Jakarta, CNBC Indonesia - Donald Trump, Presiden Amerika Serikat (AS) mengumumkan darurat energi nasional setelah resmi dilantik. Hal ini akan mendorong harga minyak dan inflasi melandai.
Pada pidato terbarunya, Trump menyatakan darurat energi nasional dengan janji akan mengisi cadangan minyak strategis dan meningkatkan ekspor energi AS ke seluruh dunia.
Selain itu, Trump juga mengakhiri Perjanijan Iklim Paris (Paris Agreement), yang bertujuan membatasi pemanasan global jangka panjang.
Foto: AP/Evan Vucci
President Donald Trump signs an executive order on TikTok in the Oval Office of the White House, Monday, Jan. 20, 2025, in Washington. (AP Photo/Evan Vucci)
Hal ini memang disayangkan karena kontra dengan kebijakan memerangi perubahan iklim, tetapi ini bagian dari langkah untuk mendorong produksi energi domestik dan menjinak-kan inflasi.
Langkah tersebut juga menandai perubahan yang drastis dari kebijakan energi mantan Presiden sebelumnya, Joe Biden yang berupaya mendorong transisi bahan bakar fosil ke energi terbarukan selama empat tahun terakhir.
"Amerika akan menjadi negara manufaktur sekali lagi, dan kami memiliki sesuatu yang tidak akan pernah dimiliki oleh negara manufaktur lain, jumlah minyak dan gas terbesar dibandingkan negara mana pun di Bumi," kata Trump dalam pidato pelantikannya, Senin (20/1/2025)
"Dan kami akan menggunakannya." tegas Trump.
AS diketahui memproduksi minyak lebih dari 13,4 juta barel per hari pada Oktober 2024, atau sekitar 17% lebih tinggi daripada saat Trump mengakhiri masa jabatan pertamanya pada Januari 2021, menurut Badan Informasi Energi AS.Itu menandai produksi minyak mentah domestik bulanan tertinggi sejak 1920.
Perusahaan energi akan diuntungkan dari tujuan pemerintahan Trump yang baru untuk memperluas produksi bahan bakar fosil dalam negeri, kata Nigel Green, CEO perusahaan manajemen kekayaan deVere Group.
Namun, perlu dicatat meskipun rencananya untuk penguatan energi AS, tetapi ini bisa berdampak bearish pada harga minyak, mengingat potensi produksi yang masif belum tentu imbang dengan penyerapannya.
Di sisi lain, ini bisa menjinakkan inflasi AS yang sejauh ini mengetat akibat melambungnya harga energi.
Ditambah, dengan momentum pelonggaran kebijakan moneter the Fed, efeknya akan membuat likuiditas terpacu, sehingga pertumbuhan ekonomi tetap positif.
Lantas Bagaimana Dampaknya ke RI?
Bagi pasar keuangan RI, pengumuman darurat energi AS ini kemungkinan bisa memberikan efek positif, meskipun menentang prospek ESG.
Sebagai salah satu negara penghasil komoditas fosil, batu bara RI juga bisa diuntungkan karena bisa ekspor lebih banyak seiring, sehingga permintaan bisa menyeimbangkan peningkatan produksi pada tahun lalu yang kemudian bisa mendongkrak harga.
Sementara jika harga minyak mentah dunia melandai, ini juga akan menguntungkan karena selama ini RI merupakan net importir minyak.
Kebijakan Trump yang pro-fosil dengan semboyannya "drill, baby drill" diperkirakan bisa menekan harga minyak. Dengan produksi minyak AS yang meningkat maka supply akan bertambah sehingga harga bisa turun. Kondisi ini bisa mengurangi beban impor minyak Indonesia yang bernilai ratusan triliun.
Bila harga minyak lebih terkendali maka potensi kenaikan harga BM dalam negeri bisa berkurang.
Efek positif juga bisa terjadi jika inflasi AS melandai sesuai target dan mendorong pelonggaran kebijakan moneter atau cut rate lebih lanjut.
Meskipun dot plot saat ini menunjukkan potensi cut rate lebih lambat, tetapi efek dari pemangkasan ini akan baik dalam jangka panjang di mana likuiditas terpacu membuat pasar kembali bergairah sehingga pertumbuhan ekonomi tetap positif.
Hal tersebut sebenarnya juga sudah mulai dilakukan dengan sikap Bank Indonesia (BI) yang forward looking dengan menurunkan suku bunga perdana tahun ini. Hal ini membuat gairah pasar masuk lagi ke saham perusahaan berkapitalisasi besar, seperti perbankan.
Di satu sisi, pidato Trump semalam masih belum membahas secara rinci terhadap tarif. Hal ini setidaknya membuat pasar emerging market sedikit bernafas lega
Sejumlah pejabat mengumumkan Presiden Trump telah mengeluarkan memo internal yang memerintahkan kajian mengevaluasi hubungan dagang AS dengan China, Kanada dan Meksiko.
Lionel Priyadi, Fixed Income & Macro Strategist dari Mega Capital Sekuritas mengatakan "Hal tersebut dipandang sebagai strategi negosiasi Trump kepada pihak-pihak terkait"
Lebih lanjut, menurut Lionet negosiasi AS dengan China akan berpusat pada implementasi Phase One Trade Agreement yang mewajibkan China meningkatkan impor dari AS senilai minimal USD 200.00bn. Trump bahkan bersikap melunak atas implementasi larangan operasi TikTok di AS.
Sementara itu, negosiasi dagang dengan Kanada dan Meksiko akan fokus pada evaluasi perjanjian perdagangan bebas USMCA tahun 2026. Hal ini didasarkan pada rekam jejak negosiasi perdagangan Trump pada periode pertama 2016-2020.
Berkat itu, indeks dolar AS mulai melunak dengan turun ke level 108 dan yield UST melandai ke 4,55% setelah beberapa hari yang lalu sempat terbang ke 4,80%.
Dengan tekanan the greenback yang mereda, nilai tukar rupiah terpantau mulai menguat tipis di kisaran Rp16.300/US$. Sementara itu, dari pasar saham terpantau mulai pulih dengan IHSG yang sempat menembus level 7200 pada pembukaan pasar Selasa hari ini (21/1/2025).
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(tsn/tsn)