Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan di negara berkembang (EM) semakin diincar investor global, termasuk Indonesia yang ditunjukkan dengan besarnya dana asing yang masuk baik ke saham maupun lainnya.
Dilansir dari Refinitiv, Emerging Market Index (EM Index) terpantau mengalami kenaikan yakni dari 9 April 2025 di angka 306,29 menjadi 355,02 pada 27 Mei 2025.
Kenaikan EM Index ini bersamaan dengan penurunan indeks dolar AS (DXY) yang terkoreksi dari 102,9 menjadi 99,52 pada periode yang sama.
Foto: EM Index vs DXY
Sumber: Refinitiv
Sebagai informasi, EM Index adalah indeks saham gabungan yang mewakili kinerja pasar saham dari sejumlah negara berkembang (emerging markets), seperti Brasil dan Indonesia.
Jika EM Index naik, berarti secara umum harga saham di negara-negara berkembang mengalami kenaikan.
Kenaikan EM Index mencerminkan sentimen positif investor terhadap pasar negara berkembang. Ini bisa dipicu oleh kombinasi faktor seperti fundamental ekonomi yang membaik, arus modal asing yang masuk, pelemahan dolar, dan prospek pertumbuhan yang menarik.
Namun demikian, meskipun tren menunjukkan penguatan, pasar negara berkembang tetap memiliki risiko yang harus diperhatikan, seperti ketidakstabilan politik, volatilitas nilai tukar, serta ketergantungan pada harga komoditas dan kebijakan suku bunga global. Secara keseluruhan, kenaikan EM Index mencerminkan meningkatnya minat dan kepercayaan pasar terhadap potensi pertumbuhan jangka menengah dan panjang di negara-negara berkembang.
Rupiah & IHSG Menunjukkan Tajinya
Sejak 9 April hingga 27 Mei 2025, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami penguatan sebesar 3,5%. Sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga tampak melesat sebesar 20,62% pada periode tersebut.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti menambahkan, penguatan rupiah tidak terlepas dari anjloknya dolar AS.
"Dolar sekarang juga melemah karena baru di downgrade kemarin sama Moody's dan rating agency lain lagi dan mereka mengalami twin deficit, di budget dan neraca dagang," papar Destry dalam Outlook Ekonomi DPR bertajuk 'Indonesia Menjawab Tantangan Ekonomi Global', Selasa (20/5/2025).
Adapun, downgrade dari rating agency, yakni Moody's, terhadap utang AS ini dipicu oleh kebijakan tarif respirokal Presiden AS, Donald Trump. Kebijakan ini memicu ketidakpastian di AS. Alhasil, aliran modal dari AS kembali masuk ke emerging market dan instrumen emas.
"Ini tercermin di Indonesia ada inflow ke SBN, saham dan beberapa masuk ke SRBI," kata Destry.
Bahkan, dia mengklaim volatilitas nilai tukar telah semakin mereda, jika dibandingkan negara lain. "Ini mencerminkan kestabilan rupiah yang relatif membuat adanya confidence dan jadi dasar kuat Bapak dan Ibu kalau mau bisnis tentu dibutuhkan stabilitas," ujarnya.
Sentimen positif juga datang ke pasar saham domestik usai meredanya kekhawatiran soal tarif impor dagang AS dengan China ditambah ada dana asing masuk cukup besar.
Dalam kesepakatan yang dibuat pada Senin (12/5/2025), tarif AS terhadap produk China dipangkas dari 145% menjadi 30%, dan tarif China terhadap produk AS turun dari 125% menjadi 10% selama 90 hari ke depan.
Presiden AS, Donald Trump memuji perjanjian tersebut sebagai bukti bahwa strategi tarif agresifnya membuahkan hasil, setelah AS membuat perjanjian awal dengan Inggris dan sekarang dengan China.
"Mereka telah setuju untuk membuka China sepenuhnya, dan saya pikir ini akan menjadi fantastis bagi China, saya pikir ini akan menjadi fantastis bagi kita," kata Trump di Gedung Putih, dikutip dari Reuters, Selasa (13/4/2025).
Selain itu, arus dana asing secara jor-joran masuk ke pasar keuangan domestik juga mendorong berbagai instrumen investasi Tanah Air.
Bank Indonesia merilis data transaksi 19-22 Mei 2025, secara agregat investor asing tercatat beli neto sebesar Rp14,73 triliun.
Pembelian itu terbagi menjadi sebesar Rp1,54 triliun di pasar saham serta beli neto sebesar Rp14,13 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN). Namun, di pasar Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) tercatat jual bersih sebesar Rp 0,95 triliun. Catatan inflow sebesar Rp 14,73 triliun adalah yang tertinggi sejak pekan ketiga September (17-19 September 2024) atau sebelum era Presiden Prabowo. Artinya, net inflow pekan ini adalah yang terbesar di era Prabowo.
Inflow melonjak ke Emerging Markets, termasuk Indonesia, dalam dua pekan terakhir. Lonjakan dana asing yang masuk ini dipicu oleh kekhawatiran investor terhadap kebijakan pemerintahan Trump, terutama pajak. Defisit pemerintah AS yang melonjak juga membuat investor melepas investasi berdenominasi dolar AS. Hal ini tercermin dari anjloknya indeks dolar dan melesatnya imbal hasil US Treasury.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)