Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap berbagai mata uang di dunia cenderung mengalami tekanan. Bahkan terhadap franc Swiss, rupiah melemah lebih dari 10% dalam kurun waktu setengah tahun.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah secara year to date/ytd mengalami koreksi hingga 26 Mei 2025 baik terhadap franc Swiss, yen Jepang, euro, poundsterling, dan dolar Amerika Serikat (AS) yang masing-masing melemah sebesar 11,47%, 10,32%, 10,25%, 9,39%, dan 0,9%.
Franc Swiss telah lama dianggap sebagai mata uang safe haven karena stabilitas ekonomi dan politik Swiss. Kendati menghadapi tantangan seperti ketegangan perdagangan global dan kebijakan moneter yang longgar, CHF tetap menarik bagi investor yang mencari perlindungan dari volatilitas pasar.
Mengapa Franc Swiss Masih Jadi Safe Haven di 2025?
Franc Swiss tetap menjadi mata uang tujuan utama investor global ketika terjadi gejolak pasar. Ini disebabkan oleh sejumlah alasan penting:
- Keamanan Politik dan Netralitas Internasional
Swiss memiliki reputasi sebagai negara yang netral secara politik dan sangat stabil. Negara ini jarang terlibat dalam konflik internasional dan memiliki sistem hukum yang dipercaya, menjadikannya tempat yang aman bagi penyimpanan kekayaan. - Fondasi Ekonomi yang Kuat
Swiss memiliki ekonomi yang tangguh dan beragam, mencakup sektor-sektor seperti farmasi, teknologi, dan barang mewah. Rasio utang pemerintah rendah dan cadangan devisa tinggi turut memperkuat daya tarik franc. - Kebijakan Moneter yang Konsisten dan Inflasi Terkendali
Bank Sentral Swiss (SNB) dikenal berhati-hati dalam mengatur kebijakan moneter. Fokus mereka menjaga inflasi tetap rendah memberi kepercayaan tambahan bagi investor. - Performa Stabil Terhadap Mata Uang Lain
CHF telah menunjukkan penguatan stabil terhadap mata uang utama seperti dolar AS sejak awal 2000-an, mencerminkan posisinya sebagai aset lindung nilai yang andal. - Minat Investor Meningkat Saat Krisis Global
Di tengah ketegangan geopolitik dan ketidakpastian ekonomi tahun 2025, banyak investor beralih ke CHF, yang meningkatkan nilai tukarnya dan mempertegas statusnya sebagai aset aman.
Sementara itu, Jepang juga terus memperkuat mata uangnya, misalnya dengan membantu meningkatkan daya saing industri negara tersebut, karena melemahnya mata uang tersebut telah mendorong naiknya biaya hidup rumah tangga, kata kepala kebijakan partai yang berkuasa.
Salah satu kebijakan Jepang yang memperkuat mata uangnya, seperti Kebijakan Moneter Bank of Japan (BoJ) yang mungkin telah mengambil langkah-langkah untuk memperkuat yen, seperti menaikkan suku bunga atau mengurangi stimulus ekonomi.
Sebagai informasi, BoJ telah mempertahankan suku bunganya di level 0,5% pada Mei 2025. Posisi ini merupakan yang tertinggi sejak 2008 dan sejalan dengan ekspektasi pasar.
Keputusan bulat itu muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran bahwa langkah-langkah tarif Presiden AS, Trump dapat meredam pertumbuhan ekonomi AS dan global.
Tokyo saat ini sedang merundingkan kesepakatan perdagangan dengan Washington, yang dapat memengaruhi langkah kebijakan di masa mendatang. Dewan mengisyaratkan bahwa mereka akan menaikkan suku bunga jika prakiraan ekonomi dan harga terwujud.
Dalam prospek triwulannya, BoJ menurunkan prakiraan pertumbuhan PDB FY 2025 menjadi 0,5% dari 1,0% yang diproyeksikan pada bulan Januari, dengan alasan risiko perdagangan dan ketidakpastian kebijakan.
Prospek pertumbuhan 2026 juga diturunkan menjadi 0,7% dari 1,0%. BoJ juga memangkas perkiraan inflasi inti untuk tahun fiskal 2025 menjadi 2,2% dari 2,7% dan memperkirakan inflasi akan turun lebih lanjut menjadi 1,7% pada tahun fiskal 2026 sebelum naik ke 1,9% pada tahun fiskal 2027. Sementara itu, inflasi umum diproyeksikan akan berkisar sekitar 2% hingga tahun fiskal yang berakhir Maret 2028.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)