Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) semakin tidak berjaya hari demi hari. Berbagai kebijakan yang diambil oleh Presiden AS, Donald Trump, serta kondisi perekonomian AS yang kian mengalami kemunduran semakin memberikan sentimen negatif terhadap dolar AS itu sendiri.
Dilansir dari Refinitiv, indeks dolar AS (DXY) secara year to date/ytd hingga 23 Mei 2025 telah turun sebesar 8,64% yakni dari 108,48 menjadi 99,11.
Depresiasi DXY terus terjadi secara konsisten setiap bulannya selama 2025 ini. Performa secara bulanan terpantau terus mengalami tekanan dengan pelemahan pada Januari, Februari, Maret, dan April 2025 masing-masing sebesar 0,11%, 0,7%, 3,16%, dan 4,55%.
Terkoreksinya DXY salah satunya disebabkan karena kebijakan perang dagang yang dilontarkan AS terhadap berbagai negara di dunia secara agresif.
Awalnya, pelaku pasar meyakini bahwa dengan kebijakan menaikkan tarif impor dagang akan membuat DXY menguat, namun justru sebaliknya.
Pelemahan dolar ini juga terjadi seiring dengan aksi jual di pasar saham dan obligasi AS.
Hal ini bisa mengindikasikan bahwa investor asing mulai kehilangan kepercayaan terhadap aset-aset AS karena kebijakan proteksionis Trump, sehingga mereka melepaskan kepemilikannya dan memberikan tekanan lebih lanjut pada dolar.
Selain itu, kekhawatiran yang meningkat terhadap potensi resesi ekonomi juga turut menekan dolar.
Di AS, resesi ditentukan oleh National Bureau of Economic Research (NBER), sebuah lembaga riset non-partisan yang menganalisis siklus bisnis. Untuk memastikan apakah ekonomi telah memasuki resesi, NBER mengevaluasienam indikator utama, yaitu:
- Pendapatan riil per kapita
- Jumlah pekerjaan di luar sektor pertanian (non-farm payroll employment)
- Tingkat pekerjaan berdasarkan survei rumah tangga
- Konsumsi pribadi
- Penjualan di sektor manufaktur dan perdagangan
- Produksi industri
Kesimpulannya, resesi bukan hanya sekadar kontraksi ekonomi dalam jangka pendek atau terbatas pada satu sektor saja, tetapi harus memiliki dampak yang signifikan, berkelanjutan, dan meluas di seluruh perekonomian.
Pada awal 2025, beberapa institusi global meningkatkan probabilitas AS untuk mengalami resesi beberapa waktu ke depan.
Analis JPMorgan Chase telah menaikkan perkiraan mereka untuk resesi yang terjadi di AS pada 2025 dari 30% di awal tahun menjadi 40%.
Selain JPMorgan, Goldman Sachs juga menaikkan kemungkinan resesi 12 bulan dari 15% menjadi 20%.
Di lain sisi, sebuah jajak pendapat Reuters menunjukkan 91% ekonom melihat risiko resesi yang lebih tinggi akibat kebijakan perdagangan Trump yang tidak menentu. HSBC juga menurunkan peringkat saham AS, dengan alasan ketidakpastian seputar tarif perdagangan.
Selanjutnya, lolosnya Rancangan Undang Undang Pajak dan Belanja (RUU Pajak) Presiden Trump yang mencakup keringanan pajak baru untuk tip dan pinjaman mobil, serta peningkatan anggaran untuk militer dan penegakan hukum di perbatasan juga memberikan kekhawatiran bagi pelaku pasar karena dapat berdampak negatif terhadap kesehatan fiskal AS.
Menurut proyeksi yang dikutip dari IKPI, implementasi RUU ini dapat menambah utang federal hingga US$3,8 triliun dalam sepuluh tahun mendatang.
Untuk diketahui, jumlah total pinjaman terutang oleh Pemerintah Federal AS yang terakumulasi sepanjang sejarah AS yakni sebesar US$36,21 triliun
Hal ini semakin diperparah dengan penurunan peringkat utang AS oleh Lembaga pemeringkat Moody's yakni dari AAA menjadi Aa1.
Moody's melakukan pemangkasan peringkat untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia II, mengikuti jejak Fitch dan S&P yang telah lebih dulu menurunkan peringkat.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)