Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) secara resmi memiliki Presiden baru yang disambut positif karena agenda pro-bisnis yang dibawanya.
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump resmi dilantik pada Senin waktu AS (20/1/2025).
Secara umum, dalam pidatonya, Trump mengungkapkan kebijakan perdagangan proteksionis yang sebelumnya dikhawatirkan akan dilakukan secara agresif tampaknya akan diterapkan lebih terukur.
Trump membawa agenda ambisius meliputi reformasi perdagangan, imigrasi, pemangkasan pajak, dan deregulasi. Kebijakan ini berpotensi meningkatkan keuntungan korporasi AS, tetapi juga berisiko memicu inflasi yang dapat menekan saham, obligasi, dan mendorong bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga.
Executive Order/Perintah Eksekutif
Dilansir dari ABCnews, Trump pada malam pertama masa kepresidenan keduanya, mencabut 78 tindakan eksekutif, perintah eksekutif, dan memorandum presiden era Joe Biden sebagai bagian dari serangkaian tindakan eksekutif yang ia rencanakan untuk awal masa jabatannya.
Trump menandatangani perintah-perintah tersebut setelah memberikan pidato dalam perayaan pelantikan di Capital One Arena, Washington.
Untuk diketahui, Executive Order/Perintah Eksekutif adalah arahan resmi dari Presiden AS kepada lembaga-lembaga pemerintah federal, yang menjelaskan bagaimana pemerintah harus beroperasi atau menangani isu-isu tertentu. Perintah ini berfungsi sebagai alat bagi Presiden untuk mengelola administrasi federal dan menerapkan keputusan kebijakan tanpa memerlukan persetujuan dari Kongres.
Perintah eksekutif dapat mencakup berbagai hal, mulai dari tugas administratif yang sederhana, seperti memberikan hari libur kepada pegawai federal, hingga inisiatif kebijakan yang signifikan, seperti menciptakan kerangka regulasi untuk teknologi baru seperti kecerdasan buatan.
Selain itu, presiden juga menggunakan perintah eksekutif, proklamasi, dan memorandum politik untuk mendorong tujuan kebijakan yang mungkin menghadapi penolakan di Kongres, dengan cara melewati proses legislatif untuk menerapkan aspek-aspek tertentu dari agenda mereka.
Aksi Ekonomi Trump
Sebagai bagian dari tindakan eksekutif Trump yang diharapkan akan ditandatangani "secepat mungkin," pejabat mengatakan Trump akan "mengakhiri mandat kendaraan listrik [pemerintahan Biden]." Perintah lain akan berfokus sepenuhnya pada Alaska, yang menurut pejabat memiliki "kelimpahan sumber daya alam yang luar biasa."
Pejabat mengatakan langkah-langkah ini tidak hanya dimaksudkan untuk merangsang ekonomi dan menurunkan biaya, tetapi juga "memperkuat keamanan nasional negara kita," dengan mengutip "perlombaan AI dengan China" yang akan datang.
Perintah utama yang diharapkan akan ditandatangani Trump pada hari Senin adalah berfokus pada "membebaskan" energi Amerika, yang menurut pejabat akan menekankan "memotong birokrasi dan beban serta regulasi yang telah menghambat ekonomi kita, menghambat investasi, penciptaan lapangan kerja, dan produksi sumber daya alam."
Keadaan darurat energi nasional yang diharapkan akan ditandatangani Trump akan "membuka berbagai otoritas yang memungkinkan negara kita untuk dengan cepat membangun kembali, memproduksi lebih banyak sumber daya alam, menciptakan lapangan kerja, menciptakan kemakmuran, dan memperkuat keamanan nasional negara kita," kata pejabat tersebut.
Pejabat tidak membagikan rincian tentang memorandum presiden untuk menangani inflasi, hanya mengatakan bahwa itu akan menjadi "pendekatan seluruh pemerintahan untuk menurunkan biaya bagi semua warga negara Amerika."
Sebagai catatan, inflasi konsumen AS saat ini berada di level yang lebih tinggi dibandingkan dengan target The Fed di level 2%.
Tingkat inflasi tahunan di AS naik untuk bulan ketiga berturut-turut menjadi 2,9% pada Desember 2024 dari 2,7% pada November, sesuai dengan ekspektasi pasar. Kenaikan di akhir tahun ini sebagian disebabkan oleh efek dasar yang rendah dari tahun lalu, terutama untuk energi.
Dengan latar belakang Trump yang merupakan seorang businessman dan sangat berharap agar suku bunga The Fed serta inflasi AS berada di level yang rendah, maka hal ini menjadi sentimen positif bagi pasar keuangan Indonesia termasuk nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Tingginya imbal hasil yang ditawarkan Tanah Air dapat menjadi daya tarik yang membuat investor asing pada akhirnya masuk ke pasar keuangan domestik dan membuat rupiah menjadi lebih perkasa.
Ketika hal ini terjadi, maka roda perekonomian Indonesia dapat bergerak lebih baik khususnya bagi perusahaan yang bergerak dalam bidang impor dalam mengoperasikan bisnisnya.
Rupiah yang semakin menguat membuat beban biaya perusahaan yang berfokus pada impor menjadi lebih rendah alhasil harga barang yang tersebar di masyarakat cenderung tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Ketika hal ini terjadi, maka masyarakat Indonesia akan memiliki kemampuan daya beli yang baik untuk memperoleh barang dan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tidak sampai di situ, dalam bidang ekonomi, Trump juga menunda ancamannya untuk mengenakan tarif pada negara-negara seperti China, Meksiko, dan Kanada, serta kenaikan pajak impor. Sebagai gantinya, dia memerintahkan lembaga federal untuk mempelajari masalah perdagangan terlebih dahulu.
Sebagai informasi, sebelumnya Trump dalam sebuah posting di platform Truth Social miliknya, Trump menyebut tarif pada Meksiko dan Kanada akan tetap berlaku hingga kedua negara tersebut memberantas narkoba, khususnya fentanil, dan migran yang melintasi perbatasan secara ilegal.
"Baik Meksiko maupun Kanada memiliki hak dan kekuasaan mutlak untuk dengan mudah menyelesaikan masalah yang telah lama membara ini," kata Trump, seperti dikutip BBC International, Selasa (26/11/2024).
Khusus China, ia mengatakan akan memberi tarif tambahan sebesar 10%.
"Akan mengenakan tarif sebesar 10%, di atas tarif tambahan apa pun, pada semua produknya yang masuk ke AS sebagai tanggapan atas kegagalannya dalam mengatasi penyelundupan fentanil," ujarnya lagi merujuk China.
Dengan ditundanya ancaman tarif impor ini, maka pelaku pasar akan bersikap wait and see dan tidak terlalu banyak berbuat apa-apa mengingat kekhawatiran terbesar saat ini adalah perihal Trump tariff.
Jika pada akhirnya Trump tariff ini tidak berjalan dengan baik atau dengan kata lain berdampak buruk bagi banyak negara di dunia, maka ekonomi Indonesia berpotensi terkena imbasnya dan akan mengalami kesulitan. Pasalnya ekspor barang Indonesia ke China maupun yang langsung ke AS akan menjadi semakin mahal.
Sebagai catatan, ekspor Indonesia ke AS melonjak 15,3% di era Trump dari US$16,14 miliar pada 2016 menjadi US$18,62 miliar pada akhir 2020. Kenaikan ini lebih tinggi dibandingkan empat tahun terakhir era Barack Obama yang hanya naik 8,52%.
Secara otomatis, jika barang yang diekspor Indonesia ke China, AS, maupun negara lainnya menjadi lebih mahal dari saat ini, maka barang-barang Indonesia berpotensi tidak laku di pasar internasional dan salah satu caranya untuk mengantisipasi hal ini yakni dengan mendevaluasi nilai tukar rupiah.
Apabila hal tersebut dilakukan, maka perusahaan-perusahaan di Indonesia yang memiliki utang dalam bentuk dolar AS akan semakin terbebani dan memperburuk neraca keuangan perusahaan.
Sebagai catatan, saat ini rupiah terpantau berada di rentang level Rp16.200-16.300/US$ sejak 13 Januari 2025 hingga saat ini.
Investasi Langsung AS ke RI Berkurang?
Berkaca dari 2017-2020 (era kepimimpinan Trump periode I), jumlah Investasi Asing Langsung (FDI) dari AS ke Indonesia terpantau terus mengalami penurunan dibandingkan era Joe Biden.
Perusahaan AS mungkin lebih fokus pada pasar domestik, mengurangi investasi di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan realisasi investasi Penanaman Modal Asing (PMA) dari AS ke Indonesia mengalami penurunan dari 2017 hingga 2020 (masa kepemimpinan Trump).
Pada 2017, realisasi investasi PMA dari AS sebesar US$1,99 miliar. Kemudian secara konsisten mengalami penurunan setiap tahunnya dan hanya menjadi US$0,75 miliar pada 2020.
Dikhawatirkan, hal ini akan kembali terjadi di masa era pemerintahan Trump kedua. Jika hal ini terjadi, maka pertumbuhan ekonomi daerah maupun nasional akan semakin sulit terjadi baik dalam hal Infrastruktur, Lapangan kerja, hingga Transfer teknologi.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)