Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami fluktuasi yang begitu besar selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dilansir dari Refinitiv, dalam 10 tahun terakhir atau sejak Oktober 2014 hingga saat ini (9/10/2024), terdapat 30 hari di mana rupiah terdepresiasi lebih dari 1% dengan rincian 26 kali kejadian rupiah melemah 1-2%, dua kali kejadian rupiah ambruk 2-4%, dan dua kali kejadian rupiah ambles lebih dari 4%.
Penurunan rupiah ini secara umum terjadi didorong oleh faktor eksternal yang umumnya berasal dari AS hingga konflik yang terjadi di Timur Tengah.
Lantas, bagaimana perjalanan rupiah & apa saja penyebab jatuh bangunnya mata uang Garuda selama satu dekade terakhir?
1.Desember 2014
Sepanjang Desember 2014, rupiah melemah 1,48% dan tepatnya pada 15 Desember 2024, rupiah sempat ambruk 1,93%. Hal ini terjadi bersamaan dengan prospek kenaikan suku bunga bank sentral AS (The Fed).
Jika The Fed menaikkan suku bunganya, hal ini dapat berdampak pada apresiasi indeks dolar AS (DXY) dan berujung pada pelemahan mata uang Garuda.
Pelemahan nilai tukar juga terjadi karena lonjakan inflasi dalam negeri. Inflasi melesat ke 8,36% (year on year/yoy) pada Desember 2014 setelah kenaikan harga BBM dan tarif listrik.
2. Oktober 2015
The Fed berpotensi menaikkan suku bunganya di sisa akhir 2015 dan hal ini membuat indeks dolar menanjak hingga menyentuh level 100.
3. Juni 2018
Tekanan terhadap rupiah pada Juni 2018 terjadi setidaknya karena tiga faktor utama, yaitu perkasanya dolar AS yang disebabkan ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed, kedua yakni potensi terjadinya gagal bayar di Indonesia karena suku bunga Bank Indonesia (BI) yang tinggi, dan ketiga yaitu pembagian dividen bagi perusahaan multinasional yang memerlukan dolar AS.
4. Februari, Maret, dan April 2020
Pandemi Covid-19 yang terjadi secara global memberikan dampak yang signifikan bagi pasar secara keseluruhan termasuk nilai tukar rupiah.
Di Indonesia sendiri, kasus Covid-19 pertama terjadi pada awal Maret 2020. Hal tersebut membuat dana asing keluar dari domestik hingga akhirnya rupiah tampak menyentuh level terparahnya yakni Rp16.550/US$.
5. Mei 2020
Rupiah melemah pada 4 Mei 2020 karena tampak penguatan terjadi sangat cepat atau dalam empat pekan beruntun.
Dengan penguatan empat pekan beruntun atau quattrick tersebut, rupiah tentu saja juga menguat sepanjang bulan April. Tidak tanggung-tanggung, penguatan Mata uang Garuda mencapai 9,05%, dan membukukan kinerja bulanan terbaik sejak Desember 2008, saat itu rupiah 9,21%.
6. April 2024
Momen libur lebaran pada April 2024 memberikan dampak yang kurang baik bagi rupiah karena banyaknya tekanan dari luar negeri mulai konflik Israel dan data ekonomi AS.
Inflasi AS di luar dugaan menanjak ke 3,5% (year on year/yoy) pada Maret 2024, dari 3,2% pada Februari 2024. Data tenaga kerja AS juga menunjukkan ada penambahan tenaga kerja hingga 303.000 untuk non-farm payrolls. Angka ini jauh di atas ekspektasi pasar yakni 200.000.
Lonjakan inflasi AS dan masih panasnya data tenaga kerja AS ini menimbulkan kekhawatiran jika bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan menahan suku bunga lebih lama.
Selain itu kekhawatiran pelaku pasar perihal perang yang semakin melebar di Timur Tengah pun muncul mengingat Iran melakukan penyerangan terhadap Israel.
Iran melakukan serangan udara ke Israel pada Sabtu malam (13/4/2024) dengan meluncurkan drone peledak dan menembakkan 300 rudal untuk membela diri atas upaya Negara Yahudi itu yang ingin memperluas eskalasi perang di Timur Tengah.
Tensi geopolitik di timur tengah yang makin panas membuat para pelaku khawatir akan ada perang lebih besar yang dapat membuat ekonomi dunia makin terpuruk. Ini menimbulkan ketidakpastian di pasar.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan potensi dampak rambatan dari meningkatnya tensi konflik di Timur Tengah itu akan terlihat di sektor pasar keuangan, terutama saat pembukaan perdagangan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)
Saksikan video di bawah ini: