungkinan besar akan ia tinggalkan lagi, seperti yang ia lakukan pada masa jabatannya yang lalu.

Para pengamat menilai, kembalinya Trump bisa menjadi batu sandungan bagi aksi iklim global. Langkah ini tak hanya mengancam pengurangan emisi Amerika, tapi juga berpotensi mengurangi bantuan untuk negara berkembang yang bergantung pada sokongan finansial dari negara maju dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Meski begitu, di dalam negeri AS, popularitas sumber energi baru dan terbarukan seperti angin dan matahari terus tumbuh. Para ahli optimis bahwa sektor ini mungkin takkan benar-benar terhenti meskipun Trump mencoba memprioritaskan minyak dan gas lagi.

Net Generation, United States All SectorsFoto: eia.gov
Net Generation, United States All Sectors

Dilansir dari Climate Change News,  Trump menyebut China sebagai alasan AS tetap perlu mengandalkan bahan bakar fosil. Menurutnya, pembangunan pembangkit listrik batu bara yang masif di China seakan membenarkan AS untuk tak meninggalkan energi kotor. Namun, kritik menunjukkan bahwa pandangan ini menyesatkan.

Di balik deru pembangunan pembangkit batu bara, Tiongkok sebenarnya memimpin dunia dalam pengembangan energi bersih. Hanya dalam sembilan bulan pertama tahun 2024, Tiongkok berhasil menambah sekitar 195 gigawatt kapasitas energi surya dan angin - lebih besar daripada kapasitas energi terbarukan yang dibangun di AS sepanjang tahun ini.

Tak hanya itu, China juga sudah menjelma menjadi raksasa di pasar kendaraan listrik global, didukung oleh kebijakan pemerintahnya yang fokus pada teknologi baterai canggih. Melihat kemajuan ini, banyak pihak mempertanyakan mengapa AS tidak belajar dari China untuk meraih keuntungan dari industri energi hijau yang tengah tumbuh pesat. Jika AS ters tertinggal dalam tren ini, dampaknya bisa terasa jauh hingga ke pasar tenaga kerja dan ekonomi.

Dampak dari kemenangan Trump tak hanya dirasakan secara global, tetapi juga berpotensi menggeser kebijakan energi dalam negeri AS. Program subsidi energi bersih yang dibentuk di era Joe Biden mungkin sulit dihapuskan sepenuhnya mengingat dukungan besar dari negara-negara bagian yang dikendalikan Partai Republik. Negara-negara bagian ini telah menikmati manfaat ekonomi dari energi terbarukan, sehingga melawan penghapusan subsidi bisa merugikan mereka sendiri.

Meskipun kebijakan rump berpotensi memperlambat transisi energi hijau di Amerika Serikat, para pakar meyakini bahwa sektor energi terbarukan akan tetap bertumbuh. Teknologi yang semakin canggih telah menurunkan biaya energi terbarukan, sehingga sektor ini tetap menarik meskipun ada tantangan di tingkat kebijakan federal. Dukungan dari subsidi federal dan pemerintah negara bagian memungkinkan proyek-proyek energi angin dan matahari terus berkembang, bahkan di tengah ancaman perubahan kebijakan yang memprioritaskan minyak dan gas.

Trump juga telah menyatakan niatnya untuk menghentikan industri angin lepas pantai yang dianggap mahal dan mengancam kehidupan satwa laut, serta berencana menarik AS dari perjanjian iklim internasional, yang bisa memengaruhi komitmen global terhadap pengurangan emisi karbon. Meski ada kekhawatiran, momentum transisi energi hijau diyakini sulit dihentikan. Dukungan publik, peran penting negara bagian, dan dorongan dari pelaku industri memberikan harapan bahwa energi bersih di AS akan terus berkembang, sesuai dengan kebutuhan global akan solusi energi yang lebih ramah lingkungan.

(emb/emb)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research