Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara terbang setelah Amerika Serikat (AS) memberlakukan sanksi baru terhadap Rusia. Sanksi diperkirakan akan mempengaruhi pasokan batu bara global sehingga berdampak ke harga.
Merujuk ke Refinitiv, harga batu bara kontrak Februari ditutup di harga US$ 124,45 per ton. Harganya menguat 2,43%. Harga tersebut adalah yang tertinggi sejak 3 Januari 2025 atau dalam 12 hari perdagangan.
Kenaikan ini juga memperpanjang tren positif buat pasir hitam. Harga batu bara sudah naik empat hari beruntun dengan menguat 8,6%.
Amerika Serikat kembali memperluas daftar sanksi terhadap perusahaan batu bara Rusia. Pekan lalu, beberapa perusahaan utama, seperti Kuzbassrazrezugol (KRU) dan Russian Coal, resmi masuk dalam daftar sanksi tersebut. Dengan tambahan ini, hampir seluruh perusahaan batu bara besar Rusia kini telah berada di bawah pengawasan ketat AS, menyusul sanksi sebelumnya yang telah dikenakan pada SUEK, Elgaugol, Sibanthracite, dan Mechel.
Kondisi ini berdampak besar terhadap ekspor batu bara Rusia yang menurun tajam. Data terbaru menunjukkan bahwa pengiriman batu bara Rusia melalui jalur kereta api untuk ekspor pada 2024 hanya mencapai 178,1 juta ton, turun 18 juta ton atau 9,2% dibandingkan tahun sebelumnya.
Dengan lebih dari 50% volume ekspor Rusia terkena sanksi sepanjang 2024, kini diperkirakan sekitar 80% ekspor batu bara Rusia berada dalam cakupan sanksi. Hal ini diproyeksikan akan semakin memangkas suplai pada tahun 2025.
Sanksi yang diberlakukan terhadap perusahaan batu bara Rusia telah menciptakan ketidakseimbangan pasokan dan permintaan global untuk batu bara berkualitas tinggi, baik thermal maupun metalurgi, termasuk PCI dan antrasit.
Kehilangan suplai batu bara berkualitas tinggi dari Rusia sulit digantikan oleh produsen lain. Produksi dari negara seperti Indonesia, Afrika Selatan, dan Kolombia tidak dapat menandingi kualitas batu bara Rusia, sementara kapasitas produksi di Australia sangat terbatas untuk memenuhi permintaan global.
Akibatnya, harga batu bara dengan kalori tinggi (6.000 kcal/kg) serta harga batu bara kokas, PCI, dan antrasit diperkirakan akan meningkat. Ketidakseimbangan ini menjadi perhatian utama pelaku industri yang bergantung pada suplai batu bara berkualitas tinggi untuk kebutuhan energi maupun bahan baku metalurgi.
Kendala Logistik dan Dampak Produksi
Hambatan logistik turut memperparah situasi. Kapasitas jalur kereta api BAM dan Trans-Siberian Railway yang terbatas menghalangi peningkatan volume pengiriman ke pelabuhan di wilayah Timur Jauh Rusia. Padahal, wilayah ini menawarkan logistik yang lebih efisien untuk pasar Asia-Pasifik karena biaya pengangkutan laut yang lebih rendah.
Di sisi lain, harga batu bara yang rendah saat ini, ditambah dengan tingginya biaya transportasi kereta api dan biaya penanganan di pelabuhan, membuat ekspor menjadi tidak menguntungkan. Kondisi ini memaksa perusahaan batu bara Rusia untuk menghentikan pengiriman ekspor, mengurangi produksi, bahkan menutup fasilitas tambang dan menghentikan proyek di tambang baru.
Produksi batu bara di Kuzbass, wilayah utama penghasil batu bara berkualitas tinggi di Rusia, juga mengalami penurunan tajam. Total produksi pada tahun 2024 hanya mencapai 198,6 juta ton, turun 15,2 juta ton atau 7,1% dibandingkan tahun sebelumnya.
Meningkatnya harga batu bara mencerminkan ketidakpastian pasar yang terus berlangsung akibat dinamika geopolitik dan dampak sanksi terhadap Rusia. Seiring dengan semakin ketatnya pasokan global, pasar batu bara diperkirakan akan tetap berada di bawah tekanan sepanjang 2025.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)