Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca perdagangan Indonesia kembali alami surplus pada Oktober 2024 atau bulan terakhir masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal ini menjadi sentimen positif karena bisa menambah pasokan dolar Amerika Serikat (AS) jelang akhir tahun 2024.
Badan Pusat Statistik (BPS) kemarin, Selasa (15/10/2024) telah merilis angka neraca perdagangan periode September 2024 yang tercatat sebesar US$3,26 miliar. Angka ini merupakan surplus 53 bulan beruntun atau sejak Mei 2020. Surplus kali ini juga merupakan yang tertinggi sejak Maret 2024 atau sekitar enam bulan terakhir.
Kenaikan neraca dagang ini terjadi di tengah penurunan jumlah ekspor maupun impor. Adapun ekspor Indonesia mencapai US$22,08 miliar sepanjang September 2024. Sementara impor US$18,82 miliar.
BPS mencatat pertumbuhan ekspor September 2024 sebesar 6,44% (year on year/yoy) sementara kenaikan impor mencapai 8,55% yoy.
Surplus yang begitu besar ini menjadi 'kado' bagi Jokowi dan Indonesia mengingat per 20 Oktober 2024, Jokowi tidak lagi menjadi Presiden RI, melainkan digantikan oleh Presiden Terpilih Prabowo Subianto.
Untuk diketahui, catatan surplus ke-53 bulan beruntun menjadi capaian yang membahagiakan karena ini hanya bisa dilampaui oleh Soeharto yang pada periode Agustus 1975-Februari 1983, Soeharto mampu mencatatkan surplus 91 bulan beruntun.
Neraca Dagang RI Selama 10 Tahun Jokowi
Sejak Jokowi dilantik menjadi Presiden per Oktober 2014, defisit neraca perdagangan terjadi sebanyak 23 kali. Terdiri dari dua kali pada 2014, dua kali pada 2015, dua kali pada 2017, sembilan kali pada 2018, enam kali pada 2019, dan dua kali pada 2020.
Lebih lanjut, defisit neraca perdagangan terdalam terjadi pada Juli 2013 yakni sebesar US$ 2,329 miliar. Sedangkan surplus neraca perdagangan tertinggi terjadi pada April 2022 sebesar US$7,57 miliar.
Defisit yang terjadi pada April 2019 juga merupakan defisit terparah sepanjang sejarah Indonesia. Sebelumnya, defisit paling dalam tercatat US$2,3 miliar terjadi pada Juli 2013.
BPS mencatat defisit yang terjadi pada April 2019 karena ekspor yang turun 13,1% (yoy) Sementara impor turun 6,58%( yoy). Mendekat Lebaran, biasanya impor mengalami peningkatan. Pattern-nya memang ada beberapa komoditas yang menggeliat untuk memenuhi kebutuhan selama Lebaran. Peningkatan impor lumayan besar, yaitu daging frozen, boneless animal frozen, apel segar, pir, dan sepatu olahraga.
Sementara sepanjang Jokowi menjabat, ekspor impor Indonesia tercatat cukup rendah pada saat pandemi Covid-19 yang terjadi pada 2020.
Tepatnya pada Mei 2020, ekspor Indonesia hanya sebesar US$10,45 miliar sementara impor sebesar US$8,44 miliar. Sehingga neraca perdagangan Indonesia pada saat itu sebesar US$2,01 miliar.
Ekspor turun 28,95% yoy dan impor turun 42,2%.
Pada saat itu, penurunan impor sejalan permintaan domestik yang lemah dan berkurangnya kebutuhan input produksi untuk kegiatan ekspor.
Berlanjut pada April 2022, surplus neraca dagang Indonesia mencapai titik tertingginya yakni surplus US$7,56 miliar. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat surplus US$4,54 miliar.
Bahan bakar mineral (batu bara) menjadi penyumbang surplus komoditas terbesar.
Sebagai catatan, harga batu bara pada periode Agustus 2022 naik 2,47% dari US$405,5 per ton menjadi US$415,5 per ton. Harga batu bara yang menyentuh level US$400 per ton ini jarang sekali terjadi sehingga kenaikan harga batu bara ini memberikan keuntungan bagi Indonesia yang sangat bergantung terhadap komoditas sebagai sumber neraca dagang.
Sebelumnya, harga komoditas khususnya batu bara melonjak sejak Februari 2022 dan terus berada di level yang tinggi sepanjang tahun tersebut akibat perang antara Rusia dan Ukraina membawa dampak pada gangguan pasokan sehingga membuat harga gas melambung tinggi.
Dengan tingginya harga gas, banyak negara Eropa yang kembali memutuskan untuk mengaktifkan lagi pembangkit listrik batu baranya.
Selain dari sisi krisis energi di Eropa yang terus berkepanjangan, katalis positif untuk batu bara juga datang dari China pada periode yang sama.
Beijing yang merupakan konsumen batu bara terbesar pada saat itu dihadapkan pada gelombang panas yang bisa mengancam ketahanan energi mereka.
Belakangan ini, harga komoditas kembali berada di level yang cukup tinggi, baik harga batu bara hingga minyak kelapa sawit/Crude Palm Oil (CPO).
Momen mendekati musim dingin serta menjelang Diwali, membuat demand komoditas berpotensi mengalami kenaikan. Hal ini dapat membuat neraca perdagangan Indonesia kembali mencetak surplus dalam beberapa waktu ke depan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)
Saksikan video di bawah ini: